Analisis Anekdot: Jadi Sopir
Amang Mawardi
Pai sudah lama pengangguran. Cari kerja susah sekali. Tubuhnya kurus, dandanannya awut-awutan.
"Aku mbok dicarikan pekerjaan, Cak," kata Pai kepada Cak Sur, tetangganya. "Jadi apa saja aku mau, yang penting halal...," lanjut Pai penuh iba.
Cak Sur pun jatuh kasihan. Dia diam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ada sih lowongan sopir. Kebetulan bos perusahaan itu teman saya sekolah dulu. Dicoba saja. Kalau nggak cocok jangan diteruskan," kata Cak Sur yang lantas menyodorkan alamat temannya yang bos itu.
Sudah seminggu ini Pai menjalani pekerjaannya. Tubuhnya sudah mulai segar. Dandanannya necis.
Pai lantas menelepon Ning Yah, pacarnya.
"Yah, aku sekarang sudah kerja lho, jadi sopir. Kapan-kapan mau nggak jalan-jalan. Bos mengizinkan kendaraan kubawa pulang".
Ning Yah sueneng mendengar kabar dari Pai itu.
"Besok sore ya, aku kamu jemput pakai mobilmu (maksudnya mobil perusahaan)".
Pai kelihatan bingung.
"Masak cukup Yah diparkir depan rumahmu," kata Pai.
"Nggak apa-apa, cukup. Santai aja. Itung-itung biar tetangga tahu pacarku bawa mobil" kata Ning Yah sumringah.
Besok sorenya Pai datang. Orang sekampung gempar tidak bisa lewat, ketutup kendaraannya Pai.
Ning Yah keluar menuju kamar tamu, setelah mendengar suara hiruk-pikuk. Lantas melihat ke arah depan rumah dari celah korden. Kontan Ning Yah kaget disusul matanya berkaca-kaca.
"Mestinya bilang kalau yang kamu bawa mobil sedot tinja".
Wajah Pai tampak sedikit bloon, disusul cengar-cengirnya.
"Gimana, Yah. Jadi jalan-jalan ke Suramadu?"
Ning Yah menangis tersedu-sedan.
***
Apa yang bisa dielaborasi dari kisah anekdot ini?
Ning Yah berharap Pai bawa sedan atau "kijang", eh...ternyata yang dibawa pacarnya : truk sedot tinja.
Oleh sebab itu banyak ajaran kebajikan menyatakan, jangan terlalu bersedih jika sedang ditimpa kemalangan. Dan jangan terlalu gembira manakala mendapat kemudahan.
Hanya satu kata yang mesti dijalani jika sedang mengalami peristiwa dari salah satu unsur ini (kemalangan atau kemudahan): bersyukur !
Dengan bersyukur, seseorang diharapkan bisa mengelola keseimbangan jiwanya, dan niscaya hidupnya akan tenteram.
Btw, ada yang bilang bahwa 'ketenteraman' tingkatannya sedikit di bawah 'bahagia'.
Apa definisi bahagia?
Pernah saya baca kalimat Dahlan Iskan pada salah satu artikelnya saat sosok ini menjabat Dirut PLN yang dimuat di Jawa Pos : Bahagia itu adalah saat kita menerima lebih dari yang diharapkan. Misalnya, berharap sejuta rupiah -- ternyata yang didapat tiga juta.
Apa betul begitu?
Salah satu sahabat saya seorang karikaturis dari salah satu koran grup Jawa Pos bilang begini, " Kalau itu sih istilahnya : lego -- lega, plong ! Bukan bahagia.
Kosakata 'bahagia', katanya, lebih kompleks. 'Gitu ya, Mas. Terserah deh... wkwkwk...' (saya pun membatin).
***
Dalam konteks lain, apa Ning Yah termasuk cewek matre? Sebaiknya kita abaikan saja soal itu.
Yang jelas saat ini tatanan masyarakat kita sedang dilanda gelombang hedonisme. Dan ini --barangkali-- dampak dari kapitalisme dengan ekspansi pasarnya yang destruktif.
Negara-negara kapitalis terus menggerojokkan segala hasil produksi : dari bola lampu sampai HP canggih, dari pesawat televisi sampai mobil mewah -- didukung iklan-iklan yang memuja gengsi.
Maka, tatanan masyarakat makin lama makin terkondisi menjadi budaya gengsi. Gengsi menjadi segala-segalanya. Jatuh gengsi bukan karena menjaga nilai-nilai kehormatan yang bersumber dari harga diri, namun karena tidak bisa menggenggam HP canggih atau nangkring di mobil keluaran mutakhir.
Harga materi lebih tinggi dari harga diri yang dilandasi nilai-nilai kebajikan. Untuk menjaga gengsi, banyak yang melakukan korupsi. Gara-gara jaga gengsi, tidak sedikit orang masuk bui. (AM).
Dari akun FB Amang Mawardi
Pilihan