Petemuan Kedua
https://www.rumahliterasi.org/2025/07/petemuan-kedua.html?m=0
Cerpen: Limas
Hujan rintik-rintik turun di halaman gedung pernikahan sore itu. Musik lembut mengalun, memantul dari dinding kaca dan lampu gantung kristal. Di sudut ruangan, seorang laki-laki paruh baya berdiri canggung sambil memegang cangkir kopi. Jasnya kebesaran sedikit, rambutnya sebagian memutih, dan matanya menyapu ruangan seolah mencari sesuatu… atau seseorang.
Tiba-tiba, ia terpaku.
Seorang perempuan duduk sendirian di dekat panggung kecil. Rambutnya diikat rapi, gaunnya elegan dalam kesederhanaan. Tapi bukan itu yang membuat si lelaki mematung. Senyuman itu… tatapan mata itu… tak asing.
"Laras?" Lelaki itu akhirnya memberanikan diri mendekat.
Perempuan itu menoleh, dan matanya melebar. "Bima?"
Mereka saling diam beberapa detik sebelum tertawa kecil, kikuk.
"Astaga... ini gila banget," ujar Laras sambil menepuk dadanya pelan. "Udah berapa lama, ya?"
"Tiga puluh enam tahun," jawab Bima, tersenyum miris. "Tapi siapa yang menghitung?"
"Aku," sahut Laras cepat. Mereka tertawa lagi.
"Jadi... kamu juga kenal pengantinnya?" tanya Bima, berusaha mencairkan suasana.
"Iya. Keponakan dari mantan suamiku," kata Laras. Ia mengangkat alis, "Kamu?"
"Sepupu dari mantan istriku," jawab Bima, lalu mereka berpandangan sejenak sebelum sama-sama tertawa getir.
"Lucu ya. Kita ketemu lagi bukan karena keluarga sendiri, tapi karena keluarga mantan."
"Ironis, lebih tepatnya," gumam Bima. Ia duduk di kursi sebelah Laras. "Gimana hidupmu?"
"Naik turun, kayak roller coaster," jawab Laras, tersenyum. "Pernikahan 15 tahun, dua anak, lalu pisah. Kamu?"
"20 tahun, satu anak, lalu bubar juga." Bima menghela napas. "Kayaknya kita dulu putus gara-gara hal sepele ya."
Laras menatapnya. "Gara-gara kamu milih kuliah di luar kota tanpa pamit."
"Iya... aku pengecut waktu itu."
"Aku marah banget, tahu nggak?" Laras menatap lurus ke arahnya. "Tapi aku juga bodoh, nggak pernah nyari kamu lagi."
"Mungkin waktu belum berpihak saat itu," Bima mengangkat bahu. "Tapi sekarang... lihat kita. Sama-sama sendiri. Sama-sama tua."
Laras tertawa kecil. "Kamu masih suka humor receh ternyata."
"Buat kamu, selalu," jawab Bima sambil tersenyum, kali ini lebih lembut.
Mereka terdiam. Musik masih mengalun. Cahaya senja mulai menembus jendela besar di belakang mereka.
"Kamu masih suka melukis?" tanya Bima pelan.
"Masih," jawab Laras. "Kamu masih main gitar?"
"Kadang. Kalau kangen masa muda."
"Masa muda yang… kita tinggalkan terlalu cepat," kata Laras, menatap kosong. "Bima… kamu pernah nyesel ninggalin aku dulu?"
Bima menoleh padanya, serius. "Setiap hari. Tapi aku pikir kamu udah bahagia, jadi aku belajar ikhlas."
Laras tersenyum pahit. "Aku juga pikir kamu bahagia."
Sunyi beberapa saat. Hanya suara sendok dan gelas dari meja tamu lain.
"Kalau… kita coba lagi?" tanya Bima pelan.
Laras menoleh, mata mereka bertemu.
"Coba lagi?"
"Bukan dari awal… tapi dari tempat kita berhenti. Kita udah dewasa. Udah tahu rasanya gagal. Mungkin sekarang kita bisa lebih bijak."
Laras tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya. "Kamu tahu... aku nggak tahu harus senang atau sedih denger itu."
"Kenapa nggak keduanya?" ujar Bima. "Hidup kita nggak harus hitam putih, 'kan?"
Laras mengangguk. "Kamu ngajak aku pacaran waktu umur hampir enam puluh?"
"Ya. Pacaran versi yang suka ngobrol di pagi hari sambil minum teh, saling bacain buku, dan jalan-jalan pagi tanpa harus buru-buru."
Laras menatap Bima lama.
"Baiklah, Bima. Tapi jangan tinggalin aku lagi."
"Sumpah tua ini jadi saksinya," jawab Bima, menyodorkan tangan.
Laras meraih tangannya. Hangat. Aneh, tapi nyaman. Seperti rumah yang lama hilang dan akhirnya ditemukan kembali.
Di tengah pesta pernikahan orang lain, dua hati yang dulu sempat saling mencintai—dan sempat terluka—akhirnya berani untuk memulai lagi. Tanpa janji muluk, tanpa harapan berlebihan. Hanya dengan keberanian untuk kembali saling menggenggam.
---
Pilihan