5 Bentuk Kebodohan Modern yang Dinormalisasi


Di zaman serba cepat ini, kebodohan bukan lagi musuh. Ia justru dirayakan, dibagikan, bahkan dijadikan identitas.

Dalam The Death of Expertise, Tom Nichols mencatat fenomena meningkatnya kepercayaan diri publik dalam isu-isu kompleks yang sebenarnya mereka tidak pahami. Menurutnya, kebodohan kini tidak lagi disembunyikan, tapi diklaim sebagai bentuk “kebebasan berpikir”. Sedangkan Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death menyebut bagaimana hiburan telah merusak kedalaman berpikir publik. Bauerlein menambahkan, anak muda lebih memilih scrolling dibanding membaca buku, walau akses terhadap ilmu sudah terbuka lebar.

Di dunia digital saat ini, kita terbiasa melihat seseorang bicara panjang soal sains, ekonomi, bahkan filsafat, padahal baru saja menonton video berdurasi 30 detik. Komentar-komentar yang yakin tapi kosong memenuhi kolom diskusi. Tidak ada proses berpikir, hanya pengulangan tren. Anehnya, ini tidak dianggap masalah. Malah sering dipuji: “Setidaknya dia berani bicara.” Tapi berani bicara tanpa berpikir bukan keberanian, melainkan bentuk baru dari kebodohan yang kita anggap biasa saja.

Ingin dapat artikel lainnya yang lebih menarik? Silakan berlangganan di logikafilsuf. Cek kolom komentar kami. Mari kita lanjut bahas;

1.  Mengganti Pengetahuan dengan Opini

Makin banyak orang percaya bahwa opini yang kuat sama berharganya dengan fakta yang benar. Padahal keduanya sangat berbeda. Dalam The Death of Expertise, Nichols menjelaskan bahwa publik kini menolak otoritas keilmuan. Bukan karena punya argumen, tapi karena merasa punya hak untuk tidak percaya. Misalnya, ketika dokter menjelaskan soal vaksin, lalu dibantah oleh seseorang yang hanya membaca status Facebook temannya. Ini bukan demokrasi berpikir, tapi ilusi kesetaraan intelektual.

2.  Menyukai Ringkasan tapi Menolak Proses

Orang ingin tahu hasil akhir tapi malas membaca keseluruhan. Ingin paham sejarah, tapi tak tahan membaca lebih dari dua paragraf. Ingin pintar, tapi tak tahan dengan kerumitan. Inilah yang dikritik Neil Postman. Dalam masyarakat yang terlalu mengandalkan hiburan, kesabaran berpikir jadi rusak. Kita tidak lagi mendalami, hanya sekadar tahu permukaan. Akibatnya, pandangan jadi rapuh, tidak siap terhadap pertanyaan kritis.

3.  Bangga pada Ketidaktahuan

Ungkapan seperti “aku orangnya simple aja, gak suka mikir yang ribet” sering terdengar seolah itu kelebihan. Padahal itu bentuk perayaan ketidaktahuan. Di masa lalu, orang malu jika tidak tahu. Sekarang, mengaku tidak tahu malah dianggap jujur dan rendah hati, walaupun setelah itu tidak juga belajar. Bauerlein menyebut ini sebagai bentuk pembiaran budaya malas intelektual.

4.  Meremehkan yang Mendalam dan Merayakan yang Instan

Konten reflektif, panjang, dan mengajak berpikir sering dianggap “tidak menarik” atau “gak relate”. Sebaliknya, video dangkal dengan edit cepat dan suara keras justru viral. Ini bukan salah algoritma semata, tapi cerminan selera publik. Kita mulai terbiasa dengan kecepatan, lalu menganggap lambat itu tidak cerdas. Padahal banyak kebijaksanaan hidup justru datang dari proses berpikir yang dalam dan lama.

5.  Menyamakan Viral dengan Valid

Ketika satu pandangan diulang banyak orang, ia mulai dianggap benar. Tak peduli apakah data dan logikanya kuat. Fenomena ini semakin kuat di media sosial. Apa yang populer dianggap bermutu. Apa yang sepi dianggap keliru. Ini membuat orang takut berpikir berbeda. Lalu akhirnya semua hanya menyalin suara mayoritas, bukan karena setuju, tapi karena takut terlihat bodoh. Ironisnya, inilah bentuk kebodohan kolektif paling berbahaya.

Kita sedang hidup di era di mana kebodohan bukan lagi tersembunyi, tapi tampil percaya diri. Dan jika tidak hati-hati, kita ikut menormalisasikannya. Menjadi pintar bukan tentang tahu lebih banyak, tapi tentang mau berpikir lebih dalam. Dan itu butuh waktu, kesabaran, dan keberanian melawan arus dangkal.

Pernahkah kamu merasa pendapatmu berbeda dari mayoritas, tapi ragu mengungkapkannya?

Sumber dari akun FB Kasih Tulus

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 6609468970609855624

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close