Sarmin Ikut Demo


Cerpen: Hanifah

Sarmin duduk di teras rumahnya, matanya menatap kosong ke jalanan sepi di depan. Di pangkuannya, sebuah koran terlipat rapi, tapi isinya sudah melekat di benaknya. Berita tentang unjuk rasa besar di ibu kota, tuntutan para mahasiswa dan buruh yang disuarakan lantang, memenuhi seluruh halaman depan. Hatinya bergejolak. Ia bukan mahasiswa. Bukan buruh pabrik yang terorganisir. Ia hanya Sarmin, seorang pedagang kelontong kecil di sudut kota yang jauh dari hingar bingar ibu kota. Namun, perasaan peduli itu begitu kuat.

Ia merasa ada yang salah dengan negerinya. Harga-harga naik, lapangan kerja makin sulit, dan korupsi seolah jadi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh. Semua itu terasa sampai ke warung kelontongnya. Pembeli makin sedikit, dagangan makin lambat habis, dan senyum di wajahnya makin jarang muncul.

Sarmin merasa bersalah. Ia merasa seolah-olah hanya diam dan menonton, sementara orang lain berjuang. Ia ingin ikut andil, ingin menyuarakan keresahannya, meskipun ia tahu suaranya mungkin takkan terdengar sampai ke pusat. Tapi ia harus mencoba. Ia harus melakukan sesuatu.

Keesokan harinya, Sarmin mulai beraksi. Dengan cat dan kain spanduk bekas yang ia temukan di gudang, ia menjiplak tulisan-tulisan yang ia baca di koran. Tangannya lincah, menuliskan poin-poin tuntutan yang sama persis seperti yang disuarakan di ibu kota. Tulisannya besar dan tebal dengan berbagai tuntutan:

Sarmin membentangkan spanduk itu. Tiba-tiba, ia merasa menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar. Ia merasa terhubung dengan ribuan orang lain yang juga menuntut hal yang sama, meskipun ia tak mengenal satupun dari mereka. Ia bukan lagi Sarmin si pedagang kelontong yang pasrah, tapi Sarmin, seorang pejuang keadilan.

Dengan spanduk yang tergulung di bawah ketiaknya, ia berjalan menuju gedung DPR daerah. Di sana, ia melihat kerumunan orang. Jumlahnya memang tidak sebanyak di ibu kota, tapi semangatnya sama membara. Mahasiswa, buruh, dan aktivis lokal berkumpul, meneriakkan yel-yel dan orasi. Sarmin merasa jantungnya berdebar kencang. Ini dia. Kesempatan yang ia tunggu-tunggu.

Ia bergabung dengan kerumunan. Saat seorang orator berteriak, "Hidup buruh! Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!", Sarmin ikut mengangkat tangan dan berteriak sekuat tenaga. Ia merasa menyatu dengan massa, energinya terkumpul, dan keberaniannya berlipat ganda.

Sarmin membuka gulungan spanduknya. Dengan bantuan beberapa orang, ia membentangkan spanduk itu di barisan paling depan. Tulisannya yang besar dan tegas menarik perhatian. Seorang fotografer mengarahkan kameranya ke arah Sarmin dan spanduknya. Rasanya bangga, seolah-olah ia sudah menjadi pahlawan.

Namun, semangat Sarmin terlalu membara. Ia maju lebih dekat ke barisan aparat kepolisian. Sambil memegang tiang spanduk, ia mulai meneriakkan yel-yel yang ia dengar, namun dengan intonasi yang lebih tajam dan frontal. Ia merasa marah, frustasi, dan semua emosi itu ia luapkan dalam teriakan-teriakan.

“Hapus korupsi! Sahkan RUU Perampasan Aset!” teriaknya lantang.

Seorang polisi yang berjaga di depan, menatapnya dengan pandangan tajam. Sarmin tidak peduli. Ia terus berteriak, seolah-olah suaranya bisa mengubah dunia saat itu juga. Ia tidak menyadari bahwa perilakunya sudah dianggap terlalu provokatif.

Dalam sekejap, dua orang polisi mendekatinya. Sarmin terkejut. Belum sempat ia bereaksi, spanduknya ditarik, dan lengannya dicengkeram.

“Kamu ikut kami,” kata seorang polisi.

Sarmin kaget. Ia mencoba melawan, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. Ia diseret menjauh dari kerumunan, menuju mobil polisi yang terparkir. Ia menoleh ke belakang, berharap ada yang membantunya, tapi semua orang terlalu sibuk dengan aksi mereka sendiri. Ia masuk ke dalam mobil, pintu dibanting, dan pandangannya hanya bisa melihat spanduknya yang sudah terlipat, tergeletak di aspal. Ia ditangkap.

