Langkah Kecil Anak Petani: Perempuan Itu Harus Tangguh

 


Oleh: Tika Suhartatik

 Saya lahir di sebuah desa kecil di ujung timur Pulau Madura, tepatnya di Desa Saronggi Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep yang berasal dari keluarga petani dengan hidup penuh kesederhanaan, tetapi penuh nasehat dan bimbingan dari orang tua. Bapak dan ibu saya tidak pernah mengenyam pendidikan formal, tapi dari merekalah saya belajar arti kerja keras yang sesungguhnya.

Sejak kecil, saya sudah terbiasa membantu pekerjaan orang tua, mulai dari menyiram tembakau, mencari kayu bakar, membuat manisan ghulâ palo, membantu dagangan ibu dan jika ada waktu luang, saya membantu tetangga membungkus dan menjemur kerupuk demi mendapatkan sedikit sangu. Bagi saya, masa kecil adalah tentang bertahan hidup dan bermimpi besar dalam diam.

Selepas SMA, saya menikah. Bagi banyak orang di desa, itu adalah akhir dari mimpi perempuan. Tapi bagi saya, itu adalah awal dari perjuangan panjang untuk menjadi perempuan yang berdaya. Saya tahu, hanya pendidikan yang bisa membuka jalan untuk mengubah nasib keluarga saya.

Maka saya melanjutkan kuliah S1 di STKIP PGRI Sumenep, dengan modal semangat dan keyakinan. Saat itu, saya kuliah sambil mengajar di sebuah Madrasah Aliyah Swasta di Kecamatan Bluto dan menjadi wartawan lepas di sebuah surat kabar dan media milik DPRD Kabupaten Sumenep.

Menjadi wartawan adalah pengalaman yang sangat berharga. Saya belajar melihat kenyataan dari banyak sudut pandang, belajar menulis, mendengar, dan menyuarakan suara-suara yang selama ini sunyi.

Sementara di madrasah, saya mendidik anak-anak muda dengan sepenuh hati, walau saya sendiri masih bergulat dengan jadwal kuliah, pekerjaan rumah tangga, dan tuntutan ekonomi. Sungguh, kuliah sambil bekerja bukan hal mudah. Tapi saya tahu, saya tidak boleh menyerah. Dan jerih payah itu memberi hasil yang luar biasa dan memuaskan dengan pencapaian saya sebagai wisudawan terbaik dengan predikat pujian (cumlaude) saat itu.

Setelah menyelesaikan S1, perjuangan saya belum selesai. Saya harus bersaing dan berjuang keras untuk mendapatkan sertifikasi guru—bukan hanya soal administratif, tapi tentang pengakuan terhadap kompetensi saya sebagai pendidik. Dengan penuh tekad dan kerja keras, saya berhasil meraihnya.

Namun panggilan untuk terus belajar tak pernah padam. Saya memutuskan melanjutkan studi S2 di Universitas Muhammadiyah Surabaya, meskipun harus menanggung semua biaya sendiri. Banyak air mata yang jatuh, tapi tak satu pun membuat saya mundur.

Hampir 15 tahun saya mengabdi di madrasah tersebut. Hingga pada suatu titik, saya dihadapkan pada pilihan yang sangat berat yakni tetap menjadi guru, atau beralih menjadi dosen. Madrasah telah menjadi bagian dari hidup saya, tempat saya tumbuh dan mengabdi. Namun sebagai seorang perempuan yang memegang prinsip untuk terus berkembang dan memberi lebih luas, saya memilih jalan yang lebih besar risikonya—menjadi dosen. Meskipun itu harus dimulai dari nol kembali dalam mengembangkan karir saya.

Kini, saya mengabdi di sebuah kampus kecil di Kabupaten Sumenep, almamater tercinta STKIP PGRI Sumenep atau sekarang menjadi Universitas PGRI Sumenep. Di sinilah saya menemukan ruang belajar yang lebih luas, hubungan akademik yang memperkaya wawasan, dan kesempatan untuk terus berbagi inspirasi kepada mahasiswa-mahasiswi saya—terutama mereka yang berasal dari latar belakang serupa seperti saya dulu sebagai anak petani, perempuan dari desa, yang memendam mimpi besar di balik segala keterbatasan.

Di tengah kesibukan mengajar dan membimbing mahasiswa, saya kembali membuat keputusan besar, melanjutkan studi ke jenjang doktoral. Ini bukan keputusan mudah. Saat itu, anak sulung saya juga tengah kuliah di jurusan Farmasi—jurusan yang menuntut biaya tidak sedikit. Tapi saya percaya satu hal, bahwa rezeki akan selalu ada bagi siapa pun yang sungguh-sungguh menuntut ilmu.

Saya menata kembali hidup dan keuangan keluarga. Saya memilih berhemat, menunda banyak keinginan pribadi, dan membagi waktu seefektif mungkin. Sering kali saya belajar dan menulis disertasi di tengah malam saat rumah sudah sunyi, sambil menyimpan lelah yang tidak sempat ditumpahkan. Namun saya tahu, semua ini bukan semata untuk gelar, tapi untuk membuktikan kepada diri saya sendiri dan kepada anak-anak saya, bahwa mimpi itu layak diperjuangkan sampai akhir.

