“Cermin”, Puisi-Puisi Lawas Syaf Anton Wr
Puisi-puisi ini ditulis pada tahun 80-an, dan telah terbit di sejumlah media cetak pada tahun yang sama. Sebagian juga telah terbit dalam buku kumpulan puisi tunggal “Cermin” (1983)
Harapan dan Doa Pengemis untuk Anaknya
telah kubilang, hidup ini dapat menyatukan kita
dengan angin, dengan debu-debu
dengan api yang menyayati panasnya
dengan salju yang memaluti dinginnya
(kaukah yang berjalan di sana)
bila wajahmu terbilas air mata
dan matamu terkubur dalam-dalam
pertanda hari ini penuh tanda tanya
berwujudlah sayang
serangkum doa yang telah kutata
di atas hari esokmu
dalam gairah hidup ini
yang belum tersusun di jemarimu
pada wujudan peluhmu
bilasan tumpuhan perjalanan ini
yang meletihkan
dan sunyi
lapahan perdu
jalanan setapak
di atas kelemut butir pasir kian memutih
di dalam sayup irama, kandas lagu impianmu
yang semestinya berjalan
sendiri
tanpa bayang-bayang
di sisimu
sumenep, november 1982
Kepada Madura
aku akan tetap bertanya
tentang kemuraman wajah-wajah
yang tenggelam
lanjut langkah ini
menelusuri debu kapur
dengan genggam clurit tajam di tangan
terhunus pada setiap tatap dan tangis warga
tanahmu adalah darah dan keringat rakyat
yang belum mengering
walau panasmu menggusur lalat-lalat
dan bangkai-bangkai dusta
setiap langkah kan kuayunkan tajam clurit
dengan taming dada
lalu apa yang kau perbuat untukku?
sumenep, maret 1980
Cermin
letakkan tubuhmu di mataku
alamat baik bagiku
tatkala aku sedih
tatkala aku bahagia
sumenep, februari 1980
Dialog
di sebuah pelabuhan, orang-orang bercerita tentang;
nelayan
menatap gelisahnya lewat cahaya panas matahari yang terpingkal-pingkal
nakhoda
senang-senang senandung popok di lengan merujam bayang sunyi
aku
serasa panas tubuhku melawat perkampungan nelayan kembali sunyi
di sebuah pelabuhan, orang-orang bercerita tentang:
hidup yang tak kembali
Sumenep, April 1980
Berita
lembayung yang turun menabur bunga
putih rumputan sedang mengais roh malam
aku terjaga menatap gelisahnya matahari
setelah kau ucapkan suara yang tenggelam
mengubur rahang dan dadamu
akan kunikmat sejuk embun
sejuk kata mewarna bunga-bunga
pada setiap kata mengibar bayangku
kau adikku
siang menjemuskan sangsai yang putih
inilah wujut cinta yang rapuh
dalam gentar dalam jiwa
kau adikku
bubuhkan sinar cemerlang
pada bulan dan api yang panas
kau surut dalam senyap
kibaskan bulu debu dan deru
kau adikku
awan menggantungkan nyawa kita
yang akan datang setelah kau berdiri
diatas kubur nisanmu
Sumenep, Mei 1980
Kabut
setelah kabut berlalu
engkau pun lena di ujung senja
Sumenep, Desember 1980
Kuhadapi Kau, Kau Kunyalakan Lilin Dalam Kegelapan
gelap
pertanda matahari teah bersujud di hadapanMu
seringkali sair-sair ini
menyuguhkan firasat yang sangat agung
seperti kristal putih
melangit
menyampaikan semangat
di tiap kekuatan duniawi
disini kau pendam
kekuatan itu dengan sembul tawa
yang sangat renyak kau perdengarkan
namun, apakah hanyalah semanis itu
kekuatan-kekuatan itu kau jelmakan jadi gelap
kau terlalu aman
kau tak asing lagi
bila sujutku kuinjak dihadapanMu
setelah aku mampu tegak
dengan penuh semangat
lalu kau nyalakan lilin dalam kegelapan
sumenep, januari 1981
Tanah Kelahiran
bercak darah disini
darah putih
memutih
dari tepis laut yang biru
sebatang malam
yang jingga
dambamu
dari wujud jaman
yang lugu
surabaya, oktober 1981
Duka
senantiasa tanganmu turun gemetaran
menggenggam berjuta makna
apa yang kau isaratkan pada setiap langkah-langkah
tiba, disini aku tertegun dengan gemetar dada
kini aku datang
berdamba keluh
dalam lagu ajal
terlalu sarat doaku
membendung bencana hari ini
disini kau tunjukkan jemari runcing
pada bayang-bayang tertegun menatap duka
sumenep, januari 1981
Interluda
I
Berdebur-debur ombak pantai pinggiran madura
Menjulur semangat, jiwa yang lunglai. Disini awan mengarak, tampakkan tubuhnya dalam cahaya.
