Tan Pangantanan dan Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang: Dialektika Sejarah, Budaya, dan Filsafat Madura

Tan-mantanan dalam sebuah festival
Pengantar Redaksi
Tradisi lisan dan permainan rakyat sering kali dipandang sebagai warisan budaya yang sederhana, bahkan sekadar hiburan anak-anak. Namun, di balik kesederhanaan itu, sering tersembunyi lapisan makna yang kompleks: sejarah kekuasaan, pandangan hidup, sistem nilai, hingga filsafat eksistensial suatu masyarakat. Tradisi Tan Pangantanan dan syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang adalah salah satu contoh paling kaya dari khazanah budaya Madura, khususnya di wilayah Sumenep.
Tulisan Lilik Rosida Irmawati ini disajikan sebagai esai ekspositori yang bertujuan menjelaskan secara utuh isi, makna, dan konteks tradisi Tan Pangantanan beserta syair pengiringnya. Dengan menambahkan penjelasan historis, kultural, filosofis, dan simbolik, esai ini diharapkan mampu memperlihatkan bahwa Tan Pangantanan bukan sekadar permainan anak-anak, melainkan sebuah “teks budaya” yang menyimpan memori kolektif masyarakat Madura lintas zaman.
Tan Pangantanan sebagai Tradisi Permainan Rakyat
Tan Pangantanan merupakan tradisi permainan rakyat yang dilakukan oleh anak-anak pada waktu senggang, terutama setelah musim panen tiba. Pada masa lalu, anak-anak di pedesaan Madura, termasuk di Sumenep, turut membantu orang tua mereka di sawah. Setelah pekerjaan panen selesai, tibalah masa rehat yang diisi dengan permainan kolektif. Di sinilah Tan Pangantanan menemukan ruang hidupnya.
Permainan ini dilakukan secara berkelompok dan spontan. Anak-anak berkumpul, lalu membagi diri menjadi dua kelompok besar: kelompok utama (perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Pembagian ini bukan sekadar teknis permainan, tetapi mencerminkan struktur sosial masyarakat Madura yang menempatkan relasi laki-laki dan perempuan dalam simbol perkawinan sebagai poros kehidupan sosial.
Kedua kelompok kemudian berlomba menghias “pengantin” jagoan mereka masing-masing di tempat yang berbeda. Konsep pengantin anak-anak ini menjadi pusat ritual permainan Tan Pangantanan, sekaligus simbol yang sarat makna budaya.
Busana, Tata Rias, dan Simbolisme Pengantin Anak-anak
Perlengkapan pengantin dalam Tan Pangantanan sangat sederhana, mencerminkan kehidupan agraris masyarakat Madura. Busana yang digunakan berupa kain panjang atau samper palekat yang dililitkan ke tubuh masing-masing pengantin hingga sebatas dada. Kesederhanaan busana ini menandakan nilai egalitarian dan keterbatasan material masyarakat desa, sekaligus menekankan makna simbolik ketimbang kemewahan visual.
Tata rias pengantin menggunakan lulur tradisional yang dibuat dari beras dan temmo (kunir dan kunyit putih). Lulur ini dibalurkan ke seluruh tubuh dan wajah pengantin, sehingga kulit tampak kuning cerah, yang dalam bahasa Madura disebut koneng ngamennyor. Warna kuning dalam banyak kebudayaan Nusantara melambangkan kesucian, harapan, dan awal kehidupan baru.
Untuk mempercantik penampilan, kepala pengantin dihiasi mahkota dari rangkaian daun nangka dan roncean bunga melati. Melati melambangkan kesucian dan ketulusan, sedangkan daun nangka—tanaman yang akrab dengan kehidupan desa—menjadi simbol kesuburan dan keberlanjutan hidup. Aksesori tambahan berupa roncean melati yang digantungkan di leher (to’oran dhaun malate), sumping daun kamboja, gelang kaki, serta bawaan lain yang dibawa para pengiring semakin memperkaya nuansa ritual permainan ini.
Arak-arakan dan Fungsi Sosial Tan Pangantanan
Setelah kedua kelompok sepakat, pengantin dari kedua pihak dipertemukan di lokasi yang telah ditentukan. Pertemuan ini menjadi puncak simbolik permainan, yang kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan keliling kampung. Sepasang pengantin anak-anak diarak dari satu kampung ke kampung lain, diiringi para pengiring dan anak-anak lain yang ikut meramaikan suasana.
