Puisi-puisi Budi Haryono
https://www.rumahliterasi.org/2025/12/puisi-puisi-budi-haryono.html
Budi Haryono, seorang guru sekolah dasar, juga aktifis gerakan literasi. Sebagai pengurus Rumah Literasi Sumenep (Rulis) serta beberapa organisasi lainnya seperti PGRI, kepramukaan, dan lainnya di Sumenep. Selain menulis puisi, kerap menulir beberapa pandangan tentang dunia pendidikan.
Tentang Hidup (1)
Hidup apa adanya
tiada keluh kesah
di hati dan fikiran
Hidup adalah ketenangan
tiada beban
senantiasa setia pada qada' dan qadar
serta alur takdir
mengalir
pasrah
pada ketetapanNya
Hidup adalah bingkai aturanNya
tak ada gerutu di bibir
wajah masam dan kabut di hati lantaran jalinan cerita selalu dalam hukumNya
sudah tetap hikmah dalam alurNya
Hidup ajang penampung sabar persembahanNya penuh keikhlasan kita terima penuh lapang dan senantiasa bersandar pada MahaNya
Hidup adalah keyakinan
tempat berlindung di haribaanNya
tiada tergoyah nurani
patuh dan taat padaNya
darma pengabdian dalam kendaliNya
Hidup adalah berserah
selayak lakon
diapakan tiada bisa menuntut
lantaran jalan hidup dan nasib terbaik berada dalam genggamanNya
dan kita menjalani pilihan hidup sesuai dengan skenarioNya
Hidup adalah misteri
yang tersembunyi dalam rahasia siang malam
serta hamparan semesta
yang patuh pada ketetapanNya
sekecil apapun itu berarti
yang besar itu pun bukan hakiki
Hidup adalah perjuangan
batas langkah jangan dipertentangkan sebab perjuangan arti dari keterbatasan
lantaran MahaNya jadi ketetapan
Hidup itu indah
nikmati dan syukuri penuh kelegaan meski suka dan duka silih berganti tiada masalah yang terlewati
Hidup itu sejarah
para pelakonnya bersandiwara
tiada berujung
senantiasa ingin menjadi
terdepan dan bermakna
meski terkadang melampaui batasannya
Hidup adalah pasti
semua yang bernyawa
akan melalui rangkaian menuju keabadian hakiki
pilihan takdir tak akan terlewati
Hidup adalah takdir
sebagaimana maut menjemput
menuju kelanggengan surga neraka
saat terbebas dari kefanaanNya
Hidup adalah berkah
seribu kilo beras ada di tangan loba tidak akan menjadi amanah
kita harus berbagi
pada orang-orang di pagi hari keniscayaan bergelut diri
takkan pernah habis jikalau ambisi andaikan bumi dan langit runtuhkan rejeki
tak kan cukup bagi yang tamak di hati
saat semua apa diambil sendiri
tiada seorang pun berani menepi
Selama tuan diam berdiri
secuil pun akan di kais sendiri
dengan pongah singkirkan jati diri
tak peduli kaum sejagat yang papa menanti
Hidup adalah pilihan
tidur panjang itu pasti
hanya orang-orang yang mati di hati singkirkan kepastian ditukar ingkar diri
Sumenep, 1 Juli 2024
Tentang Hidup (2)
Hidup adalah harmoni
meski kidungan sumbang dilantumkan
bila ingin berserah diri
senyapkan hati di garis lazuardi
taburkan kembang tiada berduri
Andai ku kalungkan seuntai bunga melati
harumnya menguar hingga membelah gugusan bima sakti
dan langit menghimpit bumi
tak kan pernah pudar lantunan ayat suci
Rebah
Rebahlah dikau kepada Yang Maha Suci
kendati tubuhmu terbalur bedak pulur wewangi
seharum semerbak minyak kesturi dari surgawi
Hidup adalah kesetiaan
lantaran cinta dan kasih sayang membalut kegelisahan hati
dan keangkuhan tiada akan pernah menembus dinding keikhlasan
karena jiwa nan tenang
senantiasa didekap oleh lembutnya embun keabadian
Hidup adalah halusinasi
rona merah jingga di kaki ufuk
sebagai pertanda redupnya mentari kembali ke peraduanNya
Sedang butiran embun yang menjilati kepekatan malam beriring dengan perginya ruam tubuh yang lelah mendesah
Malam
Masih adakah sisa cahaya yang menghampar?
