Tetangga


Joni sudah beberapa bulan tinggal di rumah barunya. Sebagai duda yang memilih pindah dari kota lama untuk memulai kehidupan yang lebih tenang, ia masih sering merasa asing. Di kompleks itu orang-orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang paling menarik perhatiannya justru rumah persis di depan rumahnya: rumah dengan pagar tinggi, pintu yang hampir selalu tertutup rapat.

Dari balik jendela atau ketika sedang menyiram bunga di teras, Joni kadang melihat sosok seorang wanita setengah baya keluar rumah. Wajahnya teduh, langkahnya pelan, tapi berwibawa. Sesekali ada dua anak remaja—laki-laki dan perempuan—keluar atau masuk rumah itu. Joni hanya bisa menebak mereka anaknya.

Beberapa kali, saat berpapasan, wanita itu menunduk sopan sambil tersenyum singkat. Joni pun membalas dengan senyum seadanya. Ia tak pernah berani memulai percakapan. Namun, dalam hatinya, ada rasa ingin tahu yang pelan-pelan tumbuh.

Suatu sore, saat Joni sedang merapikan tanaman di depan rumah, pintu pagar di seberang terbuka. Wanita itu keluar, seakan tanpa sengaja langkahnya berhenti tepat di depan rumah Joni.

“Selamat sore,” ucapnya ramah.

Joni sedikit terkejut, namun cepat menanggapi.
“Sore juga, Bu…” Ia ragu sejenak, lalu menambahkan, “Ternyata kita tetanggaan dekat.”

Wanita itu tersenyum tipis. “Iya, saya Linda.”

“Oh, Linda… Saya Joni.” Joni mengulurkan tangan, sedikit kikuk.

Mereka berjabat tangan sebentar, lalu hening sejenak. Angin sore berhembus, membawa aroma bunga kamboja dari pekarangan sebelah.

“Bapak baru pindah, ya?” tanya Linda, membuka obrolan.

“Iya, sudah tiga bulan. Tapi rasanya masih seperti tamu saja di sini. Belum banyak kenal orang.”

Linda mengangguk. “Saya juga begitu. Memang lingkungan ini agak… tertutup. Semua sibuk dengan urusannya sendiri.”

Itu percakapan pertama mereka. Ringkas, tapi cukup untuk membuat Joni merasa sedikit lebih diterima.

Hari-hari berikutnya, Linda kadang menyapa dari pagar, kadang menunggu saat Joni keluar untuk membeli koran atau sekadar menyiram bunga. Obrolan mereka makin panjang. Dari hal-hal remeh, seperti cuaca, tanaman, hingga cerita tentang anak-anak Linda yang mulai beranjak dewasa.

Suatu malam, Joni berani memanggil Linda yang baru pulang dari pasar kecil dekat komplek.

“Bu Linda…” seru Joni dari seberang jalan.

Linda berhenti, menoleh. “Ya, Pak Joni?”

“Kalau tidak keberatan… mungkin kita bisa minum teh di teras. Saya baru bikin.”

Ada keraguan di wajah Linda, namun akhirnya ia tersenyum. “Boleh. Tapi jangan lama-lama, nanti anak-anak kebingungan.”

Di teras rumah Joni, dua cangkir teh hangat mengepulkan uap.

“Sejujurnya,” kata Joni, “saya sudah sering melihat Ibu. Tapi ragu untuk menyapa. Saya kira orang di rumah itu… agak sulit didekati.”

Linda terkekeh pelan. “Memang terlihat begitu, ya? Saya sengaja jarang keluar. Entah kenapa, lebih nyaman begitu.”

“Padahal, setelah ngobrol begini, ternyata Ibu ramah sekali.”

Linda menatap cangkirnya, lalu berkata pelan, “Saya hanya mencoba menjaga diri. Setelah lama hidup sendiri, saya merasa rumah adalah tempat paling aman. Tapi kalau ketemu tetangga baik… ya, rasanya berbeda.”

Joni menatapnya penuh perhatian. “Saya juga sendiri, Bu Linda. Duda sudah beberapa tahun. Kadang sepi juga, apalagi pindah ke tempat baru.”

Linda mengangkat wajahnya, ada tatapan iba sekaligus mengerti. “Mungkin kita punya kesamaan, Pak Joni. Sama-sama pernah kehilangan, sama-sama mencoba bertahan.”

Sejak percakapan itu, mereka semakin sering bertemu. Joni kadang membantu memperbaiki pagar rumah Linda, atau sekadar ikut mengangkat belanjaan. Linda juga beberapa kali datang membawa makanan untuk Joni.

Suatu sore hujan, mereka duduk di ruang tamu rumah Linda. Suara hujan di atap menenangkan.

“Pak Joni…” Linda berkata lirih, “Saya pernah dengar tetangga bilang, Bapak duda, ya?”

Joni mengangguk. “Iya. Sudah hampir lima tahun. Anak-anak ikut ibunya di luar kota. Saya sendiri di sini.”

