Kiai Tidak Memihak Orang Desa?
Sebuah ilustrasi
Halimi Zuhdy
Belakangan saya sering dengar komentar seperti: "Kiai itu tidak tahu realitas di desa," atau "Kiai hanya ngerti kitab, bukan perasaan orang kecil." "Hiburan dan kesenangan orang desa, kok selalu dilarang, kayak paling suci dewe" Jujur, saya bingung.
Bukankah kebanyakan Kiai itu justru lahir dari desa? Hidup di tengah masyarakat desa, mendengar keluh kesah warga setiap hari dari masalah utang, tahlilan, jenazah yang belum punya kain kafan, sampai urusan rumah tangga. Bahkan Kiai sering kali jadi tempat pertama yang didatangi orang desa saat ada musibah.
Lalu kenapa muncul anggapan bahwa Kiai tidak paham realitas orang desa? Aneh saja. Justru yang sering bicara soal desa kadang malah bukan orang desa. Ada yang merasa paling "desa", paling paham orang kecil, padahal nongkrong saja jarang sama warga. Sibuk dengan analisis dan slogan, tapi jauh dari pergaulan.
Saya jadi ingat kisah orang tua saya di Madura. Beliau asli kampung. Tapi sejak kecil, saya tidak pernah diperbolehkan menonton kerapan sapi. Katanya, karena dulu ada fatwa haram menonton karena menyiksa hewan, apalagi kalau sampai luka-luka. Ada juga larangan nonton sronen, ludruk, atau tontonan lain yang bercampur laki-laki dan perempuan. Alasannya jelas, karena ada ikhtilat, hiburan yang bisa menjurus ke maksiat. Dan sampai sekarang, tidak pernah tahu nonton karapan sapi .
Jadi kadang, bukan soal Kiai tidak paham. Tapi Kiai melihat dari kacamata hukum dan tanggung jawab akhirat. Kadang masyarakat ingin hiburan, ingin budaya tetap hidup. Tapi Kiai melihat batas. Apa yang boleh, mana yang tidak. Memang tidak semua keinginan masyarakat bisa diiyakan. Maka, di sini dialog itu penting antar berbagai kepentingan-kepentingan, walau pada akhirnya harus haram, tapi minimal sudah tahu alasannya. Memang tidak semua harus menerima, karena setiap orang/kaum punya kepentingan, tapi dimana yang lebih maslahat, itu yang harus didahulukan?!
Bukan bermaksud memihak beberapa Kiai, terutama Kiai yang hidup di kampung. Mereka hidup dengan keras, ada yang bertani, beternak hewan, dan lainnya. Dan tidak sedikit yang tahu suara orang kampung. Maka, dari sini aneh, kalau semua Kiai dianggap bersuara dari menara gading. Ya tentunya ada beberapa Kiai.he
Dan memang, tidak semua yang lama harus dipertahankan. Tapi tidak semua yang "baru" juga pasti benar. Maka, butuh bijak, kebijaksanaan, atau kalau dipertahankan, tetap dilihat ulang kemaslahatannya. Kita perlu belajar bijak. Tidak buru-buru menuduh. Kiai bukan malaikat, tapi bukan pula orang yang tidak peduli. Banyak Kiai yang diam bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu kapan harus bicara dan kapan harus menahan diri. Dan tidak semua suara yang dikelaurkan Kiai, juga pasti benar. Tidaklah.
Nabiyuna, Muhammad SAW bersabda:
"من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت"
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."HR. Bukhari dan Muslim
Jadi, sebelum menyimpulkan atau mengomentari yang tidak-tidak, mungkin kita perlu diam sejenak, lalu bertanya: "Apa yang sedang dijaga oleh para Kiai itu?" Barangkali bukan hanya tradisi, tapi juga keselamatan hati dan akhirat kita semua.
Diangkat dari akun FB Halimi Zuhdy