Anggasuto: Legenda Awal Garam dan Warisan Nyadar di Sumenep
![]() |
| Salah saru bentuk prosesi upacara adat Nyadar |
Pulau Madura sejak lama dikenal sebagai tanah garam. Hamparan tambak putih yang membentang di sepanjang pesisir bukan sekadar lanskap ekonomi, melainkan jejak sejarah, tradisi, dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Di Kabupaten Sumenep, kisah awal mula garam tidak dilepaskan dari sosok legendaris bernama Anggasuto, yang oleh sebagian masyarakat juga dikenal sebagai Syekh Anggasuto.
Tokoh ini diyakini sebagai orang pertama yang mengajarkan cara membuat garam kepada masyarakat pesisir Sumenep, khususnya di wilayah Desa Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget. Meski kisahnya hidup dalam ruang antara sejarah dan legenda, pengaruh Anggasuto begitu nyata dan terus lestari hingga kini melalui sebuah tradisi sakral bernama Upacara Nyadar.
Sosok Anggasuto dalam Ingatan Kolektif Masyarakat
Dalam cerita tutur masyarakat Madura, Anggasuto digambarkan sebagai sosok luar biasa. Ia bukan manusia biasa, melainkan figur yang memiliki kelebihan spiritual dan fisik. Beberapa kisah menyebut Anggasuto sebagai seorang wali atau ulama awal yang menyebarkan nilai-nilai kearifan, sementara cerita lain menggambarkannya sebagai manusia raksasa yang dianugerahi kekuatan dan pengetahuan istimewa oleh Tuhan.
Penyebutan nama Syekh Anggasuto memperkuat dugaan bahwa tokoh ini tidak hanya berperan dalam aspek ekonomi, tetapi juga spiritual. Ia dianggap sebagai figur pembuka jalan—orang yang memperkenalkan cara hidup baru kepada masyarakat pesisir, yang sebelumnya hanya bergantung pada hasil laut tanpa mengenal teknik pengolahan garam.
Peristiwa Ajaib: Telapak Kaki Raksasa dan Gumpalan Garam
Kisah paling terkenal tentang Anggasuto bermula dari sebuah peristiwa alam yang dianggap luar biasa. Diceritakan, pada suatu waktu ketika air laut surut, masyarakat pesisir Pinggir Papas melihat bekas jejak telapak kaki raksasa di hamparan lumpur pantai. Bekas tapak itu tidak seperti jejak manusia biasa—ukurannya besar dan dalam, seolah ditinggalkan oleh makhluk dengan tubuh raksasa.
Yang lebih mengejutkan, di sekitar bekas telapak kaki tersebut muncul gumpalan-gumpalan putih yang mengeras setelah terpapar matahari. Masyarakat yang penasaran kemudian menyentuh dan merasakannya. Gumpalan itu ternyata asin—itulah garam.
Anggasuto kemudian menjelaskan bahwa air laut yang mengendap dan mengering oleh panas matahari dapat menghasilkan garam. Ia mengajarkan cara mengelola air laut, mengeringkannya di lahan terbuka, dan memanen kristal garam secara berulang. Pengetahuan sederhana namun revolusioner itu menjadi titik balik kehidupan masyarakat pesisir.
Dari Pengetahuan Sakral Menjadi Mata Pencaharian
Sejak saat itu, masyarakat Pinggir Papas mulai mengolah garam secara teratur. Pengetahuan yang diwariskan Anggasuto tidak hanya menyangkut teknik, tetapi juga etika dalam bekerja: kesabaran menunggu musim, keharmonisan dengan alam, serta rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan.
Perlahan, produksi garam berkembang dan menyebar ke wilayah lain di Sumenep. Garam menjadi sumber penghidupan utama, menopang ekonomi keluarga, membentuk struktur sosial baru, dan bahkan memengaruhi budaya masyarakat pesisir Madura.
Dalam pandangan masyarakat setempat, keberhasilan garam bukan semata hasil kerja manusia, melainkan berkah dari jasa dan doa Anggasuto. Karena itulah, ingatan tentangnya tidak pernah pudar.
Upacara Nyadar: Ritual Syukur dan Penghormatan
Untuk mengenang jasa Anggasuto, masyarakat Pinggir Papas dan sekitarnya melaksanakan Upacara Nyadar setiap tahun. Kata nyadar berasal dari bahasa Madura yang bermakna sadar, ingat, atau berziarah. Upacara ini bukan sekadar ritual adat, melainkan bentuk kesadaran kolektif akan asal-usul rezeki dan pentingnya menjaga hubungan dengan leluhur.
Upacara Nyadar biasanya dilaksanakan di kompleks makam Anggasuto. Masyarakat datang berbondong-bondong membawa sesaji, hasil bumi, dan hasil laut. Doa-doa dipanjatkan, tahlil dibacakan, dan nilai kebersamaan diperkuat melalui makan bersama serta pertemuan sosial.
Lebih dari sekadar seremoni, Nyadar menjadi sarana pendidikan budaya bagi generasi muda. Melalui tradisi ini, mereka diajarkan tentang kerja keras, rasa syukur, penghormatan kepada pendahulu, dan pentingnya menjaga warisan lokal.
Anggasuto sebagai Simbol Identitas Garam Sumenep
Hingga hari ini, Anggasuto tidak hanya dikenang sebagai tokoh legenda, tetapi juga sebagai simbol identitas masyarakat garam Sumenep. Ia merepresentasikan awal mula pengetahuan lokal, hubungan harmonis antara manusia dan alam, serta spiritualitas yang membingkai aktivitas ekonomi.
Dalam konteks modern, kisah Anggasuto mengingatkan bahwa kemajuan tidak selalu lahir dari teknologi canggih, melainkan dari kearifan sederhana yang dipahami, dijaga, dan diwariskan dengan penuh kesadaran.
Kisah Anggasuto—atau Syekh Anggasuto—adalah cerita tentang awal, tentang pengetahuan yang lahir dari pengamatan alam, dan tentang warisan yang terus hidup dalam tradisi. Dari bekas telapak kaki raksasa di pantai Pinggir Papas, lahirlah peradaban garam yang menghidupi ribuan keluarga di Sumenep.
Melalui Upacara Nyadar, masyarakat tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga meneguhkan jati diri: bahwa garam bukan sekadar komoditas, melainkan bagian dari sejarah, budaya, dan rasa syukur yang mengikat manusia Madura dengan tanah dan lautnya.
Pilihan