Duhai. Nyanyian burung-burung bercicit, berlompat-lompat dari dahan ke batuan cadas
Adakah, malam turun menyampai berita ini
Ke dalam mimpi. Sejuknya tetes embun mengendap antara daun yang tak pernah gugur
Adalah jiwaku. Penuh tantangan dan corak ragam hidup ini.
Berdebur-debur gelombang jantungku, menyapa arah, melerai jazat latah, seperti angin berhembus di atas padang yang tandus. Telah tiba apa yang seharusnya kita lakukan. Malam-malam masih mampu senansungkan tentang butiran cinta, tentang ombak dan hatiku, tentang perjalanan dan haris esok; manis
Luluhkan pelukan dalam cahaya. Aku terenyuh dalam perjalan ini
(maka engkau datang, menyumping kuntum kembang
setelah aku tertegun, melulur langkah, menyayat sukma)
pandanglah hidup sayang
agar aku tahu, apa yang seharusnya aku lakukan nanti
II
malam-malam engkau datang
dengan manja
kau senandungkan tembang
ke dalam jiwaku yang lunglai
III
jenuh
mimpi ini kuselubungi
sebelum engkau datang
menyerahkan dadamu yang padat
Sumenep, Februari 1981
Aku Dalam Puisi
saat ibu menangis
perutku terasa lapar
karena malam-malam menjemput mimpi
dan siang-siang makan bersama
kota bulan, berpendar-pendar
membakar malam
dan mampu memusnahkan senda
dari geletar sukmaku
seperti malam ini, kotaku sepi
nyamuk-nyamuk adalah cerita
wayang kulit dengan dalang nafasku
sendiri
hanya dengan darah, kutulis puisi
saat luka
menyatu dalam keprihatinan
“ah, terlalu pagi aku pergi”
tak perlu dansa di LCC
atau joget di THR
sebab bagian surabaya ini, ada taman
taman tintaku
Surabaya, Oktober 1981
Sajak 56
kamarku
(pandangku)
aku pernah semboyan
dalam mimpi
tembang malam, tembang lautan
dan aku pergi
bersama lecut lantaimu
dan di lorong
debu-debu menyaru
apa yang kau cari ?
putih lukaku
putih mimpiku
kau bawa lari
ke bibir pagi
Sumenep, Oktobern 1981
Cerita Buat LRI
batukmu bergelimang darah
lantaran tenbaga malam mengaku dirinya perkasa
fungsi malam luruh dalam lukaku
maka debu-debu bertarung lawan deru
hom pim pa, laila hom pim pa
kugapai tangan jaman
jisamsu kugulung
dalam roh
panas bergulung-gulung memuja mimpi
tuhan
manakala malam terjaga
penisku bangkit turun
ke surga
surabaya, november 1981
Sebuah Permainan
tidak ada pesta disini
hanya gemili otak
memburu raja
dari langkah-langkah prajurit
dalam arena percaturan
surabaya, oktober 1981
Terminal
kuhembus kabut laut
lewat asap kenalpot
yang jelaga
aku datang kembali
menengok saudaraku
sekedar mencari lelah
aku ingat
bayi-bayi lahir tampakkan wajah temaram
dan disini mereka kembali
berwajah angkuh dan tua
sarat dalam suasa
ah
terpikat aku olehnya
dalam hirup yang menyesakkan
sumenep, november 1982
Gong
ombakmu gegap gempita lancarkan dahaga
jantungku, sekelumit senja relakan
lebur suasa, yang laksa, yang sumpira
(gong itu suara emas dadaku
pohon ruwah yang temaram
atau blingsat kijang
menggelegar)
ombak madura
laksana gagak menepis fajar
hingga baik-baik pemula kembali
merintis kotamu yang tergerai
resahku luluh
kidung-kidung penjak lebih percaya debur slopeng
ragaku tua
hingga aku penat menganyam baya ini
Sumenep, April 1982
*****
Syaf Anton Wr. Menulis puisi, cerpen, novel, artikel dan jurnalistik sejak MA (1976) dengan menghasilkan ratusan karya. Pernah mendirikan dan Ketua Teater Nanggala Surabaya (1978), Ketua Bengkel Seni Primadona; (1984), Ketua Sanggar Sastra Mayang; (1997), Ketua Forum Bias (Forum kajian sastra dan budaya) (1994), Koordinator Jaringan Seniman Sumenep (JSS) (1999), Ketua Umum Dewan Kesenian Sumenep (2000-2005), Pendiri dan Penasihat Rumah Lietrasi Sumenep.
Tulisannya telah diterbitkan disejumlah media cetak maupun online, Puluhan buku sastra telah diterbitkannya.
Tahun 2016 mendapat penghargaan sastra Gubernur Jawa Timur sebagai kreator bidang sastra Jawa Timur. Tahun yang sama (2016) buku puisinya berjudul “Langit Suasa Langit Pujangga” medapat penghargaan dari Balai Bahasa Jawa Timur. Juni 2025 mendapat Anugerah Madura Cendikia Sivitas Kothèka, Pamekasan
Website: www.lontarmadura.com,rumahliterasisumenep.org, https://babadmaduraline.blogspot.com/ dan lainnya.