Arak-arakan ini bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana interaksi sosial. Warga kampung yang dilewati akan keluar rumah untuk menonton, bahkan tak jarang ikut bergabung dalam iring-iringan. Dengan demikian, Tan Pangantanan berfungsi sebagai perekat sosial, memperkuat rasa kebersamaan, dan menumbuhkan solidaritas antarwarga.
Selama arak-arakan berlangsung, para pengiring melantunkan syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang, sebuah syair lisan yang menjadi ruh dari tradisi ini.
Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Dhe’ nong dhe’ ne’ nang
Nanganang nganang nong dhe’
Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur
La sayomla haeto lillah
Ya amrasol kalimas topa’
Haena haedhang haena dhangkong
Pangantanna din ba’aju din tamenggung
Ayola’ yole nengkong abli pole ngantol
Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon
Pangantan ka’imma pangantan
Mantan loji pamaso’a ka karaton
Bu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’
Aeng tase’ bang kambangan
Dhu panarema, dhu panarema
Balanjana saare korang
Bidaddari le’ bidaddar kong
Nase’ obi le’ kowa lurking
Ban-gibannna le’ nase’ jagung
Pangerengga le’ pate’ buttong
Ya, hadirin tore so’onnagi
Paneka pangantan sopaja kengeng salamet
Ya salam, ya salam
Kitab suci dah lama-lamanya
Kini pengantin lah tiba lah tiba
Kepada kawan-kawanku semua
Mudah-mudahan berjumpa lagi
Tan-taretan sadajana e dalem somana
Di sana e ka’dinto Karangduwek nyamaepon
Nyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseran
Olle tetep Islam ban Iman
Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)
Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan
Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantan
Pangantanna din ba’aju din tamongkong
Jas Turki pakaian celana puti
Aan’ ayam berani mati, jas turki sudah mati
La bu’na mela, ajam pote
Cocco’ sengkang e soro pajikaran
Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang sebagai Teks Budaya
Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang bukan sekadar lagu pengiring permainan, melainkan teks budaya yang kaya makna. Secara lisan, syair ini diwariskan turun-temurun, sehingga penciptanya tidak diketahui secara pasti (anonim). Namun, berdasarkan analisis para sesepuh dan peneliti budaya Madura, syair ini diyakini lahir sekitar abad ke-16.
Menurut analisis H. Saleh Muhammady, salah satu sesepuh Sumenep, frasa “kalimas topa’” dalam syair dapat ditafsirkan sebagai penanda angka tahun 1574 M, melalui simbol bilangan sa’ (1), lema’ (5), to’ (7), dan pa’ (4). Meski demikian, penafsiran ini tidak bersifat mutlak, karena frasa tersebut juga memiliki makna religius dan filosofis lain.
Jejak Sejarah dalam Bait-bait Syair
Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang memuat lapisan-lapisan sejarah Sumenep yang disampaikan secara simbolik. Kalimat “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon” ditafsirkan merujuk pada masa pemerintahan Pangeran Keddu atau Pangeran Wetan (sekitar 1574 M), pada era Ratu Tirtonegoro. Kata bukong (kakak tua) dipahami sebagai simbol burung, yang mengacu pada Tumenggung Pacinan, kakak Panembahan Sumolo, pendiri Masjid Jamik dan Keraton Sumenep.
Syair ini juga merekam konflik sejarah, seperti penyerangan tentara Bali ke Sumenep. Ungkapan “mon ta’ nondhe’ jaga jaggur” bermakna ancaman penjatuhan ke laut bagi pihak yang tidak tunduk. Kekalahan tentara Bali dan pengungsian mereka ke wilayah Pinggir Papas hingga kini masih berjejak dalam ritual Nyadar, sebuah tradisi Hindu-Bali yang tetap lestari.
Kritik Kekuasaan dan Ramalan Sosial Politik
Bait “haena haedhang haena dhangkong” ditafsirkan sebagai simbol sujud, yang menandai masuknya pengaruh sekularisme kolonial Belanda ke Sumenep. Penjajahan ini membawa perubahan besar dalam tatanan pemerintahan dan budaya, yang mengganggu stabilitas kekuasaan lokal.
