Ketemu Dahlan Iskan di Tangga Gedung Harian Suara Indonesia
Dahlan Iskan dan Amang Mawardi (foto editing)
Amang Mawardi
Dulu, saat saya mendengar Peter Apollonius Rohi salah satu jurnalis hebat di Indonesia mundur dari SI (Suara Indonesia), tebersit pikiran: 'Kok gak eman (sayang) ya. Sudah dirintis dengan susah payah, sebentar lagi metik hasil, eh.. ditinggal begitu saja...'
Akhirnya saya menyadari, begitulah orang per orang melakukannya sesuai krisis yang melingkupi diri yang mungkin dipertegas komitmen pada suara hati. Dan itu, boleh jadi mirip yang saya alami, saat mmemutuskan resign dari Mingguan Surya.
Pada suatu hari, sesudah beberapa bulan Mingguan Surya terkonversi menjadi Harian Surya, saya bertemu teman sekantor di Mingguan Surya dulu, di Gramedia Jalan Basuki Rachmat, Surabaya -- yang lantas teman ini ikut bergabung ke harian tersebut.
Setelah say hello, dilanjut ngobrol ngalor ngidul, akhirnya dia berkomentar: "Pak, mestinya saham sampeyan nang Mingguan Surya (PT. Antar Surya Jaya) ojok dilepas. Bahwa sampeyan resign okelah, tapi saham sampeyan jarno ae. Eman ...". (Kurang lebihnya begini: Teman ini menyayangkan saya melepas saham di Mingguan Surya. Boleh saja keluar dari Mingguan Surya, tetapi saham jangan dijual. Sayang ...).
Ternyata tidak dia saja yang ngomong begitu, lainnya yang lantas ikut terkonversi ke Harian Surya, juga demikian.
Reaksi saya setelah mendengar komentar mereka, biasa saja. Saya tidak menyayangkan, apalagi menyesali tindakan saya.
Mungkin kalau pertanyaan itu muncul lagi sekarang, saya akan bilang: "Saya tidak eman, tidak menyesal menjual saham itu. Saya akan menyesal manakala saya menyakiti orang yang tidak bersalah, baik yang saya sengaja maupun yang tidak saya sengaja." (Baper ni ye... wkwkwk...).
Di Mingguan Surya, oleh Harian Pos Kota pemegang saham mayoritas (85%), kami (Ivans Harsono dan saya) diberi saham perintis alias saham kosong : Ivans 10%, saya 5%.
Akhirnya ya itu tadi, saya menjadi orang biasa, menjalani hari-hari saya sebagai sub-agen: Jawa Pos, Surabaya Post, dan sejumlah majalah -- dengan masih mengelola toko ATK (alat tulis & kantor) dan agen pengiriman paket TiKi. Sebagian uang penjualan saham saya gunakan nambah modal usaha dan lain-lain.
Karena saya kenal dengan Pak Djoko kepala pemasaran Harian Surya, lantas saya diangkat jadi agen pemasaran koran itu, dan direkomendasi menjadi agen Harian Kompas.
Selain dibantu Bero Raharjo adik sepupu istri yang tinggal di rumah kami, saya juga memberi honor empat orang loper.
Sepupu istri saya ini karyawan Mingguan Surya. Dia saya masukkan ke koran itu.
Yang repot kalau pas ada loper tidak masuk, saya harus menggantikan.
Sekadar ilustrasi, ada beberapa pelanggan yang beralamat di kawasan terpencil, sekira dua kilometer dari kompleks real estate Pondok Chandra, Sidoarjo, yaitu perumahan Surya (kebetulan nama sama dengan Mingguan Surya). Sedangkan Pondok Chandra dari rumah saya sekitar dua kilometer.
Pernah hujan turun deras, loper menelepon ke rumah untuk izin tidak masuk karena sakit. Terpaksa saya turun tangan.
Majalah dan koran saya masukkan kantong-kantong plastik, saya ikat dengan karet gelang. Dengan Honda bebek merah metalik, saya melawan deras hujan yang antara lain menghunjam ke mata yang berakibat perih, melewati kanan kiri persawahan dan rawa-rawa. Akhirnya koran dan majalah saya lempar-lemparkan ke teras rumah para pelanggan.
Selain itu setiap hari saya harus kulakan berbagai majalah di bursa media cetak di Jalan Pahlawan, Surabaya, di samping kantor Surabaya Post, koran Memorandum, LKBN Antara dan majalah Liberty itu.
Dalam sehari, waktu kedatangan berbagai majalah ke bursa media cetak itu tidak seragam. Ada yang pagi, siang, dan jelang sore. Saya harus stand by.
Bisa saja saya tidak harus nyanggong terus-terusan di lokasi Jalan Pahlawan itu. Yang penting majalah seperti Tempo, Femina, Kartini, atau Gadis, sudah saya dapatkan. Yang lain-lain, yang belum tiba dari Bandara Juanda yang kira-kira saya anggap tidak begitu penting, bisa saya tinggal. Besok kembali lagi dalam rangka kulakan. Sesekali tindakan seperti itu saya lakukan, cuma sebentar. Tetapi...eits, untuk seterusnya jangan coba-coba begitu. Kalau pelanggan tahu bahwa tetangga atau kenalannya sudah menerima majalah yang sama, sementara dia belum, bisa disewoti.