Dengan ketekunan dan konsisten memegang komitmen serta disiplin tinggi, saya berhasil menyelesaikan studi S3 saya di Universitas Negeri Malang. Bukan hanya selesai, tapi saya meraih gelar doktor dengan IPK 3,97, lulus dengan waktu tercepat 2 tahun 7 bulan dan dengan predikat pujian (cumlaude).

Titik ini bukan akhir, melainkan awal dari tanggung jawab yang lebih besar—mengemban ilmu bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk banyak orang yang masih berjuang seperti saya dulu.

Di antara semua pencapaian yang saya raih, ada satu hal yang terus saya genggam erat, pesan dari seorang dosen saat saya menempuh studi doktoral. Pesan itu datang singkat, tapi menghunjam dalam dan menjadi pengingat sekaligus penyulut semangat di saat saya lelah dan ragu.

“Saya bangga. Perempuan Madura bisa sampai ke titik ini. Tapi ingat, tempat abadi seorang perempuan tetap di sumur, kasur, dan dapur—namun bukan untuk membatasi, melainkan sebagai akar. Dari sanalah perempuan bertumbuh, dan dari sanalah dia bisa menjangkau dunia.”

Pesan itu tidak saya maknai sebagai pengekangan, tetapi sebagai panggilan untuk terus menyeimbangkan peran, menjadi istri dan ibu yang hadir utuh di rumah, sekaligus perempuan intelektual yang tumbuh, berpikir, dan memberi makna di luar rumah. Bahwa keberadaan saya di dunia akademik bukan untuk meninggalkan akar budaya, tetapi untuk membuktikan bahwa perempuan bisa berkembang tanpa tercerabut dari nilai-nilai luhur yang membentuknya.

Dalam perjalanan panjang ini, saya tetap memegang teguh falsafah orang Madura yakni Bhâpa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato, bahwa setiap langkah yang saya jalani tidak lepas dari restu dan doa mereka. Mulai dari kedua orang tua yang melahirkan saya, guru-guru yang memberi ilmu, nasehat dan bimbingan, serta pemimpin yang memberi saya dukungan. Mereka semua menjadi tonggak hadirnya saya saat ini. Pedoman dari para sesepuh Madura itu akan selalu menjadi azimat yang keramat untuk pegangan hidup saya selamanya.

Perjalan hidup saya juga berpegang pada keyakinan yang sederhana, tertanam dalam diri, tetapi membentuk fondasi hidup saya, "Satu catatan lebih baik dari seribu ingatan” dan “ Siapa pun engkau yang memberi ilmu, adalah guruku."

Bagi saya, ilmu bukan hanya untuk dikumpulkan, tetapi untuk diikat dengan tulisan, diabadikan dalam catatan, dan dibagikan dengan keikhlasan. Motto ini menuntun saya untuk tidak pernah merasa cukup, tidak pernah merasa paling tahu. Setiap orang yang saya temui—dari petani di ladang, anak didik di kelas, hingga profesor di ruang seminar—semuanya adalah guru. Semuanya menyisakan pelajaran berharga.

Catatan demi catatan, saya menuliskan bukan hanya apa yang saya pelajari, apa yang saya lihat, tetapi juga apa yang saya rasakan karena saya percaya, ilmu yang tertulis tidak akan hilang oleh waktu, tidak akan lapuk dimakan usia. Ia akan hidup, tumbuh, dan terus memberi cahaya bagi siapa pun yang membacanya.

Dengan semangat itu, saya terus melangkah. Bukan untuk menjadi hebat, tetapi agar bisa terus belajar, berbagi, dan meninggalkan jejak kebaikan yang sederhana namun bermakna.

Kini, ketika saya berdiri di depan mahasiswa-mahasiswa saya, saya selalu melihat mereka sebagai cermin dari masa lalu saya—perempuan muda yang penuh harapan, ragu-ragu, tapi memiliki potensi besar. Maka tugas saya bukan sekadar mengajar, tetapi juga meyakinkan mereka bahwa batas hanyalah ilusi. Dengan ketekunan, kerja keras, dan keberanian, siapa pun bisa menembusnya.

Perjalanan saya belum selesai. Tapi bila kisah ini bisa menjadi lentera kecil di jalan seseorang yang sedang berjuang, maka saya tahu—semua lelah, air mata, dan pengorbanan itu tidak sia-sia. Proses itu memang pahit, sakit, bahkan nyeri, tetapi percayalah suatu saat akan ada senyum kebahagiaan yang selalu diimpikan.

Saronggi, 1 Agustus 2025

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 5894496038365817407

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Budaya Madura

Budaya Madura
Budaya kesukuan menjadi identitas pembeda sekaligus penopang kelanggengan suatu suku. Ia merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama, dan diwariskan antargenerasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur—mulai agama, politik, adat, bahasa, hingga perkakas, pakaian, bangunan, dan seni. Selengkapkan klik gambar dan ikuti tulisan bersambung

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close