Pada masa Cakranegara I, syair “pangantan loji pamaso’a ka karaton” merujuk pada kisah perampokan terhadap sang pangeran dalam perjalanannya ke Demak. Ketidakpastian kekuasaan ini diekspresikan dalam pertanyaan retoris “pangantan ka’ imma pangantan”, sebuah simbol kegelisahan rakyat.
Krisis, Pemberontakan, dan Penerimaan Takdir
Masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa digambarkan melalui metafora “aeng tase’ bangkambangan” (air laut mengambang), melukiskan gejolak sosial akibat ketidakpuasan rakyat terhadap pemimpin dari luar istana. Pemberontakan yang terjadi akhirnya dipadamkan, dan rakyat diajak menerima kenyataan melalui ungkapan “duh panarema”.
Pada masa Jayeng Pati, krisis ekonomi melanda akibat perubahan adat dan kebijakan yang merugikan rakyat. Kondisi ini tergambar dalam kalimat “nase’ obi kowa lorkong”, yang menunjukkan penderitaan rakyat hingga hanya mampu makan ubi dan sayuran liar. Penyakit mental kekuasaan seperti oportunisme, KKN, dan ABS dikritik melalui simbol “pangerengnga pate’ buttong”, anjing tanpa ekor yang melambangkan kehinaan moral.
Patriotisme, Perlawanan, dan Spirit Keagamaan
Kembalinya kekuasaan ke garis keturunan Cakraningrat I melalui Yudha Negara menandai bangkitnya semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, meski masih dalam bingkai feodalisme. Ungkapan “paneka pangantan sopaja kengeng salamet” mencerminkan harapan rakyat akan keselamatan dan kejayaan pemimpin.
Pada masa Pulong Jiwo dan penerusnya, Romo, dilakukan upaya perbaikan sistem pemerintahan dan pemulihan nilai-nilai budaya. Seruan “olle tetep Islam ban Iman” menegaskan bahwa stabilitas sosial harus berpijak pada agama dan moralitas.
Dimensi Filsafat dan Tasawuf dalam Syair
Lebih dari sekadar kronik sejarah, Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang mengandung nilai filsafat dan tasawuf yang mendalam. Ritual pengantin anak-anak menjadi metafora perjalanan hidup manusia: dari awal penciptaan, kelahiran, perjuangan hidup, hingga kematian.
Konsep dhe’-nondhe’ (menunduk) merujuk pada etika hidup orang Madura: tunduk kepada bapa’, babu’, guru, rato (ayah, ibu, guru/ulama, dan pemimpin). Ini adalah fondasi moral dan sosial masyarakat Madura.
Dalam perspektif filsafat, syair ini mengajarkan ontologi tentang asal-usul dan tujuan hidup (Sangkaning Dumadi). Bait-baitnya menjelaskan perjalanan dari ketiadaan menuju kehidupan, kemudian kembali kepada Yang Maha Ada. Dalam tasawuf, ia merepresentasikan tahap-tahap hakikat, tarekat, dan makrifat.
Tan Pangantanan sebagai Folklore Hidup
Tan Pangantanan dan syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang merupakan folklore yang hidup, berfungsi sebagai media transmisi nilai-nilai sejarah, budaya, agama, dan filsafat kepada generasi muda. Melalui permainan anak-anak, pesan-pesan kompleks itu disampaikan secara halus, menyenangkan, dan mudah diterima.
Tradisi ini menunjukkan kecerdasan kultural masyarakat Madura dalam merawat ingatan kolektifnya. Di tengah perubahan zaman, Tan Pangantanan menjadi bukti bahwa budaya lokal bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sumber pengetahuan dan kebijaksanaan yang relevan hingga kini.
Penutup
Kajian terhadap Tan Pangantanan dan syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang menegaskan bahwa tradisi rakyat tidak pernah sesederhana yang tampak di permukaan. Di dalamnya tersimpan dialektika sejarah, kritik sosial, ajaran moral, filsafat hidup, dan spiritualitas yang mendalam. Tradisi ini menjadi cermin perjalanan panjang masyarakat Sumenep dan Madura dalam menghadapi kekuasaan, krisis, perubahan, serta pencarian makna hidup.
Oleh karena itu, Tan Pangantanan layak dipahami, dilestarikan, dan dikaji lebih lanjut sebagai warisan budaya tak benda yang bernilai tinggi, bukan hanya bagi Madura, tetapi juga bagi khazanah budaya Nusantara secara keseluruhan.
(Lilik Rosida Irmawari )
Pilihan