Begitulah keseharian saya waktu itu.
***
Kalau tidak salah, sekitar tahun 1988, manajemen Suara Indonesia (SI) mulai ditangani Jawa Pos, bukan oleh Sinar Harapan lagi.
Dan SI pun "bedol desa" dari kawasan Talun, Malang, pindah ke Jalan Sumatera nomor 31 H, Surabaya.
Hampir setiap hari saya mengharuskan ke kantor di Jalan Sumatera itu karena sebagian besar wartawan Sl yang teman-teman saya, berlangganan majalah Tempo, dan sejumlah majalah wanita untuk istrinya. Selain yang di SI, ada juga sejumlah wartawan yang berlangganan, seperti di Radio Suara Surabaya dan Memorandum.
Kenapa itu saya lakukan, apa tidak gengsi? Ya, mula-mula gengsi. Lama-lama, biasa. Kaitannya ada jeda kosong, pagi sekira pukul 06.00 ngantar istri ngajar, pukul 13.00 tugas jemput. Jeda itu saya gunakan urusan keagenan media cetak.
Saat pertama kali masuk ke kantor itu, saya bertemu dengan seorang wartawan senior yang seniman yang saya kenal betul. Sosok ini menjabat redaktur pelaksana.
Kami lantas ngobrol. Rupanya kehadiran saya siang itu menginspirasinya untuk menulis di rubrik Renungan Pagi esok hari, dengan judul: Wartawan.
Intinya banyak kehadiran wartawan muda yang akhirnya meminggirkan yang senior-senior.
Yang lebih menarik adalah penutup tulisan ini, yang saya kutip persis dari klipping saya:
Sebagai wartawan, Mawardi merasa sudah tak mampu dan tak kreatif, tetapi sebagai wiraswastawan, ia punya peluang. Teruskan !
Tulisan ini sebetulnya diperhalus dari obrolan redpel yang seniman dengan saya siang hari itu, di mana sosok ini selalu bikin banyak orang terpesona manakala mendengar dia berbicara. Begitu dramatis. Maklum dia juga seorang sutradara teater.
Saat dia ngobrol dengan saya, beberapa redaktur dan wartawan ikut nimbrung.
"Kita semua orang-orang kalah. Amang kalah, saya kalah, kamu kalah, Anda kalah, awakmu kabeh (Anda semua) kalah..!", seraya tangannya menunjuk-nunjuk anak buahnya yang mengelilingi dia dan saya.
Mungkin kalau diperlebar: Jawa Pos kalah karena dibeli Tempo; Mingguan Surya (+Pos Kota) kalah sebab di-take over Kompas; Suara Indonesia lempar anduk karena dimanajemeni Jawa Pos dan masih panjang lagi daftarnya.
Sang redpel berambut keriting ini yang juga mengaku "kalah" ini, sekian puluh tahun kemudian bergelar doktor. Bahkan belakangan juga profesor. Saya rasa Anda, khususnya wartawan senior, tahu -- siapa yang saya maksud. Siapa? Ya, betul : Prof. Dr. Sam Abede Pareno.
Pada kemudian hari, lantas timbul pemikiran bahwa dalam kehidupan kalah dan menang itu perkara wis wayahe opo sik nunggu (sudah saatnya atau masih menunggu) giliran (menang).
Misalnya: Sekarang kalah, setahun lagi menang, itu kan cuma perkara wayahe ae (waktu saja). Kalah dan menang itu soal menunggu waktu, dan akan berjalan silih berganti. Tidak ada orang yang menang terus sepanjang hidupnya. Terkadang ada kalahnya juga. Demikian sebaliknya. Yang penting yang kalah harus berjuang keras agar menang, tidak kalah terus.
Narasi di atas mirip yang dinyatakan Dr. Fachrudin Faiz filosof dari UIN Sunan Kalijaga bahwa hidup itu intinya cuma dua: kalau gak senang, ya susah. Dan itu silih berganti, selagi manusia hidup.
Kalau misalnya ada yang tanya: "Lha, kalau kalah terus sepanjang hidup, gimana?" (Ya, ndak tahu. Kok tanya saya...).
***
Meski saat itu saya sudah ganti baju sebagai pengusaha-(pengusahaan), saya masih tetap menulis, antara lain di majalah Liberty dan Surabaya Post.
Di majalah yang didirikan Pak Goh Tjing Hok ini, tulisan-tulisan saya dalam bentuk profil dan reportase, seingat saya selalu dimuat. Bahkan kalau pas baru datang di redaksi Liberty, Mbak Ida Tomasoa sebagai redaktur pelaksana dari jarak beberapa meter, setengah berteriak sering ngomong begini: "Endi tulisane, Diikk... (mana tulisanmu, Dik).
