Malam Gerhana Bulan
Cerpen: Sri Suryani, S.Pd.
“Bangun, Cong! Ayo, cepat bangun!” ujar Nenek Ati sambil menggoyang-goyangkan bahu Andre.
“Ada apa, Nek? Andre masih ngantuk.” Andre mengucek-ucek matanya lalu hendak tidur lagi.
“Eh, gak boleh tidur lagi! Ayo, cepat cuci muka!” Nenek Ati menarik tangan Andre dan mengantarkannya ke kamar mandi.
Nenek Ati bergegas ke dapur. Ia mencari-cari sesuatu. Lemari dapur dan kulkas dibukanya dengan tergesa-gesa. Tak lama kemudian Nenek Ati sudah membawa sesuatu di tangannya sambil menghampiri Andre yang masih duduk di lantai dengan lutut dilipat.
“Ini makan!” kata Nenek Ati sambil menyodorkan seiris buah kelapa dan sedikit gula jawa.
“Kenapa, Nek?”
“Bulan gerring (sakit), Cong. Kalau sudah dimakan cepat keluar.” Nenek Ati pun berlalu dari tempat Andre menuju halaman rumah. Andre penasaran, ia mengikuti neneknya.
“Bulan bisa sakit, Nek?”
“Ya, bulan sakit karena separuh tubuhnya dimakan Bethara Kala. Tuh lihat!” ucap Nenek Ati sambil menunjuk bulan.
“Be ... tha ... ra Ka ... la itu apa, Nek?” tanya Andre dengan putus-putus.
“Makhluk pemakan apa saja. Kamu juga bisa dimakannya.”
“Takut, Nek ....”
“Makanya jangan nakal. Jangan main HP terus.”
Nenek Ati pun segera menuju pohon mangga yang ada di depan rumah. Dibangunkannya pohon itu dengan cara dipukul menggunakan kayu. Kemudian beralih ke pohon lainnya untuk dibangunkan dengan cara yang sama. Sambil membangunkan pohon-pohon itu, Nenek Ati berseru agar pohon-pohonya berbuah lebat dan manis. Setelah pohon yang besar,
Nenek Ati beralih ke pohon yang kecil. Di pojok kiri depan rumahnya dan di sebelah utara depan rumahnya terdapat pohon belimbing dan jeruk yang masih kecil. Digoyang-goyangkannya ranting pohon itu sambil berseru agar pohon-pohon itu cepat besar dan cepat berbuah.
Tidak berhenti di situ. Nenek Ati menuju kandang ayam yang ada di samping rumahnya. Ayam-ayamnya yang sedang terlena juga dibangunkan dengan cara memukul dinding kandang menggunakan kayu seraya berseru menyuruh ayam-ayamnya bangun. Jelas saja ayam-ayamnya kaget dan berlarian di dalam kandang dengan suara yang riuh.
Nenek Ati yakin bahwa tradisi membangunkan hewan ternak di kala gerhana bulan bertujuan agar hewan ternaknya tidak mudah diserang penyakit dan mudah beranak-pinak. Tradisi ini masih ada di Madura sampai sekarang walaupun mulai punah karena tradisi ini tidak seramai zaman dulu. Kalau dulu, semua orang bangun untuk makan buah kelapa dengan gula jawa lalu membagunkan hewan ternak dan pepohonan.
Setengah jam berlalu tak terasa. Tiba-tiba Nenek Ati ingat Andre, cucunya, yang ditinggal sendiri di depan teras. Ia bergegas menuju ke tempat Andre berada.
“Andre ...! Kamu di mana, Cong?” Nenek Ati mencari-cari Andre di kamarnya. Dikiranya Andre kembali tertidur, tapi tak ada. Kemudian Nenek Ati mencarinya ke kamar lain, ke dapur, ke kamar mandi, belum juga ditemukan. Nenek Ati segera mencari di sekitar luar rumah, tapi tak ada.
Nenek Ati panik berbaur dengan napas tuanya. Ia bisa tak pedulikan napasnya, tapi kakinya yang mudah pegal karena digerogoti usianya yang mencecah 70 tahun tak mudah untuk tidak diacuhkan. Sejenak Nenek Ati berselonjor di lantai teras dan mengatur napasnya.
Tak berapa lama kemudian, Nenek Ati ke rumah tetangga. Ia meminta tolong untuk mencarikan cucunya yang hilang. Sebentar saja kabar hilangnya Andre tersebar sekampung setelah ada warga yang memukul kentongan pertanda ada yang hilang. Warga berbondong-bondong mendatangi arah datangnya suara kentongan.
Setelah berembuk, mereka berpencar. Sebagian dari mereka menyusuri sungai, sawah, dan hutan. Di bawah temaram lampu senter mereka terus mencari tanpa kenal lelah. Sebagian lagi ibu-ibu tidak ikut mencari, tapi menemani Nenek Ati sambil berusaha menenangkan Nenek Ati yang tampak sangat sedih.
Dua jam pun berlalu. Jejak Andre belum dapat terdeteksi. Mereka kembali berkumpul di rumah Nenek Ati. Melihat mereka kembali dengan tangan hampa, tangis Nenek Ati semakin memecah malam. Warga kembali menenangkan Nenek Ati. Sesudah cukup tenang, Nenek Ati diwawancarai.
“Nenek, tadi terakhir kali Andre ada di mana?” tanya seorang laki-laki muda.
“Duduk di sini sambil main HP,” jawab Nenek Ati di antara isak tangisnya.
“Nenek takut Andre dimakan Bethara Kala (salah satu lakon dalam pergelaran topeng dalang ) seperti bulan itu,” kata Nenek Ati sambil menunjuk ke arah gerhana bulan. “Andre kan belum di-rokat.” Maksudnya rokat pandhaba yaitu tradisi ritual untuk membebaskan anak pandhaba dari nasib buruk atau mara bahaya yang dapat mengganggu perjalanan hidupnya di dunia. Tangis Nenek Ati semakin menjadi-jadi.
Orang-orang kampung merinding mendengar perkataan Nenek Ati. Satu per satu mereka membubarkan diri yang sedari tadi mengerumuni Nenek Ati yang sedang menangis.
Ada yang duduk sambil berpikir, ada yang mondar-mandir gelisah, ada yang mencari-cari bocah itu lagi di sekitar halaman rumahnya, di balik pohon, atau di sudut-sudut dalam kandang ayam karena disangkanya Andre disembunyikan oleh bi-ibi (sebutan untuk makhluk halus yang dipercaya suka menyembunyikan anak-anak yang belum balig).
Tiba-tiba semua mata tertuju ke arah Nenek Ati yang berteriak histeris.
“Andre ...!” Nenek Ati segera beranjak dari duduknya. Ia mendekati Andre. Diamatinya seluruh tubuh Andre dari kepala sampai kaki. Melihat cucunya kembali utuh, Nenek Ati sangat senang. Ia merangkul cucunya itu kemudian mencium pipi dan keningnya. Sementara Andre hanya bengong.
“Aduh, Cong .... Nenek dan orang-orang kampung mencarimu ke mana-mana. Nenek sangat khawatir kamu dimakan Bethara Kala. Eh, gak tahunya disembunyikan bi-ibi. Untung kamu gak dibawa ke hutan, Cong.”
“Gak, Nenek. Andre bersembunyi di kolong tempat tidur, kok. Andre takut dimakan Bethara Kala seperti bulan. He he he .... Andre tertawa polos. Orang-orang yang mendengar jawaban Andre ikut tertawa bahagia.
Pilihan