Puisi-Puisi Moh. Wadhif a
https://www.rumahliterasi.org/2025/12/puisi-puisi-moh-wadhif-a.html?m=0
Moh. Wadhif a adalah salah satu santri aktif PPA. Lubtara yang sedang berkelana mencari jati dirinya di Buhairoh Arabiyah, sekaligus pustakawan Lubangsa Utara
Pagi
Menjadi saksi atas kepulanganku
Pada rindu yang tak sanggup membisu
Kemana arah angin tiba
Ia senantiasa mengikut entah kemana.
Ranting yang dibasahi embun
satu persatu jatuh
menimpa kerikil dan menyalahinya.
Pagi sekarang sudah tak sama
Aku merindu, tiada sambutan,
Aku berkata, tiada pendengar,
Semua jatuh pada lelapnya lahar kantuk.
lubtara 25’
Tinggalmu
Waktu membolak-balik kalender
Seakan punggung tanganku
tak sempat bersandar pada deretan buku,
Mencumbui rasa malu
Kulihat kau ambil ranting kemarin
Kau patahkan tak menganggap itu mainan
Bergeming pada gemuruh
Lebur bersama kerikil yang lusuh
Kali ini awan menjadi saksi bisumu
Bersama embun engkau termenung
Menitikkan air mata
Menganggap sungai tak ada keruhnya
Kau terlihat menjelma ilalang
Yang merunduk sejak baru dilahirkan
Namun kau itu mainan
Yang usang sebab lama ditinggalkan
Lubtara 25’
Ku Ingin Engkau Bangkit
Ku tatap relung tubuhmu,
Yang mulai bergetar
Dengan timbunan permasalahan
Yang tak punya persinggahan
Tubuhmu tak sehebat dulu
Yang merangkul jenuh
Merangkak di tengah altar kekuasaan
Menghaluskan keputusasaan
Kini hebatmu mulai pudar
Diganti malas dan ketamakan
Pada suara yang mulai parau
Oleh sabda kebohongan
Ingin ku harap engkau kembali seperti dulu
Merajut kain biru
Untuk masa depan yang baru
Demi mencipta lubtara emasku
Lubtara ‘25
Untukmu I
Memandangmu membuat mataku buta
Pada apa yang lebih baik
Dari ranum bulan sabit
Hingga ku tersesat
Pada jalan pikiran yang
merengkuh segala pemandangan
Membeku ditengah tatapan rasa nyaman
Lubtara 25’
Untukmu II
Menemanimu adalah rongga penerang
Bagiku yang seakan buta jalan pulang
Menjumpai cahaya yang indah
Dalam khayal rasa aman.
Menemanimu membuatku lupa waktu
Yang setiap detiknya tak luput
Menghirup harum parfummu,
Menggerutu saja tak cukup
Merapal gelisah rasa suka yang tertuju
Padamu sang penerang dunia fana.
Mushalla 25’
Untuk (Si)Apa?
Ku coret kertas kosong ini
Dengan sebingkai metafora
Yang melentur
Menusuk pada jiwa.
Detak jarum jam yang terus berkelana
Meninggalkan usai pada ikatan yang sempurna
Sekaligus menjadi saksi
Atas selesainya surat kecil ini.
Ku ucap terimakasih dalam lembar ini
Yang menyampaikanku pada batas metafora suci
Merangkul sakralnya bahasa alam
Dengan seniman batu khayalan.
Mushalla 25’
Malammu; Bukan Waktumu
Ku lihat kau kelelahan
Layaknya seorang pedagang
yang mengusir peluh
dalam kantuk yang tak kalah
Mengeluh.
Kau tertunduk sunyi
Seakan semua sepi
Dari seraknya suara parau
Pada mimpi yang engkau dambakan.
Kau pun tertidur pulas
Tak berfikir entah dimana engkau berada
Menghiraukan ramai sabda gemilang
Jatuh dalam dermaga ilusi malam.
Mushalla 25’
.
Menjadi saksi atas kepulanganku
Pada rindu yang tak sanggup membisu
Kemana arah angin tiba
Ia senantiasa mengikut entah kemana.
Ranting yang dibasahi embun
satu persatu jatuh
menimpa kerikil dan menyalahinya.
Pagi sekarang sudah tak sama
Aku merindu, tiada sambutan,
Aku berkata, tiada pendengar,
Semua jatuh pada lelapnya lahar kantuk.
lubtara 25’
Tinggalmu
Waktu membolak-balik kalender
Seakan punggung tanganku
tak sempat bersandar pada deretan buku,
Mencumbui rasa malu
Kulihat kau ambil ranting kemarin
Kau patahkan tak menganggap itu mainan
Bergeming pada gemuruh
Lebur bersama kerikil yang lusuh
Kali ini awan menjadi saksi bisumu
Bersama embun engkau termenung
Menitikkan air mata
Menganggap sungai tak ada keruhnya
Kau terlihat menjelma ilalang
Yang merunduk sejak baru dilahirkan
Namun kau itu mainan
Yang usang sebab lama ditinggalkan
Lubtara 25’
Ku Ingin Engkau Bangkit
Ku tatap relung tubuhmu,
Yang mulai bergetar
Dengan timbunan permasalahan
Yang tak punya persinggahan
Tubuhmu tak sehebat dulu
Yang merangkul jenuh
Merangkak di tengah altar kekuasaan
Menghaluskan keputusasaan
Kini hebatmu mulai pudar
Diganti malas dan ketamakan
Pada suara yang mulai parau
Oleh sabda kebohongan
Ingin ku harap engkau kembali seperti dulu
Merajut kain biru
Untuk masa depan yang baru
Demi mencipta lubtara emasku
Lubtara ‘25
Untukmu I
Memandangmu membuat mataku buta
Pada apa yang lebih baik
Dari ranum bulan sabit
Hingga ku tersesat
Pada jalan pikiran yang
merengkuh segala pemandangan
Membeku ditengah tatapan rasa nyaman
Lubtara 25’
Untukmu II
Menemanimu adalah rongga penerang
Bagiku yang seakan buta jalan pulang
Menjumpai cahaya yang indah
Dalam khayal rasa aman.
Menemanimu membuatku lupa waktu
Yang setiap detiknya tak luput
Menghirup harum parfummu,
Menggerutu saja tak cukup
Merapal gelisah rasa suka yang tertuju
Padamu sang penerang dunia fana.
Mushalla 25’
Untuk (Si)Apa?
Ku coret kertas kosong ini
Dengan sebingkai metafora
Yang melentur
Menusuk pada jiwa.
Detak jarum jam yang terus berkelana
Meninggalkan usai pada ikatan yang sempurna
Sekaligus menjadi saksi
Atas selesainya surat kecil ini.
Ku ucap terimakasih dalam lembar ini
Yang menyampaikanku pada batas metafora suci
Merangkul sakralnya bahasa alam
Dengan seniman batu khayalan.
Mushalla 25’
Malammu; Bukan Waktumu
Ku lihat kau kelelahan
Layaknya seorang pedagang
yang mengusir peluh
dalam kantuk yang tak kalah
Mengeluh.
Kau tertunduk sunyi
Seakan semua sepi
Dari seraknya suara parau
Pada mimpi yang engkau dambakan.
Kau pun tertidur pulas
Tak berfikir entah dimana engkau berada
Menghiraukan ramai sabda gemilang
Jatuh dalam dermaga ilusi malam.
Mushalla 25’
.
Pilihan





