Gelas Merah di Tengah Sunyi


Cerpen: Abadi


Di sudut ruang tamu yang remang, sebuah gelas berdiri di atas meja dengan kesunyian yang mencekam. Selama berjam-jam aku duduk memandangnya, mengamati setiap gerak-geriknya yang perlahan dan tak terduga. Awalnya gelas itu kosong, bening tanpa noda, namun tiba-tiba ia bergeser, seolah didorong oleh tangan tak kasat mata yang tak bisa kulihat. Tubuhku membeku, tangan terangkat hendak menyentuhnya, tapi aku berhenti, merasakan ada sesuatu di udara malam yang tidak bisa dihitung.

Angin yang biasanya berdesir lembut malam itu hilang tanpa jejak, udara padam seketika, dan langit-langit ruangan berubah menjadi gelap pekat, menyerap cahaya lampu yang redup. Dari dalam gelas, cairan merah mulai muncul perlahan, mirip darah tapi bukan darah. Warna itu seperti tinta yang menetes dari langit malam, dan aku hanya bisa duduk terpaku, merenung dalam diam, menatap permukaan cairan yang berkilau aneh itu.

Waktu seolah berhenti, membeku dalam keraguan dan kebingungan. Gelas itu tetap di sana, diam tanpa memberi jawaban, hanya memantulkan bayangan diriku yang kabur. Aku merasa keberadaan gelas itu lebih dari sekadar benda mati; ia seperti jendela menuju sesuatu yang tidak bisa dimengerti, sesuatu yang hidup di antara waktu dan ruang.

Keesokan harinya, gelas itu masih tetap di atas meja, tapi cairan merah telah menghilang, digantikan oleh air bening yang tenang. Semuanya tampak seperti mimpi buruk yang terlupakan. Namun, setiap kali aku hendak mengangkat gelas itu, udara di sekitarku terasa berat, dan bayangan gelap seolah bergeser di sudut ruangan, mengingatkanku bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika biasa.

Hari-hari berlalu, dan gelas itu menjadi saksi bisu dari perubahan-perubahan aneh. Kadang ia berisi cairan merah yang misterius, kadang kosong, dan kadang muncul benda-benda kecil di dalamnya—sehelai daun kering, serpihan kaca, atau debu yang berkilauan seperti bintang. Aku terus memperhatikan tanpa mengerti, membiarkan gelas itu menjadi cermin dari keadaan hidupku sendiri yang penuh ketidakpastian dan absurditas.

Malam demi malam aku duduk di depannya, membiarkan sunyi menyelimuti, merasakan kehadiran sesuatu yang tak kasat mata di sekeliling. Suasana semakin pekat, seperti ruang itu menjadi tempat di mana waktu dan ruang melebur, dan segala sesuatu yang logis kehilangan makna. Aku terjebak dalam pusaran perasaan yang sulit diungkapkan—antara takut, penasaran, dan keinginan untuk menerima kenyataan yang tak masuk akal.

Suatu malam, dalam mimpiku aku berdiri di tengah hutan gelap yang penuh dengan pohon-pohon hidup yang berbisik. Suara-suara samar datang dari segala arah, membisikkan bahwa kehidupan adalah gelas-gelas yang kadang terisi, kadang kosong, dan selalu bergerak dalam kesendirian, menunggu sesuatu yang mungkin tak pernah datang. Aku mencoba mengerti, tapi hanya menemukan bahwa absurditas adalah bagian yang harus diterima dalam perjalanan hidup ini.

Ketika aku terbangun, gelas di meja tampak menatapku balik dengan sesuatu yang hampir menyerupai pengertian. Mungkin, pikirku, hidup itu memang seperti gelas itu—kadang bergerak tanpa sebab yang jelas, kadang penuh dengan hal yang tak bisa dijelaskan, kadang kosong dan sunyi. Namun, yang paling penting adalah bagaimana aku memilih untuk berdiri dan menatapnya, terus melangkah meski tanpa kepastian.

Beberapa hari kemudian, saat seorang teman lama berkunjung dan melihat gelas itu, ia tersenyum seolah mengerti sesuatu yang aku belum bisa ungkapkan. Hidup ini, katanya dalam hatiku, memang bergerak tanpa alasan yang jelas, penuh dengan hal-hal yang tak masuk akal. Aku menyadari bahwa aku tidak sendiri dalam kebingungan ini. Semua orang pada akhirnya menghadapi absurditas yang sama, dan itulah yang membuat hidup menjadi menarik dan penuh warna.

Malam-malam berikutnya aku duduk kembali di depan gelas itu, kali ini tanpa pertanyaan, hanya diam dan membiarkan suasana menyelimuti. Dalam keheningan yang padam, aku merasakan perubahan yang halus, seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang hadir, sesuatu yang melampaui kata dan logika. Aku menerima bahwa aku belum mengerti sepenuhnya, tapi aku siap untuk menerima ketidaktahuan itu sebagai bagian dari perjalanan.

Gelas itu tetap diam, kosong, atau berisi hal-hal yang tak terduga, tapi kini aku memandangnya dengan ketenangan yang aneh. Kehidupan memang penuh dengan absurditas dan misteri yang tak selalu bisa dijelaskan. Namun, dalam ketidakpastian itu ada keindahan—keindahan dalam keteguhan hati untuk terus berdiri, menatap, dan melangkah maju meski tanpa tahu kemana.

Dan begitulah, gelas merah di tengah sunyi menjadi cermin dari sebuah perjalanan hidup yang penuh teka-teki, di mana yang nyata dan yang tak masuk akal berbaur menjadi satu, membentuk kisah yang tak pernah usai.



Pilihan

Tulisan terkait

Utama 8230734908592544709

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close