Di kantor polisi, Sarmin duduk di kursi kayu yang keras. Ia merasa bingung, sedih, dan sedikit takut. Ia tidak mengerti mengapa ia harus berakhir di sini. Ia hanya menyuarakan apa yang ia yakini benar. Ia hanya ingin membantu.

Seorang petugas polisi masuk ke ruangan. Ia duduk di hadapan Sarmin, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Jadi, kamu yang namanya Sarmin?” tanyanya.

Sarmin mengangguk pelan.

“Kenapa kamu melakukan itu? Kamu tahu itu berbahaya? Bisa memprovokasi massa dan menyebabkan kerusuhan.”

Sarmin menarik napas dalam-dalam. “Saya hanya ingin menyuarakan aspirasi, Pak. Saya rasa, apa yang saya tulis di spanduk itu benar. Itu tuntutan rakyat.”

Petugas polisi itu tersenyum tipis. “Kami tahu, Nak. Tuntutanmu memang benar. Tapi caranya? Kamu terlalu frontal. Kamu maju ke depan dan membuat keributan. Itu yang kami lihat.”

Sarmin terdiam. Ia baru menyadari, ia terlalu terbawa emosi. Ia mengira, dengan berteriak paling kencang, suaranya akan paling didengar. Tapi ia salah. Ia tidak tahu, bahwa ada aturan yang harus diikuti.

Petugas polisi itu kembali berbicara. “Kami tidak akan menahanmu. Kami hanya ingin memberimu peringatan. Kamu berhak menyuarakan pendapat, tapi jangan melampaui batas. Jangan sampai niat baikmu malah merugikan orang lain.”

Sarmin merasa lega. Peringatan itu terasa seperti tamparan keras di wajahnya. Ia keluar dari kantor polisi dengan kepala tertunduk. Ia tidak lagi merasa seperti pahlawan, melainkan seperti orang bodoh. Ia kembali ke warung kelontongnya. Hari itu, ia tidak berjualan. Ia hanya duduk di teras, merenungi semua yang terjadi.

Beberapa hari kemudian, sebuah mobil berhenti di depan warungnya. Seorang pria keluar dari mobil, mengenakan kemeja rapi. Sarmin mengenalinya. Ia adalah fotografer yang mengambil gambarnya saat unjuk rasa.

“Halo, Pak Sarmin,” sapanya ramah. “Saya Budi. Saya lihat aksi Bapak waktu itu. Spanduk Bapak sangat menginspirasi. Saya sudah kirimkan foto-foto Bapak ke media-media online. Banyak yang memuji keberanian Bapak.”

Sarmin terkejut. Ia tidak menyangka. Ia pikir, tindakannya yang frontal itu hanya membuat malu.

“Tentu saja, Pak,” kata Budi. “Keberanian Bapak, sebagai orang biasa yang mau turun ke jalan, itu luar biasa. Bapak sudah menjadi inspirasi bagi banyak orang. Banyak komentar positif di media sosial, dan banyak orang bertanya, siapa Sarmin itu.”

Sarmin tersenyum. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ada rasa haru yang menjalar di dadanya. Ia tidak jadi pahlawan di mata polisi, tapi ia menjadi pahlawan di mata rakyat biasa.

Budi memberikan kartu namanya. “Jika Bapak butuh bantuan untuk menyuarakan aspirasi lagi, jangan ragu hubungi saya. Kita bisa berjuang bersama. Tapi kali ini, kita pakai strategi yang lebih pintar.”

Sarmin mengangguk. Ia menggenggam erat kartu nama Budi. Ia sadar, perjuangan tidak hanya bisa dilakukan dengan emosi. Perjuangan butuh strategi, butuh kesabaran, dan butuh kerjasama. Ia memang bukan mahasiswa, bukan buruh, bukan partisan politik. Tapi ia Sarmin, seorang pedagang kelontong yang peduli pada bangsanya. Dan kini, ia tahu, ia tidak sendirian. Ia punya teman seperjuangan, meski ia baru mengenalnya.

Ia akan terus berjuang, bukan lagi dengan teriak-teriakan yang frontal, tapi dengan cara-cara yang lebih efektif. Ia akan menyuarakan kebenaran, dengan bantuan orang-orang yang mau mendengar, dan ia akan membuktikan, bahwa suara rakyat, meskipun datang dari warung kelontong kecil, bisa mengubah dunia.

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 4371988579632446892

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close