Makin Korup Sebuah Negara, Makin Banyak Undang-Undang yang Dibuatnya
https://www.rumahliterasi.org/2025/09/makin-korup-sebuah-negara-makin-banyak.html
Kutipan judul diatas umumnya dikaitkan dengan pemikiran seorang filsuf politik dan pemikir sosial Prancis, Montesquieu (Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu).
Meskipun kutipan ini sering disederhanakan, gagasan utamanya berasal dari karyanya yang terkenal, "The Spirit of the Laws" (De l'esprit des lois), yang diterbitkan pada tahun 1748. Dalam karyanya, Montesquieu menganalisis berbagai sistem pemerintahan dan bagaimana hukum berhubungan dengan berbagai aspek masyarakat, termasuk moralitas dan kejahatan.
Secara tidak langsung, kutipan tersebut mencerminkan pandangan Montesquieu tentang hubungan antara:
Hukum dan moralitas: Montesquieu berpendapat bahwa hukum yang berlebihan atau terlalu banyak sering kali menjadi tanda bahwa moralitas masyarakat sedang menurun. Ketika orang tidak lagi mematuhi norma-norma moral secara sukarela, pemerintah cenderung menciptakan lebih banyak undang-undang untuk mencoba mengendalikan perilaku mereka.
Korupsi dan regulasi: Dalam konteks modern, gagasan ini diinterpretasikan sebagai kondisi di mana meningkatnya korupsi dan ketidakjujuran memaksa legislatif untuk membuat lebih banyak aturan dan regulasi, yang ironisnya, kadang-kadang menciptakan lebih banyak peluang untuk korupsi.
Jadi, meskipun mungkin bukan kutipan langsung kata per kata dari Montesquieu, gagasan tersebut sangat sejalan dengan filosofi dan pemikirannya tentang hukum, moralitas, dan tata kelola pemerintahan.
Pandangan Montesquieu yang paling relevan dengan kutipan tersebut adalah bahwa hukum dan moralitas saling terkait. Ketika moralitas masyarakat menurun, yaitu ketika orang-orang tidak lagi bertindak berdasarkan kebaikan, kejujuran, atau keadilan, maka negara cenderung membuat lebih banyak hukum untuk mengatur perilaku tersebut. Korupsi adalah salah satu bentuk penurunan moralitas, sehingga bisa disimpulkan bahwa meningkatnya korupsi akan memicu pembuatan lebih banyak hukum.
Jadi, ungkapan yang Anda cari adalah ringkasan atau parafrase dari pemikiran Montesquieu, bukan kutipan langsung.
Selain itu banyak tokoh dari berbagai bidang, seperti politik, hukum, dan ekonomi, memiliki pandangan yang berbeda tentang korupsi. Berikut adalah beberapa pandangan dari tokoh-tokoh penting:
Mohammad Hatta
Bapak Proklamator Indonesia, Mohammad Hatta, memiliki pandangan yang sangat kuat terhadap korupsi. Menurutnya, masalah korupsi bukan hanya tentang membuat undang-undang baru, tetapi lebih pada integritas dan moralitas para penegak hukum. Ia pernah berpendapat bahwa "Seribu macam undang-undang tak akan ada gunanya kalau moral dari yang berwenang sudah bejat." Pandangan ini menekankan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi sangat bergantung pada kemauan dan kejujuran para pejabat itu sendiri.
Robert Klitgaard
Seorang ekonom dan ahli administrasi publik, Robert Klitgaard, terkenal dengan formulanya yang sederhana namun mendalam untuk mendefinisikan korupsi: Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas (C = M + D - A).Monopoli (M): Mengacu pada situasi di mana seseorang atau lembaga memiliki kekuasaan tunggal atau kontrol penuh atas suatu layanan atau sumber daya.Diskresi (D): Merupakan kewenangan untuk membuat keputusan atau bertindak sesuka hati tanpa pengawasan yang ketat.
Akuntabilitas (A): Adalah keharusan untuk bertanggung jawab atas tindakan yang diambil, baik kepada publik maupun atasan.
Menurut Klitgaard, semakin besar monopoli dan diskresi yang dimiliki oleh seorang pejabat, dan semakin kecil akuntabilitasnya, maka semakin tinggi pula potensi korupsinya.
Gunnar Myrdal
Ekonom Swedia, Gunnar Myrdal, melihat korupsi sebagai fenomena yang melekat dalam sistem pemerintahan, terutama di negara-negara berkembang. Dalam karyanya, ia menganggap korupsi bukan sekadar masalah moralitas individu, melainkan sebagai masalah sistemik yang menghambat pembangunan ekonomi dan sosial. Myrdal berpendapat bahwa korupsi menciptakan "negara lunak" (soft state) di mana penegakan hukum lemah dan peraturan sering dilanggar tanpa hukuman yang tegas.
Jeremy Pope
Sebagai aktivis anti-korupsi dari Selandia Baru dan pendiri Transparency International, Jeremy Pope mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Pandangan ini menjadi dasar bagi banyak organisasi anti-korupsi internasional. Pope dan Transparency International berfokus pada pendekatan global untuk memerangi korupsi dengan meningkatkan transparansi, integritas, dan akuntabilitas di sektor publik dan swasta.
Plato dan Aristoteles
Jauh sebelum era modern, para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles sudah mengamati fenomena ini. Keduanya melihat korupsi sebagai penyimpangan dari pemerintahan yang ideal.
Plato, dalam karyanya Republik, menggambarkan bahwa sistem pemerintahan akan memburuk dari waktu ke waktu, dari yang ideal (aristokrasi) menjadi tirani, yang merupakan bentuk pemerintahan paling korup.
Aristoteles melihat korupsi sebagai pengalihan kekuasaan dari tujuan publik ke kepentingan pribadi. Ia berpendapat bahwa tujuan sejati dari pemerintahan adalah kesejahteraan warga negara, dan korupsi adalah kebalikannya—memakai kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri.
Adam Smith
Bapak ekonomi modern, Adam Smith, melihat korupsi dari sudut pandang ekonomi. Dalam karyanya The Wealth of Nations, ia mengkritik praktik-praktik yang menguntungkan sekelompok kecil orang (seperti monopoli atau proteksionisme) dan merugikan masyarakat luas. Meskipun ia tidak menggunakan istilah "korupsi" secara eksplisit seperti sekarang, pandangannya menyoroti bagaimana intervensi pemerintah dan kronisme dapat merusak pasar bebas dan merugikan perekonomian secara keseluruhan.
Niccolò Machiavelli
Pemikir politik Renaisans, Niccolò Machiavelli, memiliki pandangan yang pragmatis dan terkadang sinis terhadap korupsi. Dalam Il Principe (Sang Pangeran), ia berpendapat bahwa seorang pemimpin harus melakukan apa pun yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas negara, bahkan jika itu berarti menggunakan metode yang tidak bermoral atau korup.
Bagi Machiavelli, korupsi tidak selalu dilihat sebagai hal yang buruk jika tujuannya adalah untuk menjaga kekuasaan dan ketertiban. Namun, ia juga mengakui bahwa korupsi yang meluas dapat menghancurkan sebuah republik karena merusak moral publik.
(dari beberapa sumber)
Pilihan