Selain Liberty dan Surabaya Post, tulisan-tulisan saya berupa artikel seni budaya sering dimuat di SI. Kalau ini sih lebih banyak karena unsur pertemanan, karena dua sahabat saya yaitu Toto Sonata dan M.Djupri menjadi redaktur di harian ini.
***
Suatu hari saat menuruni tangga gedung) di kantor SI, saya berpapasan dengan Dahlan Iskan yang naik ke atas.
Begitu melihat saya, Dahlan spontan menyapa:
"Hei, Mang!"
"Ya, Lan!"
Akhirnya saya tidak jadi turun, karena diajak Dahlan naik ke lantai II ke ruang redaksi.
Dahlan dan saya berteman sudah lama, sejak awal dia masuk Surabaya dari Samarinda. Di ibukota Provinsi Kaltim itu dia adalah koresponden Tempo. Karena prestasinya, Dahlan dimutasi ke Surabaya dan akhirnya menjadi Kepala Biro Tempo Jawa Timur. Dan pada akhirnya saat Jawa Pos diambil-alih Tempo, lantas menugasi Dahlan Iskan yang waktu itu berusia 31 tahun sebagai pelaksana harian Jawa Pos.
Saat Dahlan menjadi Kepala Biro Tempo, hampir setiap Minggu menelepon saya untuk mengajak main pingpong di Balai Wartawan. Dahlan jarang menang lawan saya.
Yang lantas menjadi catatan saya jika dihubungkan dengan kejadian yang menimpa Dahlan sekian puluh tahun kemudian adalah: sehabis pingpong dengan saya, dia sering menempelkan perutnya ke pinggiran/tepian meja pingpong yang tebalnya lebih kurang 5 sentimeter itu.
Setelah itu, ngomong begini: "Perut itu mestinya kayak perut saya, empuk. Coba perutmu kamu tempelkan, kamu tekan-tekan ke 'ketajaman' meja ini".
Setelah kaos sedikit saya angkat ke atas, perut saya pun saya tekan-tekankan.
"Waduh...perutmu kok atos (keras) gini. Kamu sering masuk angin ya ...?!".
Apakah kebiasaan Dahlan itu, pertanda dia mulai dihinggapi hepatitis, sehingga pada akhirnya mengantarkan Dahlan pada tahun 2006 harus ganti hati di Tian Jin, China ?
Nah, saat itu sedang terjadi "perang bintang" antara Surya dan Jawa Pos.
Sebagaimana realita yang sedang berjalan, 'Jawa Pos reinkarnasi' di- back-up Tempo sejak delapan tahun sebelumnya.
Saat saya diajak ngobrol Dahlan di lantai II itu -- terjadi head to head Jawa Pos dengan Harian Surya yang di belakangnya berdiri dua raksasa: Kompas (51% saham dan Pos Kota 49%).
Dari cerita teman-teman saya yang ada di Surya, Kompas menggerojok dengan fasilitas luar biasa dan duit miliaran.
Dan menurunkan pendekar-pendekar jurnalistiknya seperti Valens Doy, Herman Darmo, Max Margono, Yesayas Octavianus dan masih banyak lagi.
Bahkan jurnalis-jurnalis hebat di luar Kompas seperti Peter A.Rohi dan Anshari Thayib ikut bergabung di jajaran redaksi.
Peter pun dipasang sebagai wakil redaktur pelaksana.
Saya dengar, untuk meliput satu peristiwa di kota Surabaya, Surya menurunkan 3-4 orang wartawannya. Kalau saya yang jadi redaksinya, paling banyak dua reporter (he-he-he koyok yok-yok-o ae -- kayak apa aja aku... ).
Lantas Jawa Pos menangkis kehadiran Surya dengan berbagai cara, baik dari sisi pemberitaan maupun pemasaran.
Yang bikin saya ketawa saat itu mahasiswa ITS bikin mobil yang dijalankan dengan tenaga 'surya'. Dan saya rasa istilah mobil tenaga 'surya' adalah hal yang umum. Tetapi Jawa Pos tidak mau menggunakan istilah itu, melainkan dengan istilah mobil tenaga 'matahari'.
Dalam pertemuan tidak sengaja di kantor SI siang itu, rupanya Dahlan Iskan paling suka dengan kalimat saya ini: "Anda hebat ya, bisa menghadapi serbuan Surya dengan segala taktik".
Yang lantas ditanggapi hanya dengan: "he-he-he..." Meski cuma dengan "kode" itu, tampak Dahlan tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Entah ada hubungannya dengan 'he-he-he' itu, tiga tahun kemudian saya dibikin kalah olehnya dengan dijadikan general manager salah satu koran dari grup Jawa Pos, yang akhirnya saya tidak memanggilnya dengan 'Anda' atau 'Dahlan' lagi, tetapi dengan sebutan 'Pak Dahlan'. (Dan, ternyata, saya memang kalah lagi wkwkwk... ).
Saat menjabat GM tabloid Jawa Anyar itu, saya secara empiris banyak belajar bagaimana me-manage koran mingguan dengan sebenar-benarnya.(Cuplikan dari buku : Memoar Amang Mawardi - Wartawan Biasa Biasa).
Diangkat dari akun FB Amang Mawardi
Pilihan