Gelombang Merah di Laut Utara; Legenda Pertempuran Dampo Awang dan Jokotole, Pahlawan Madura
Kisah ini adalah legenda heroik dari pesisir utara Jawa dan Madura yang mengisahkan benturan dua kekuatan besar: Dampo Awang (Dempo Abang), pedagang Tiongkok sakti dengan armada raksasa, melawan Jokotole, pahlawan Madura yang menjunjung kehormatan tanah leluhur. Cerita ini memadukan unsur sejarah maritim, mitos kesaktian, dan nilai kepahlawanan Nusantara—tentang keserakahan yang berhadapan dengan keberanian, serta laut yang menjadi saksi pertarungan nasib.
*****
Pada suatu masa ketika angin laut utara membawa aroma cengkeh, lada, dan garam, jalur perdagangan di pesisir Jawa dan Madura dipenuhi layar-layar asing. Di antara semuanya, tak ada yang semegah armada Dampo Awang, pedagang besar dari negeri seberang yang dikenal pula sebagai Dempo Abang—dinamai demikian karena layar kapalnya berwarna merah darah, berkibar seperti api di tengah samudra.
Dampo Awang bukan pedagang biasa. Konon, ia menguasai ilmu kebal, mampu memanggil angin, dan menyimpan jimat yang membuat kapalnya tak pernah karam. Kekayaannya melimpah, pengaruhnya luas, dan kesombongannya tumbuh seiring kejayaannya. Ia berlabuh di banyak pelabuhan pesisir utara Jawa—dari Tuban, Lasem, hingga Rembang—menukar sutra, keramik, dan besi dengan rempah dan hasil bumi. Namun di balik perdagangan itu, tersembunyi hasrat menguasai: memungut upeti, memaksa tunduk, dan menebar ketakutan.
Berita tentang Dampo Awang pun sampai ke Madura, ke telinga seorang pemuda bangsawan sekaligus kesatria: Jokotole. Ia adalah putra Madura yang dikenal bijak, rendah hati, dan sakti berkat laku tapa serta restu para leluhur. Jokotole tidak haus kekuasaan, tetapi hatinya terbakar saat mendengar rakyat pesisir diperas, perahu nelayan dirampas, dan pelabuhan dipaksa tunduk pada panji merah Dampo Awang.
Jokotole bersumpah menjaga tanah Madura. Ia mengumpulkan para tetua, nelayan, dan prajurit, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menyatukan tekad. “Laut bukan milik satu orang,” katanya. “Ia adalah ibu bagi semua yang hidup di sekitarnya.”
*****
Suatu fajar, armada Dampo Awang muncul di perairan dekat Madura. Laut berkilau kemerahan oleh pantulan layar-layar raksasa. Genderang perang dipukul, dan suara terompet asing menggema. Utusan Dampo Awang turun ke darat membawa tuntutan: upeti emas, hasil bumi, dan pengakuan kekuasaan.
Jokotole menyambut utusan itu dengan tenang. Ia menolak tuntutan tersebut dan mengirim pesan balik: Madura berdagang dengan hormat, bukan dengan paksaan. Penolakan itu membuat Dampo Awang murka. Ia bersumpah akan menunjukkan siapa penguasa laut utara.
*****
Pertempuran pecah di tengah laut. Kapal-kapal Dampo Awang bergerak laksana benteng mengapung, sementara perahu Madura lebih kecil namun lincah. Dampo Awang berdiri di haluan kapal utamanya, memanggil angin kencang hingga ombak meninggi. Panah api dan batu pelontar menghujani perahu-perahu Madura.
Namun Jokotole tidak gentar. Dengan keris pusaka di pinggang dan doa leluhur di bibirnya, ia memimpin langsung perlawanan. Konon, setiap kali ia mengayunkan senjata, gelombang laut berubah arah, seakan laut mengenal tuannya. Perahu-perahu Madura menari di antara ombak, menyerang dari sisi yang tak terduga.
Pertempuran berlangsung berhari-hari. Laut menjadi saksi jerit prajurit, patahnya tiang kapal, dan merahnya air oleh darah—hingga orang-orang menyebutnya Gelombang Merah.
Duel Dua Kesaktian
Pada puncak pertempuran, Jokotole menantang Dampo Awang bertarung satu lawan satu. Tantangan itu diterima dengan tawa meremehkan. Di geladak kapal utama, dua tokoh besar itu berhadapan.
Dampo Awang mengandalkan jimat kebalnya, membuat tubuhnya seolah tak tersentuh. Setiap serangan Jokotole mental seperti mengenai baja. Namun Jokotole menyadari: kesaktian yang bersumber dari kesombongan memiliki celah. Ia berhenti menyerang membabi buta dan memilih bersabar, mengatur napas, menyatu dengan irama laut.
Dengan satu doa dan satu tusukan tepat sasaran—bukan ke tubuh, melainkan ke jimat yang tergantung di dada—kesaktian Dampo Awang runtuh. Langit menggelap, angin berbalik arah, dan ombak besar menghantam armada merah. Kapal-kapal raksasa pecah satu per satu.
*****
Dampo Awang, yang selama ini tak pernah kalah, terhempas ke laut bersama sisa kejayaannya. Ada versi yang mengatakan ia tenggelam dan berubah menjadi batu karang, ada pula yang menyebut kapalnya terdampar dan menjadi gunung kecil di pesisir. Yang pasti, panji merah tak pernah lagi berkibar di laut Madura.
Jokotole tidak mengejar sisa armada. Ia memerintahkan penghentian pertempuran dan menyelamatkan yang terluka. Baginya, kemenangan sejati bukanlah kehancuran musuh, melainkan keselamatan tanah dan rakyatnya.
*****
Hingga kini, legenda Dampo Awang dan Jokotole hidup dalam cerita rakyat Rembang dan Madura. Batu, bukit, atau tempat tertentu dipercaya sebagai jejak pertempuran mereka. Kisah ini diwariskan dari mulut ke mulut sebagai pengingat:
bahwa keserakahan, sekuat apa pun, akan runtuh oleh keberanian dan kebijaksanaan,
dan bahwa laut—seperti kehidupan—hanya akan berpihak pada mereka yang menghormatinya.
Demikianlah kisah Gelombang Merah di Laut Utara, legenda tentang dua kekuatan besar, dan satu pahlawan yang memilih menjaga, bukan menguasai.
(Rulis)
Pilihan





