Dukamu Tidak Seberat Dukaku
Cerpen: Amilia Rahma Sania
Hujan mengguyur Tongan Ledok beberapa hari ini. Cuaca yang sudah cukup dingin, menambah suasana semakin redup dan lembab. Tongan Ledok adalah kampung yang dikelilingi oleh pertokoan Cina, dan Kampung Arab.
Letaknya yang berdekatan dengan Masjid Agung, Alun-alun serta beberapa supermarket dan Mall, membuatnya menjadi incaran para pekerja yang bingung mencari kos-kosan.
Harga kamar kos di daerah ini juga cukup murah, karena Tongan Ledok adalah kampung yang berada persis di atas aliran sungai Brantas. Sehingga saat hujan seringkali banjir dan sangat lembab.
Pinggiran sungai yang ditutup oleh coran dan bebatuan, hanya menyisakan sebuah lubang besar untuk tempat menyusutnya air. Letaknya yang berada agak melandai membentuk lembah, sehingga penduduk kampung membuat tangga yang cukup tinggi untuk mencapai jalan besar. Di tangga tersebut, masing-masing terdapat lubang besar untuk tempat pembuangan air menuju ke sungai basar.
Aku menempati sebuah rumah yang dibangun agak lebih tinggi daripada rumah yang lain. Mungkin dimaksudkan sebagai pencegahan agar bila banjir datang, rumahku tetap kering. Sebagai sulung dari tiga bersaudara, aku harus memberi contoh kedua adikku, bahwa keadaan kampung ini tidak boleh menjadi alasan untuk tidak berusaha lebih keras agar meraih hidup yang lebih baik.
Rata-rata penduduk kampung berprofesi sebagai pengasuh anak, penjaga toko atau pedagang kelontong. Walaupun terletak di tengah kota, kebanyakan dari kami tidak merasakan kesuksesan finansial. Perdagangan besar dikuasai oleh pedagang keturunan Cina dan Arab.
Mungkin hanya beberapa yang dapat dihitung dengan jari berprofesi sebagai pegawai pada instansi pemerintah. Termasuk Ibuku. Ibu Lilik adalah panggilan akrabnya. Sebagai guru agama sebuah SDN di kawasan cukup strategis, seharusnya hidup kami cukup.
Akan tetapi beberapa beberapa tunggakan dan potongan dari bank, membuat kami sekeluarga harus hidup cukup prihatin. Ayahku adalah seorang pedagang kaki lima di emperan pertokoan milik warga keturunan.
“Lia, sudah selesai kau hitung jumlah es hari ini?”tanya ibu lembut, sambil terus mengaduk adonan es yang sudah dicampur buah sirsak. Aku mengangguk, dan segera berdiri.
“Lia izin dulu,Bu. Biarlah Neli menggantikan. Neli sudah selesai mengerjakan tugas, sepertinya Bu.”
“Iya Ibu, Neli sudah selesai kok. Mbak Lia waktunya ngajar di Tongan Atas,Bu. Sekarang kan tanggal muda, mungkin mbak Lia dapat gaji hari ini.”Celetukan Neli menghangatkan hatiku.
Segera kuambil payung tua untuk sekedar menahan hujan yang turun deras malam ini. Jalanan terlihat sepi.
Rumah besar itu terlihat lengang, pagar kugedor dengan logam yang menempel pada pagar.Tak lama kemudian Mbok Darsih datang dengan tergopoh-gopoh.
“Masuklah,Mbak Lia.” Mbok Darsih menyuruhku masuk ke dalam ruang belajar yang hangat. Ruang belajar yang tidak pernah kumiliki.
“Ayo Ayu,cepat mandinya, ada Mbak Lia.” Kata Yu Asih pengasuh Ayu, yang saat ini menjadi salah satu murid lesku.
“Biarlah, aku tidak mau belajar!”bentak Ayu dengan keras.
“Entahlah hatiku tetap sakit mendengar penolakan yang sudah sering kudengar itu. Belajar bagiku adalah jalan menuju harapan. Apakah Ayu tidak pernah mendengar itu dari ibunya. Tetapi sudahlah tugasku hanya mengajarinya.”gumamku lirih.
Aku segera bangkit dan merayunya. Akan kuceritakan beberapa cerita yang kudengar dari ibuku. Ibu terhebat di seluruh dunia.
Sesaat kemudian Ayu mau diajak bekerja sama, beberapa bab telah dibahas diselingi dengan beberapa cerita yang kuingat di luar kepala. Ternyata beberapa saat yang lau, Bu Rosma, mama Ayu ikut mendengarkan ceritaku. Memang bila sudah larut dalam dongeng dan kisah, akau bisa lupa akan sekitar.
