Liburan Yang Tak Dirindukan
Cerpen: Sa’ullah
Pagi yang cerah tepat pukul 06.50 WIB jalan raya masih sepi, hanya beberapa motor dan mobil yang melintas bisa dihitung dengan jari. Waktu itu, gerbang masuk bangunan SD Kali Panas terbuka separuh saja, sedangkan di sebelah timur, pintu keluar tetap tertutup rapat dan digembok.
Mak Sarminti dan anaknya yang masih berusia 9 tahun bergegas masuk ke gerbang sekolah. Ia memandang sekitar. Hanya tembok sekolah yang mulai ditumbuhi rumput liar dan dau-daun kering berserakan di halaman sekolah yang ia temukan.
Pikirannya mulai gelisah sejak memasuki gerbang, sebab penjaga pintu yang biasanya ada di pos jaga pagi itu tidak ada di tempatnya. Tak ada orang yang biasa lalu-lalang.
“Hmm.... di mana penjaga pintu sekolah ini?” gumamnya dalam hati, gelisah.
“Ayo, Nak, kita langsung masuk saja ke ruang kantor. Mungkin ada orang di sana. Aku ingin bertemu dengan guru kamu atau jika ada dengan kepala sekolah.” kata Mak Sarminti kepada putranya yang hanya semata wayang.
*********
Mak Sarminti menggandeng lengan anaknya menelusuri lorong-lorong di antara bangunan sekolah yang sepi. Ia terus melangkah dengan harapan bisa menjumpai seorang guru di sana.
“Ibu mau ke mana? ada keperluan apa? adakah yang dapat saya bantu, Bu?” kata suara dari belakangnya.
“Sa..saya ingin bertemu kepala sekolah atau guru anak saya, si Masnadi ini, Pak.” jawab Mak Sarminti, terkejut dan gugup, “apakah kepala sekolah ada, Pak?” tambahnya.
“Ya, ada, saya sendiri, saya bapak Rasuli, kepala sekolah, saya masih baru, sekira 2 bulan ditugaskan di sini.” jawab pak Rasuli, memperkenalkan diri.
“Ooh, ya, kebetulan, saya memang ingin bertemu kepala sekolah.” kata Mak Sarminti.
“Silakan, masuk dulu, Bu. Duduklah. Kita bisa berbicara di ruangan saya.” jawab Pak Rasuli mengajak Mak Sarminti dan anaknya.
“Mungkin ada yang dapat saya bantu, Bu” Pak Rasuli menawarkan.
“Begini, Pak, sudah 4 bulan anak saya ini tidak masuk sekolah. Katanya liburan. Padahal di rumah dia hanya bermain saja tiap hari sama teman-temannya. Tidak belajar.” keluh Mak Sarminti, “kalau tetap tidak bersekolah, bagaimana dengan nasib masa depan anak saya ini? padahal dia belum bisa membaca.” tambah Mak Sarminti.
“Baiklah, Bu, sebenarnya sekolah ini selama wabah pandemi terjadi, walaupun anak-anak tidak masuk ke sekolah, tapi tetap diberi materi pelajaran oleh guru-guru dari rumah masing-masing. Itu yang disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau daring menggunakan hp android.” jawab pak Atmojo, menjelaskan, “anak ibu bisa belajar secara online, bukan libur.”
“Maaf, apa itu daring? hp android? online? saya tidak mengerti, Pak. Maklum, saya ini setiap hari cuma kerja bantu-bantu tetangga yang punya sawah. Saya tak pernah sekolah dulu sebab orang tua saya tidak mampu membiayai saya sekolah, Pak. Suami saya juga tak pernah bersekolah. Jadi, saya tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Akankah anak saya ini akan bernasib seperti saya?” tanya Mak Sarminti, sambil menangis, sedih.
“Saya ingin anak saya masuk sekolah, Pak. Saya tidak punya alat itu. Anak saya juga tidak bisa menggunakan alat-alat itu karena belum bisa membaca.” tambahnya.
“Jangankan membeli alat-alat itu, Pak, bisa makan saja sudah bersyukur. Walaupun ada bantuan dari desa, itu digunakan untuk kebutuhan saya sekeluarga sehari-hari. Bahkan, seumpama uang itu dibuat membeli alat itu tapi anak saya tidak tahu cara menggunakannya, bagaimana? bukan hanya anak saya, Marsudi, anak Pak Marsum tetangga saya yang masih kelas 2 juga sama, hanya bermain layang-layang di sawah tiap hari.” tambah Mak Sarminti, menjelaskan.
Ruangan jadi hening, sepi, tidak ada yang bersuara. Hanya bunyi jarum jam dinding yang tergantung tepat di belakang Pak Rasuli yang terdengar mengiringi detak jantung dan terus berjalan tanpa henti walau hanya sesaat.
“Maaf, Bu. Kami bukan tidak mau mengajari anak ibu atau tidak mau melayani, membimbing anak ibu, tapi kondisi saat ini berdasarkan anjuran dari pemerintah memang belum memungkinkan anak-anak untuk dikumpulkan di sekolah sebaimana biasanya. Resikonya terlalu besar . Ini demi keselamatan kita bersama.” Pak Rasuli memberi alasan.
“Baiklah, Bu. saya berterima kasih kepada ibu yang telah menyampaikan apa yang menjadi kendala anak-anak di rumah dalam pembelajaran jarak jauh ini. Saya bersama guru-guru siap melakukan kunjungan dan memberikan pelajaran ke rumah-rumah anak yang mengalami masalah dalam pembelajaran ini. Saya akan siapkan juga buku-buku pelajaran yang dibutuhkan. Yang terpenting, ibu tetap semangat mendampingi anaknya untuk terus belajar.” kata Pak Rasuli, memberi solusi dan motivasi.
“Terima kasih, Pak. Bapak sudah berkenan membantu anak-anak kami belajar.” jawab Mak Sarminti, terharu, dengan mata berkaca-kaca.
“Sama-sama, Bu. Itu sudah menjadi tugas kami di sini. Namun, jangan lupa setiap ada kunjungan belajar di rumah, tetap ikuti protokol kesehatan, pakai masker, sering cuci tangan, jaga jarak, dan terus berdoa semoga pandemi ini segera berakhir.”
Mak Sarminti merasa puas dalam hatinya karena bayangan buram masa depan anaknya telah sirna. Harapan yang terpendam mulai bergeliat lagi. Senyum ceria menghiasi wajahnya yang mulai berkerut karena faktor usia. Ia mohon pamit pulang. Beban langkah kakinya terasa ringan. Masih ada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya menghantui pikirannya.
*****&&*****
Sa’ullah_SMPN1 Kalianget
Pilihan