Bayang-Bayang Lastri


Cerpen: Beryl


Mentari senja memerah, mewarnai langit desa dengan gradasi jingga dan ungu. Pardi mengendarai mobilnya perlahan, menikmati pemandangan sawah yang menghijau setelah sekian lama tak pulang kampung. Dua puluh tahun. Dua puluh tahun ia meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan kenangan, dan meninggalkan… Lastri.

Jantungnya berdegup kencang ketika dari kejauhan, ia melihat seorang wanita berdiri di depan sebuah warung. Wajah itu… wajah yang sangat dikenalnya. Wajah yang dulu selalu menghiasi mimpi-mimpinya. Lastri.

Pardi menginjak rem mendadak. Mobilnya berhenti di tepi jalan. Ia terdiam, terpaku menatap wanita itu. Lastri terlihat lebih dewasa, tentu saja. Kerutan halus mulai menghiasi sudut matanya, tapi senyumnya… senyum itu masih sama seperti yang diingatnya. Senyum yang dulu selalu membuatnya merasa hangat dan nyaman.

Kenangan masa lalu menyeruak dalam benaknya. Dua puluh tahun lalu, mereka berjanji akan selalu bersama. Mereka berencana membangun rumah tangga, memiliki anak, dan hidup bahagia selamanya. Tapi takdir berkata lain. Pardi, seorang prajurit muda, harus meninggalkan Lastri untuk bertugas di medan perang.

"Aku akan kembali," bisiknya saat itu, menggenggam erat tangan Lastri. "Tunggu aku, ya?"

Lastri mengangguk, air mata membasahi pipinya. "Aku akan selalu menunggumu, Pardi."

Namun, perang mengubah segalanya. Di tengah hiruk pikuk pertempuran, di antara suara ledakan dan desingan peluru, Pardi bertemu dengan seorang prajurit wanita. Seorang wanita yang kuat, berani, dan penuh perhatian. Perlahan, hatinya mulai terpaut pada wanita itu. Bayangan Lastri mulai memudar, tergantikan oleh sosok wanita yang selalu ada di sisinya.

Akhirnya, Pardi menikahi prajurit wanita itu. Mereka membangun rumah tangga di negeri orang, jauh dari tanah kelahirannya, jauh dari Lastri.

Kini, setelah dua puluh tahun, Pardi kembali ke kampung halamannya. Ia sudah pensiun dari militer, dan istrinya telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Ia kembali untuk mencari ketenangan, untuk menghabiskan sisa hidupnya di tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan.

Tapi, melihat Lastri berdiri di depan warung itu, hatinya kembali bergejolak. Ia merasa bersalah, merasa berdosa karena telah melupakan janjinya. Ia ingin mendekati Lastri, tapi ia ragu. Bagaimana jika Lastri masih membencinya? Bagaimana jika Lastri sudah bahagia dengan kehidupannya?

Setelah bergelut dengan pikirannya, Pardi akhirnya memberanikan diri. Ia keluar dari mobil dan berjalan mendekati warung. Jantungnya berdegup semakin kencang setiap langkahnya.

"Lastri?" sapanya dengan suara bergetar.

Wanita itu menoleh. Matanya membulat, terkejut melihat Pardi berdiri di hadapannya.

"Pardi?" sahutnya dengan nada tak percaya.

Keduanya terdiam sejenak, saling menatap. Ada banyak hal yang ingin mereka katakan, tapi kata-kata seolah tercekat di tenggorokan.

"Apa kabarmu?" tanya Pardi akhirnya, memecah keheningan.

"Baik," jawab Lastri singkat. "Kamu sendiri?"

"Baik juga," balas Pardi. "Sudah lama sekali, ya?"

"Dua puluh tahun," kata Lastri, menatap Pardi dengan tatapan sendu.

"Ya, dua puluh tahun," ulang Pardi. "Aku… aku minta maaf."

Lastri mengerutkan keningnya. "Untuk apa?"

"Karena aku meninggalkanmu," jawab Pardi. "Karena aku melupakan janjiku."

Lastri tersenyum tipis. "Itu sudah lama sekali, Pardi. Aku sudah melupakan semuanya."

"Benarkah?" tanya Pardi, tak yakin.

"Ya," jawab Lastri. "Aku sudah menikah, punya dua anak. Aku bahagia dengan kehidupanku."

Pardi merasa lega mendengar jawaban Lastri. Ia senang Lastri sudah bahagia. Meski begitu, ada sedikit rasa kecewa di hatinya. Ia berharap Lastri masih menyimpan sedikit rasa untuknya.

"Siapa suamimu?" tanya Pardi.

"Dia seorang guru," jawab Lastri. "Dia orang yang baik, penyabar, dan sangat mencintai aku dan anak-anak."

"Aku senang mendengarnya," kata Pardi. "Aku turut bahagia untukmu."

"Terima kasih," balas Lastri. "Kamu sendiri? Apa kamu sudah menikah?"

Pardi menggeleng. "Aku sudah menikah, tapi istriku sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu."

"Aku turut berduka cita," ucap Lastri.

"Terima kasih," kata Pardi.

Keduanya kembali terdiam. Suasana menjadi canggung. Pardi merasa tidak enak untuk berlama-lama mengobrol dengan Lastri. Ia takut kehadirannya akan mengganggu kebahagiaan Lastri.

"Baiklah, Lastri," kata Pardi akhirnya. "Aku tidak ingin mengganggumu. Aku hanya ingin menyapamu."

"Tidak apa-apa, Pardi," jawab Lastri. "Aku senang bisa bertemu denganmu lagi."