Setelah selesai mengajar aku berkemas. Sedikit melambatkan untuk menata buku yang tercecer di segala arah. Menunggu panggilan itu.
“Mbak Lia kemarilah.”seru Bu Rosma. Aku terlonjak bahagia. Terbayang wajah adikku Neli dan si kecil Angga yang pasti sudah menungguku.
“Mbak, setelah melihat gaya mengajarmu, Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi kerja sama kita. Ayu tidak butuh cerita dan dongeng. Dia sangat membutuhkan untuk disadarkan, bahwa mamanya bekerja keras untuknya. Belajar itu penting. Dan tidak perlu dibumbui dengan dongeng yang cengeng, itu hanya akan membuatnya semakin manja.”Bu Rosma berkata denga tegas dan tenang.
Matanya menatapku dengan dingin. Hatiku terasa pedih. Teringat uang bukuku yang harus segera dibayar. Kuterima amplop itu dengan perasaan bahagia sekaligus sedih luar biasa. Bagaimana mungkin Bu Ros berkata dongeng dan kisah orang-orang budiman hanya membuat cengeng dan manja. Padahal itulah yang membuatku tetap mampu bermimpi untuk meraih kesuksesan.
“Mbak Lia datang,Bu.”teriak Neli dan Angga senang, segera kusodorkan makanan yang kubeli dari sedikit uang yang kudapat. Mereka memakannya sambil berebut. Alangkah indahnya dapat berbagi dengan adik yang kusayangi.
“Ada apa Lia, mengapa mukamu terlihat sendu.”Tanya ibu. Yah ibu nomor satu ini pasti tahu. Walaupun sudah kutekan kesedihanku.
“Bu Rosma memberhentikanku, Bu” kataku lirih. Ibu mengelus kepalaku.
“Rezeki bukan dari Bu Rosma,Lia.”
“Ya, Bu.”
“Kamu akan mendapatkan jalan keluarnya, Allah Maha Baik, ingatlah itu selalu anakku.” Hibur Ibu pelan. Mengapa bila mantra itu disebut oleh ibu, selalu terasa bagai vitamin yang disuntikkan ke dalam tubuhku. Segala lesu dan lelah menjadi segar kembali.
“Iya Bu, Lia tahu itu, Cuma mengapa hatiku tetap sakit ya?”
“Tenanglah, Nak. Jalan bagi orang yang ingin sukses itu tidak pernah mudah. Semakin tinggi harapan kita, maka akan semakin sukar jalan yang harus ditempuh. Ibu dan seluruh keluarga ada di sini, Nak. Kami akan selalu menopangmu jika kau sedikit lelah. Lalu berjuanglah kembali, ok?”kata ibu sambil mengelus punggungku denga lembut dan hangat.
Hari semakin malam, mataku hanya sedikit terpejam. Sudah berapa kali aku berbalik ke kanan dan kiri. Akhirnya aku menyibak selimut.
“Akan kudatangi Allah malam ini, mungkin setelah curhat padaNya hatiku sedikit lega.”gumamku lega. Sandal kucari dalam gelap. Lamat-lamat kudengar sebuah suara merdu mendayu.
“Ya Allah...Segala sholawat semoga tercurah pada Muhammad dan keluarganya. Pada malam sunyi penuh berkah ini. HambaMu yang lemah ini berdoa dan memohon ya Rabbi. Semoga anak hamba yang sangat baik ini selalu dianugerahi rasa syukur kepadaMu, kesehatan dan kekuatan. Ya Allah selamatkanlah hati dan semangatnya, jauhkan dirinya dari kesusahan hidup Hindarkan dari beban hidup damn selalu berkeluh kesah. Tingkatkanlah derajat anak hambaMu yang lemah ini menjadi orang yang sukses di dunia dan akhirat.”
Doa ibu lirih dan syahdu terdengar. Sayup-sayup kudengar lantunan doa yang sangat panjang. Aku mengamini dari jauh. Kakiku berat melangkah ke kamr mandi. Kutakut mengganggu munajat ibu.
“Ya Allah aku telah menyusahkan beliau hari ini dengan kesedihan yang tidak seberapa besarnya dibandingkan duka ibuku. Hal ini kutahu kemudian saat kudengar ceritanya. Cerita tentang Lilik Maslikhah yang membuat aku selalu memujanya.
Pilihan





