Wasiat Pagi Dari Desa Untuk Anakku di Kota Santri

Para santri Pondok Pesantren Bustanu Usysyuqil Qur'an, Demak

Oleh: Ahmad Rasyid


Angin pagi menyapu pelan sawah yang menghampar di balik rumah kami. Langit mulai membiru, memudarkan semburat jingga sisa fajar yang baru berlalu. Suara ayam berkokok bersahutan, seakan menyambut datangnya hari baru. Sisa embun malampun bercampur dengan aroma kopi pahit yang mengepul dari cangkir tanah liat.

Di depan rumah, di bawah pohon mangga tua yang sudah tidak lagi berbuah, aku duduk sendiri. Di atas meja bambu kecil, ada sebuah surat yang belum rampung kutulis. Surat untukmu, anakku si Abduh, yang kini sedang menuntut ilmu di kota santri Pondok Pesantren Bustanu Usysyuqil Qur'an, Demak. Hari-hariku kini sepi tanpamu. Namun rindu yang membuncah di dada ini tidak pernah kutukar dengan penyesalan, karena kau pergi untuk tujuan mulia—menghafal kalamullah.

"Yaa Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima."

Doa itu kututurkan lagi pagi ini. Hampir setiap hari. Doa yang dulu kau tulis di kertas kecil dan kau tempelkan di dekat rak buku. Kini kertas itu kusimpan di dompetku, sebagai pengingat bahwa kau, anakku, telah memilih jalan yang agung.

Aku menatap halaman yang mulai diterpa cahaya matahari. Pagi memang selalu menenangkan, seperti pelukan langit pada bumi.

"Pagi adalah awal dari harapan, tempat di mana doa-doa semalam mulai menampakkan jawaban-Nya," gumamku, mengingat ucapanmu yang terekam kuat dalam benakku.

Kau tahu, Nak, setiap pagi, Bapak menulis surat untukmu. Kadang tak selesai. Kadang robek, karena air mata lebih dulu menodainya. Tapi pagi ini, izinkan bapak menyelesaikan satu surat, satu wasiat kecil dari desa kecil AmbuntenTimur, dari seorang bapak yang rindu, kepada putranya yang sedang meniti jalan suci.

---
 

Anakku yang jauh di kota santri,

Semoga engkau membaca surat ini dalam keadaan sehat, berlimpah rahmat, dan dalam pelukan cinta Allah serta bimbingan Rasulullah.

Bapak tahu, jalan yang kau pilih bukan jalan yang mudah. Hidup jauh dari keluarga, bangun pagi-pagi untuk shalat malam, menghafal ayat demi ayat, menghadiri majelis ilmu yang tak pernah sepi dari ujian dan lelah. Tapi justru di situlah letak kemuliaannya, Nak. Kau telah memilih jalan para pejuang akhirat. Bukan kemewahan dunia yang kau kejar, tapi ridha Allah dan cinta Rasul-Nya.

Bangkitlah setiap pagi dengan niat yang tulus. Niatkan semua aktivitasmu sebagai bagian dari ibadah. Karena sejatinya, bukan seberapa banyak ilmu yang kau hafal, tapi seberapa dalam ilmu itu menumbuhkan ketakwaan dalam dirimu.

Jangan remehkan usaha sekecil apa pun. Sekalipun hanya sekadar menyapu halaman pesantren, membantu temanmu mengulang hafalan, atau menyisihkan sedikit bekalmu untuk yang lebih membutuhkan. Karena Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal yang dilakukan dengan ikhlas.

Bapak ingin mengulang satu ayat yang mungkin telah kau hafalkan di benakmu, "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." (QS. At-Talaq: 2-3)

Itulah pegangan hidup, Nak. Dalam perjalanan menuntut ilmu, pasti ada masa di mana engkau lelah, merasa sendirian, merasa sulit, bahkan ingin menyerah. Tapi ingatlah, Allah selalu bersamamu. Rezeki-Nya tidak hanya berupa uang, tapi bisa berupa kemudahan dalam memahami ilmu, keberkahan waktu, atau sekadar hati yang tenang saat semua terasa berat.

---

Aku memandangi halaman surat yang baru kutulis setengahnya. Lalu kuletakkan pena. Mataku menyapu pepohonan di kejauhan. Burung-burung kecil mulai terbang ke arah barat. Mungkin menuju ladang, mencari rezeki. Sama seperti dirimu yang kini sedang mencari bekal untuk masa depanmu—dan masa depan umat.

Ah, Nak, kau tahu? Ibumu sering duduk di serambi belakang saat sore hari. Sambil mengupas singkong, ia suka menyebut namamu pelan-pelan, takut didengar tetangga, tapi tak pernah lepas dari doa.

"Semoga anak kita istiqamah, Pak,...." katanya padaku malam lalu. "...Semoga dia kuat menghadapi godaan dunia, dan kelak bisa memberikan mahkota cahaya untuk kita di akhirat sebagaimana yang ia niatkan dahulu."

Aku hanya mengangguk. Tak sanggup menjawab karena tenggorokan terasa tercekat. Sebab doa-doamu dan doa-doa kami telah menjelma menjadi satu: agar engkau menjadi manusia yang peduli dan bermanfaat untuk banyak orang.

---

Anakku,
Bapak tak punya banyak harta untuk kau warisi. Tanah ini pun kecil, dan ladang kita lebih sering kering bila hujan tak turun sebulan. Tapi izinkan Bapak mewariskan sesuatu yang lebih penting: keyakinan dan cinta kepada Allah.

Wasiat Bapak ini sederhana:

1. Jaga salatmu, terutama salat malam. Karena itulah pembuka segala pintu keberkahan.
2. Jaga niatmu. Jangan biarkan ia ternoda oleh popularitas, pujian, atau sekadar ingin terlihat alim.
3. Hafalkan Qur’anmu dengan cinta, bukan beban. Karena Qur’an yang dihafal dengan cinta akan membimbing langkahmu sampai akhirat.
4. Jangan sombong dengan ilmu. Sebab ilmu yang tinggi tanpa adab hanya akan menjatuhkanmu.
5. Jadilah orang yang peduli. Engkau menuntut ilmu bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk umat.

Jika kelak engkau kembali ke desa ini, jangan pernah merasa lebih tinggi dari mereka yang tak pernah bersekolah. Karena Allah menilai seseorang bukan dari gelarnya, tapi dari hatinya.

---

Angin kembali bertiup lirih. Matahari sudah naik, tapi masih ramah. Aku menutup suratku dengan kalimat yang sama seperti yang kau ucapkan sebelum pergi, "Semoga Allah memberkahi setiap langkah kita."

Anakku, semoga surat ini sampai kepadamu saat engkau sedang dalam semangat yang redup, agar bisa kembali menyala. Dan jika engkau membacanya dalam keadaan semangatmu tinggi, semoga ia menambah kekuatanmu untuk terus melangkah lebih jauh.

Di desa ini, doa Bapak dan Ibumu tak pernah libur. Tak ada sepotong malam yang kami lewati tanpa menyebut namamu. Tak ada sajadah yang kami gulung tanpa menitipkan harapan padamu.

Kelak, ketika kau pulang, bukan dengan gelar yang kami nanti, tapi dengan hati yang lebih lembut, akhlak yang lebih santun, dan ilmu yang lebih dalam. Itulah kebanggaan sejati bagi kami.

---
Dengan cinta dan doa yang tak bertepi,
Bapakmu,
dari desa kecil yang rindunya mengakar hingga langit tinggi nan luas.

Sumenep, 30 Juni 2025

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 2109585316592500083

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close