Pardi tersenyum. "Kalau begitu, aku permisi dulu."

"Hati-hati di jalan," pesan Lastri.

Pardi mengangguk dan berjalan kembali menuju mobilnya. Ia menoleh ke belakang dan melihat Lastri masih berdiri di depan warung, menatapnya. Pardi melambaikan tangannya, dan Lastri membalas lambaiannya.

Pardi masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Ia menghela napas panjang. Pertemuan dengan Lastri membuatnya merasa lega, tapi juga membuatnya merasa sedih. Ia lega karena Lastri sudah bahagia, tapi ia sedih karena ia tidak bisa menjadi bagian dari kebahagiaan itu.

Pardi mengendarai mobilnya meninggalkan warung itu. Ia menatap langit senja yang semakin memerah. Ia tahu, ia tidak bisa mengubah masa lalu. Ia tidak bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahannya. Tapi, ia bisa belajar dari masa lalu dan berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik di masa depan.

Beberapa hari kemudian, Pardi kembali mengunjungi warung tempat ia bertemu dengan Lastri. Ia ingin membeli kopi dan menikmati suasana desa. Saat ia sedang menikmati kopinya, ia melihat Lastri datang menghampirinya.

"Pardi," sapa Lastri.

"Lastri," balas Pardi. "Ada apa?"

"Aku ingin bicara denganmu," kata Lastri.

Pardi mengangguk. "Silakan."

Lastri duduk di kursi di depan Pardi. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.

"Aku sudah memikirkan tentang pertemuan kita beberapa hari yang lalu," kata Lastri. "Aku merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara kita."

Pardi menatap Lastri dengan tatapan bingung. "Maksudmu?"

"Aku memang sudah menikah dan punya anak," jawab Lastri. "Aku bahagia dengan kehidupanku. Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa aku masih menyimpan sedikit rasa untukmu."

Jantung Pardi berdegup kencang mendengar pengakuan Lastri. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," lanjut Lastri. "Aku tidak ingin menyakiti suamiku, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku."

Pardi meraih tangan Lastri dan menggenggamnya erat. "Aku juga merasakan hal yang sama, Lastri," kata Pardi. "Aku juga masih menyimpan rasa untukmu. Tapi, aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu."

Lastri menatap Pardi dengan tatapan penuh harapan. "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

Pardi terdiam sejenak. Ia memikirkan semua kemungkinan yang bisa terjadi. Ia tahu, hubungan mereka tidak akan mudah. Akan ada banyak rintangan dan tantangan yang harus mereka hadapi. Tapi, ia juga tahu, ia tidak bisa melepaskan Lastri begitu saja.

"Aku tidak tahu," jawab Pardi akhirnya. "Tapi, aku yakin kita bisa menemukan jalan keluarnya. Kita bisa mencari cara untuk tetap bersama tanpa menyakiti siapa pun."

Lastri tersenyum. "Aku percaya padamu, Pardi," kata Lastri. "Aku percaya kita bisa melakukannya."

Pardi membalas senyuman Lastri. Ia merasa bahagia dan lega. Ia tahu, perjalanan mereka masih panjang dan berliku. Tapi, ia yakin, jika mereka saling mencintai dan saling mempercayai, mereka bisa melewati semua rintangan dan mencapai kebahagiaan yang mereka impikan.

Keduanya kemudian menikmati kopi bersama, sambil bertukar cerita dan mengenang masa lalu. Mereka tahu, masa depan mereka tidak pasti. Tapi, mereka tidak takut. Mereka siap menghadapi apa pun yang terjadi, asalkan mereka bisa bersama.

Waktu berlalu. Pardi dan Lastri semakin dekat. Mereka sering bertemu secara diam-diam, saling mencurahkan isi hati dan berbagi kebahagiaan. Mereka tahu, hubungan mereka salah. Tapi, mereka tidak bisa mengendalikan perasaan mereka.

Suatu hari, suami Lastri mengetahui tentang hubungan mereka. Ia sangat marah dan kecewa. Ia merasa dikhianati oleh Lastri dan Pardi. Ia memutuskan untuk menceraikan Lastri.

Lastri sangat sedih dan menyesal. Ia tidak ingin menyakiti suaminya, tapi ia juga tidak bisa meninggalkan Pardi. Ia merasa bersalah karena telah merusak rumah tangganya.

Pardi juga merasa bersalah. Ia tahu, ia adalah penyebab semua ini. Ia merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan Lastri dan anak-anaknya.

Setelah perceraian Lastri, Pardi memutuskan untuk menikahi Lastri. Ia ingin bertanggung jawab atas semua yang telah terjadi. Ia ingin membahagiakan Lastri dan anak-anaknya.

Pardi dan Lastri menikah secara sederhana. Mereka tidak ingin membuat pesta yang meriah. Mereka hanya ingin merayakan pernikahan mereka dengan orang-orang terdekat.

Setelah menikah, Pardi dan Lastri hidup bahagia bersama. Mereka saling mencintai dan saling mendukung. Mereka merawat anak-anak Lastri dengan penuh kasih sayang. Mereka berusaha untuk menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia.

Meski masa lalu mereka penuh dengan lika-liku dan air mata, Pardi dan Lastri akhirnya menemukan kebahagiaan yang mereka cari. Mereka membuktikan bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya, meski harus melewati berbagai rintangan dan tantangan. Mereka sadar bahwa cinta dan kebahagiaan tidak selalu datang dari orang yang diharapkan, namun juga justru dari orang yang tidak terduga.


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 5216237898050924749

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close