Cerpen Puitis-Surealis: “Orkestra Tidur yang Tak Selesai”


Aku selalu takut pada tidur.
Tidur bagiku bukan peristirahatan, melainkan gerbang, dan di balik gerbang itu ada panggung yang tak pernah padam. Panggung dengan lampu aneh yang menyala tanpa sumber, panggung yang hanya memanggungkan aku—berlipat-lipat, berulang-ulang, seakan aku adalah orkestra yang dipaksa memainkan lagu yang sama hingga terurai.

“Farhan, tidurlah,” bisikku pada diriku sendiri.
“Jangan,” jawabku cepat, “kau tahu setiap kali aku tidur, mimpi itu datang. Ia seperti petir yang tidak menyambar, hanya bergetar di udara, menunggu untuk menyiksaku.”

Aku menatap jam di dinding. Angka-angkanya tampak kabur. Sudah tiga hari aku tidak tidur. Otakku terasa seperti kawat yang terus ditarik tanpa henti. Ada bunyi berdengung, bukan lagi seperti lebah, tapi seperti seruling patah yang meniup dirinya sendiri.

Kadang dengung itu berbisik:
Tidurlah, Farhan. Kalau kau berani tidur, aku akan menghapusmu.

Aku terperangkap dalam ketakutan. Bukan pada malam, bukan pada gelap, tapi pada mimpi yang memanggilku dengan suara-suara yang hanya aku dengar.

*****

Mimpi apa yang kutakuti?
Aku sering melihat tubuhku sendiri terbaring di meja makan, dikelilingi buah-buah asing yang tidak pernah ada di bumi. Tubuhku dihidangkan, dan aku yang lain duduk di kursi, siap menyantap.
Aku sering melihat mataku keluar dari wajahku, melompat ke dalam cermin, lalu berenang di dalamnya seperti ikan kaca. Aku berteriak memanggil, tapi suara tenggelam dalam air bening itu.
Aku sering melihat diriku kecil, duduk di bangku sekolah, dikepung papan tulis yang penuh huruf-huruf berteriak. Tinta kapur berubah jadi darah, menetes, menodai seragamku.

Dan selalu ada cermin.
Cermin yang menolak meniruku. Bayanganku berdiri, tapi ia tidak menggerakkan tangan ketika aku mengangkat tanganku. Ia hanya tersenyum, senyum yang seakan tahu semua rahasiaku.
“Farhan, kau bukan kau,” katanya.
“Kau hanyalah sisa-sisa dari Farhan yang menolak tidur.”

Aku benci senyum itu.
Senyum itu membuat aku ingin melarikan diri dari tubuhku sendiri.

*****

Aku mencoba segala cara agar tidak tidur.
Aku menempelkan kelopak mata dengan selotip, berharap mata ini tak bisa menutup.
Aku menuangkan kopi panas ke mangkuk sereal, menyantapnya dengan sendok, pahit yang merayap sampai ke dada.
Aku menyalakan televisi tanpa suara, hanya cahaya yang berkelip, menipu diriku sendiri bahwa dunia masih berjaga.
Aku bahkan menyalakan lilin-lilin kecil di seluruh kamar, sampai ruangan tampak seperti altar pengorbanan.

Namun tubuh bukan mesin.
Tubuh ini tanah yang lelah.
Dan tanah selalu menuntut istirahat.

*****

Malam keempat, aku menyerah.
Tubuhku roboh di kursi kayu, dan ketika kelopak akhirnya menutup, aku mendengar suara:
“Selamat datang di orkestra tidur, Farhan. Kau akhirnya datang ke panggungmu sendiri.”

Dan layar mimpi terbuka.

Aku melihat sosokku sendiri duduk di kursi, di dalam kamar yang sama, dengan wajah yang sama. Bedanya, ia tidak takut.
Ia tersenyum, dan dalam senyum itu tumbuh bunga.
Bunga dari bibir, dari gigi, dari mata.
Bunga yang harum sekaligus tajam, membuatku ingin menangis dan tertawa bersamaan.

“Mimpi bukan musuhmu,” katanya.
“Aku hanyalah dirimu yang tidak pernah kau izinkan bernyanyi.”

Senyumnya semakin melebar. Dari celah senyum itu mengalir cahaya, dan cahaya itu berubah jadi ribuan diriku, berlarian ke segala arah.
Aku melihat mereka: ada Farhan yang kecil, Farhan yang tua, Farhan yang telanjang, Farhan yang berbaju besi, semua berputar mengelilingiku.

Aku ingin lari. Tapi ke mana aku bisa lari, kalau panggung ini adalah kepalaku sendiri?

*****

“Farhan, apa yang kau takutkan bukanlah mimpi,” suaraku yang lain bergema.
“Kau takut pada dirimu sendiri.
Kau takut melihat wajahmu yang sebenarnya: wajah yang terbelah, wajah yang pecah, wajah yang enggan tidur karena ia tahu tidur adalah cermin paling jujur.”

Aku ingin menyangkal, tapi bibirku terkunci.
Aku hanya bisa berdiri di tengah panggung, dikelilingi ribuan aku yang menertawakan aku.
Tertawa seperti suara lonceng karatan, nyaring dan memuakkan.

Di atas kepalaku, langit mimpi terbuka. Dari sana turun hujan—bukan air, melainkan jarum-jarum tinta.
Jarum itu menulis di tubuhku, kata demi kata:
Tidur adalah keberanian.
Tidur adalah kematian kecil.
Tidur adalah rumahmu, Farhan.

Tubuhku penuh tulisan. Aku ingin menghapus, tapi tinta itu meresap ke kulit, menembus daging, sampai ke tulang.

*****

Ketika akhirnya aku terbangun, aku tidak tahu apakah aku benar-benar terbangun.
Aku masih duduk di kursi kayu, di kamar yang sama, menatap tembok kosong.
Namun di dalam tembok itu aku melihat bayanganku sendiri tersenyum.

Apakah aku masih bermimpi?
Atau apakah mimpi itu sudah pindah ke dunia nyata?

Aku tidak tahu lagi.
Yang kutahu hanya satu:
aku tidak bisa lari dari tidur, sama seperti aku tidak bisa lari dari diriku sendiri.

Dan aku mendengar bisikan terakhir dalam kepalaku:
“Tidurlah, Farhan. Orkestra ini tak akan pernah selesai, bahkan ketika kau terjaga.”

(Rulis/AI)

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 3934645147150342066

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close