Sebab bintang di atas sana
senantiasa berharap lambaian bocah-bocah menyenandungkan
syair sihir demi membalut awan
yang sembunyi di pelepah pepaya
Janur kuning di lengkung bulan
penuh malu terdiam
perlahan ceburkan diri
di ujung rayuan Sang Pencipta
Sumenep, 6 Juli 2024
Merdeka Apa
Merdeka apa?
Saat makan wajik
masih tersedak di tenggorokan
Merdeka apa?
Jika adil hanya milik segelintir insan bernafsu
menindas nurani dan budi dalam lembah curam
membelenggu hasrat dan semangat hingga batas tak bertepi
menjegal dan menjagal aksi berani hingga terkapar
Ibu pertiwi, mengapa begini?
Semangat hati dan nurani suci sudah tercemar oleh angkara para pemabuk yang menari melingkar-lingkar seraya berteriak menyenandungkan syair-syair keserakahan
Merdeka apa?
Saat siulan kutilang tak menghibur lagi
Merdeka apa?
Jika kepak sayap garuda sudah tidak harmoni lagi
Saat ini
Hanya tinggal sukma dan jiwa bersemedi di pojok ruang hampa tampang galak
garangnya keangkuhan
mencabik mencakar wajah pasrah hingga lunglai berlumuran darah
tak berdaya
Ooh, Tuhan!
Adakah gemericik air serta senandung burung malam
mampu memulaskan tidurnya sang bidadari didekapan para penghuni syurga?
Ooh, Tuhan!
Jangan biarkan para penjilat mengecap sisa air ludah bercipratan hingga menghancurkan liang kesabaran
Sebab langkahnya masih terseok-seok
dan menepi bersandar pada dinding keputusasaan
Jumat, 9 Agt. 2024
Masih Disini
Aku masih di sini
antara sunyi sepi,
sendiri
Gerimis menetes sukma, terkebiri
Sampai kepastian tidak bisa dinanti
cukuplah sampai di sini
khayalku terkelupas berberai, tercabik
Biarlah....
Cukupkan kesombonganmu
dan tancapkan kuku hitammu hingga muncrat darah, bernanah dan amisnya tumpah di rautmu
Sedangkan keadilanNya tiada pernah menelikung takdir hambanya.
Di Hatiku Selalu Ada Setiamu
Dik!
Ijinkan aku bertutur
Di kegalauan yang tak kunjung menepi
Sebab semenjak denyut nadiku dan nadimu merekat
Serta usil jemariku menelusup di bawah tetek
merindingkan bulu kudukku
Terkabur tatapan mataku pada sekeliling ruang hatimu
Lembut rona pipimu membalut rona setiamu
Sejuk guraumu terlukis di susunan paduan bibir dan geligimu
Dik!
Dengus nafasku yang semula tertahan saat menelusup dikedinginan malam dan temaram cahya rembulan
Kini lepas tak menyesakkan dadaku
Butiran kristal pilu lebur bersama hasrat syahwatku
Merangkul seluruh desah yang lama aku tunggu
Dalam asa selalu kamu janjikan berpadu lekatkan lidah terkulum dalam lipatan bibirmu
Dik!
aku sayang padamu
Itu pertanda kasih sayangNya telah kamu dapatkan
Lewat hembusan angin malam yang meniti tipis dikehalusan lamunan asmaraku
Cumbumu begitu lirih
Hingga seekor semutpun enggan berbalik menjemput asa bersama hembussn nafasku
Jika nanti asaku bergayut dan rebah di permadani arasyNya
Tak kan kubiarkan kamu terbang melesat tanpa sayap kepastian
Dan akan kutengadahkan kekar jari tanganku
Dan gelegar suaraku akan menembus, membahana ke seantero jagat mayapada
Hingga kilatan cahaya di sana
Tak akan lagi mampu pindahkan mendung yang tegak diperaduannya
Dik!
Lunglai sudah egoku
Tertatih merangkak berbalur Rahman dan RahimNya
Seakan garang itu laksana tisue berwudlu di air keabadian
Pasrah dengan nasib, tak mampu membuka goresan luka keangkuhan
Sumenep, 22 November 2025
Pilihan





