Tèngka di Antara Tali Silaturahmi dan Beban Sosial: Madura dalam Simpul Kemiskinan dan Martabat

Salah satu bentuk kegiatan "Tengka" bagi masyarakat Madura

Tulisan kali ini mengulas tèngka sebagai sistem nilai dan praktik sosial masyarakat Madura yang mengatur kewajiban memberi dalam berbagai hajat hidup. Di tengah kondisi ekonomi yang kian rapuh dan stigma kemiskinan, tèngka berdiri di persimpangan: antara solidaritas yang menjaga martabat komunal dan beban sosial yang menekan individu. Tulisan ini menelusuri ketegangan itu—dari kampung halaman hingga ibukota—serta kemungkinan jalan tengah agar tèngka tetap hidup tanpa melukai yang lemah.

*****

Kejam ibu kota tak sekejam kampung halaman,” kata orang-orang yang pernah pergi dan kembali. Ungkapan itu bukan sekadar keluh kesah; ia adalah simpulan rasa, endapan pengalaman. Di kota, kerasnya hidup hadir dalam rupa biaya sewa, persaingan, dan angka-angka. Di kampung halaman, kekerasan sering berwujud sunyi: tatapan, bisik-bisik, dan kewajiban sosial yang tak tertulis namun mengikat kuat. Di Madura, salah satu simpul terkuat dari ikatan itu bernama tèngka.

Tèngka bukan sekadar adat memberi. Ia adalah sistem nilai—sebuah “hukum tak tertulis”—yang mengatur bagaimana seseorang hadir dalam kehidupan sosial: kapan memberi, seberapa pantas memberi, dan apa konsekuensi bila abai. Dari selamat perkawinan, kandungan, kelahiran, turun tanah, hingga kematian, tèngka menuntut kehadiran bukan dengan tangan kosong. Bukan atas dasar belas kasihan, melainkan kebiasaan yang menjelma kewajiban. Ia menegaskan bahwa hidup tidak pernah sepenuhnya milik pribadi; hidup adalah urusan bersama.

Di masa lalu, ketika ekonomi desa berdenyut stabil—ladang cukup, ternak ada, jaringan kekerabatan rapat—tèngka bekerja sebagai jaring pengaman. Yang punya lebih membantu yang sedang kekurangan, dan kelak, bantuan itu akan kembali dalam bentuk lain. Timbal balik ini menumbuhkan rasa aman, kehormatan, dan kepastian sosial. Dalam bahasa halusnya, tèngka adalah solidaritas. Dalam bahasa kerasnya, ia adalah sanksi sosial.

Masalah muncul ketika konteks berubah, sementara norma tetap. Beberapa waktu terakhir, Madura kerap disebut sebagai wilayah termiskin di Jawa Timur. Label itu—entah sepenuhnya adil atau tidak—menunjuk pada kenyataan pahit: lapangan kerja terbatas, ketergantungan pada sektor informal tinggi, dan daya tahan ekonomi rumah tangga kian rapuh. Dalam situasi seperti ini, tèngka yang dahulu menjadi penyangga, berubah menjadi beban.

Bayangkan seorang buruh tani dengan penghasilan tak menentu. Dalam satu bulan, ia bisa menghadapi dua undangan hajatan, satu selamatan, dan kabar duka. Setiap peristiwa menuntut amplop atau bingkisan. Menolak bukan pilihan. Sebab menolak berarti memutus tali—dan memutus tali di kampung halaman bisa lebih menyakitkan daripada kehilangan pekerjaan di kota. Hukuman sosial itu halus namun efektif: diabaikan, dibicarakan, dan pada saat membutuhkan, tak lagi diingat.

Di sinilah ungkapan “kejam ibu kota tak sekejam kampung halaman” menemukan relevansinya. Kota memang keras, tetapi ia memberi jarak. Kampung halaman dekat, terlalu dekat—hingga setiap gerak hidup terlihat, dinilai, dan diukur. Tèngka menjadi alat ukur status sosial: seberapa sering hadir, seberapa besar memberi, seberapa patuh pada norma. Martabat seseorang, secara tak langsung, ditimbang dari amplop yang ia serahkan.

Namun akan keliru jika tèngka dipahami semata sebagai penindasan. Ia juga menyimpan wajah lain yang tak kalah penting. Tèngka menanamkan kesantunan, kerendahan hati, dan rasa tanggung jawab sosial. Ia mencegah individualisme tumbuh liar. Dalam masyarakat tradisional Madura, tèngka adalah pedoman hidup—kompas moral yang menjaga harmoni komunal. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan dan duka tidak pernah sepenuhnya personal.

Ketegangan muncul ketika pedoman hidup itu bertabrakan dengan realitas ekonomi. Ketika memberi berarti mengorbankan kebutuhan dasar: beras, sekolah anak, atau biaya kesehatan. Di titik ini, tèngka memaksa orang memilih antara martabat sosial dan kelangsungan hidup. Banyak yang memilih martabat—sebab hidup tanpa pengakuan sosial di kampung halaman terasa lebih pahit daripada lapar sesaat.

Fenomena ini menjelaskan mengapa sebagian orang Madura memilih merantau. Kota menawarkan anonimitas. Di sana, kegagalan ekonomi tidak langsung berbuah sanksi sosial. Tidak ada kewajiban tèngka yang mengintai setiap bulan. Tetapi kerinduan pada kampung halaman tetap ada—dan bersama rindu itu, kewajiban pun menunggu. Ketika pulang, tèngka kembali menagih.

Apakah tèngka harus ditinggalkan? Tidak sesederhana itu. Menghapus tèngka berarti mengoyak jaringan sosial yang telah lama menopang masyarakat Madura. Tetapi membiarkannya tanpa adaptasi berarti membiarkan yang lemah terus tertekan. Yang dibutuhkan bukan penolakan, melainkan penafsiran ulang.

Beberapa komunitas mulai meraba jalan tengah: besaran pemberian yang disepakati lebih fleksibel, kehadiran lebih diutamakan daripada nominal, dan empati terhadap kondisi ekonomi diperluas. Di sinilah esensi tèngka—solidaritas—bisa diselamatkan, tanpa menjadikannya alat penindasan simbolik. Tèngka seharusnya kembali menjadi jaring pengaman, bukan jerat.

Peran tokoh adat, agama, dan generasi muda menjadi krusial. Mereka dapat menafsirkan ulang norma tanpa merusak nilai. Bahwa kehormatan tidak selalu berbentuk uang; bahwa partisipasi sosial bisa hadir dalam tenaga, doa, atau sekadar kehadiran tulus. Bahwa harmoni komunal tidak harus dibayar dengan mengorbankan kebutuhan paling dasar.

Pada akhirnya, tèngka adalah cermin. Ia memantulkan wajah masyarakat Madura: keras namun peduli, kaku namun setia pada nilai, menekan namun juga merangkul. Dalam kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja, cermin itu perlu dibersihkan agar yang tampak bukan hanya tuntutan, tetapi juga welas asih.

Jika tidak, maka ungkapan “kejam ibu kota tak sekejam kampung halaman” akan terus menemukan pembenarannya. Dan kampung halaman—yang seharusnya menjadi tempat pulang—perlahan berubah menjadi ruang yang ditakuti. Tèngka tidak salah. Yang perlu ditinjau ulang adalah cara kita memikulnya, agar ia tetap menjadi tali silaturahmi, bukan beban yang menenggelamkan.

 (Rulis, dari beberapa sumber)


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 6934441324779979548

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close