Linda terdiam sejenak. “Saya pun… sudah lama sendiri. Hanya tinggal bersama anak-anak. Lelaki yang mungkin pernah Bapak lihat di rumah, itu kakak saya. Dia hanya sesekali datang menjenguk.”

“Oh begitu… saya kira suami Ibu,” jawab Joni jujur.

Linda tersenyum getir. “Banyak orang kira begitu. Tapi sebenarnya… saya sendiri yang membesarkan anak-anak.”

Ada jeda panjang. Joni menatap Linda, lalu berkata pelan, “Bu Linda, maaf kalau saya lancang. Tapi saya merasa kita semakin dekat. Dan entah kenapa, saya nyaman sekali berada di sekitar Ibu.”

Linda terdiam, wajahnya memerah. Ia menunduk, jemarinya memainkan gagang cangkir. “Saya juga merasa begitu, Pak Joni. Sejak kita sering bicara… rumah ini tak lagi terasa sepi.”

Minggu-minggu berlalu. Keakraban itu berubah jadi kebiasaan. Hingga suatu malam, saat bulan penuh menggantung di langit, Joni memberanikan diri berbicara.

“Linda…” suaranya serius, “saya tak ingin sekadar jadi tetangga yang akrab. Saya ingin lebih dari itu. Saya ingin mendampingi Ibu, menjaga Ibu, dan bersama membangun hidup baru. Bagaimana menurut Ibu?”

Linda terdiam lama. Matanya berkaca-kaca. “Saya takut, Pak Joni. Takut salah melangkah, takut anak-anak belum siap…”

“Saya mengerti,” sahut Joni lembut. “Tapi saya akan menunggu. Dan saya janji, saya akan menyayangi mereka seperti anak saya sendiri.”

Linda tersenyum, meneteskan air mata. “Kalau begitu… kita jalani bersama. Dengan doa, dengan kesabaran.”

Dan sejak malam itu, hubungan mereka bukan lagi sekadar obrolan di teras atau tatapan di seberang jalan. Mereka melangkah menuju kesepakatan yang lebih dalam: sebuah pernikahan.

*****

Sejak kesepakatan itu terucap, hubungan Joni dan Linda berubah arah. Bukan lagi sekadar pertemuan singkat di depan pagar atau percakapan ringan di sore hari, melainkan kehadiran yang saling melengkapi. Joni semakin sering berada di rumah Linda, membantu memperbaiki hal-hal kecil: pagar yang berkarat, lampu teras yang mati, atau talang air yang bocor. Setiap sentuhan tangannya menghadirkan rasa aman yang lama tak Linda rasakan.

Bagi Joni, kehadiran Linda adalah cahaya baru. Rumah yang sebelumnya hampa, perlahan terisi. Linda sering mengirim makanan hangat, kadang sekadar sepiring sayur bening atau tumis sederhana. Namun bagi Joni, itu lebih berharga daripada hidangan mewah. Ada kehangatan di baliknya, kehadiran seorang perempuan yang peduli.

Anak-anak Linda pun mulai terbiasa dengan keberadaan Joni. Awalnya, mereka hanya melihat dengan tatapan canggung. Namun perlahan, rasa asing itu luluh ketika Joni dengan sabar mendengarkan cerita sekolah mereka, atau membantu anak laki-laki Linda memperbaiki sepedanya yang rusak. Anak perempuan Linda bahkan mulai sering menyapa ramah ketika melihat Joni di teras.

Hari-hari berjalan lebih akrab. Kompleks perumahan yang dulu terasa dingin dan asing, kini bagi Joni telah menemukan maknanya. Setiap pagi ia merasa ada alasan untuk bergegas menyiram bunga atau sekadar membuka jendela, karena di seberang sana ada wajah yang ditunggunya.

Keputusan untuk menikah lahir bukan dari desakan, melainkan dari kesadaran yang tumbuh alami. Keduanya telah cukup lama menjalani kesepian, dan kini mereka mendapati ada ruang kosong yang bisa saling diisi. Tidak dengan gegap gempita, melainkan dengan kesederhanaan yang menenteramkan.

Persiapan pernikahan mereka sederhana. Tidak ada pesta besar, tidak ada undangan yang berlebihan. Hanya keluarga inti, beberapa tetangga dekat, dan doa yang tulus. Linda memilih mengenakan kebaya sederhana berwarna gading, sementara Joni tampak rapi dengan jas abu-abu yang ia simpan khusus untuk momen berharga.

Hari itu, di sebuah aula kecil dekat perumahan, akad nikah berlangsung. Suasana hening dan khidmat. Saat saksi mengucapkan sah, Linda menunduk, menitikkan air mata haru. Joni menatapnya dengan mata berkilat, seolah seluruh perjalanan hidup yang penuh luka dan kesepian akhirnya menemukan muaranya.

Setelah prosesi selesai, mereka duduk berdampingan. Tidak ada kata-kata berlebihan. Hanya genggaman tangan yang erat, yang berbicara lebih banyak dari segala janji. Di wajah Linda terlukis ketenangan yang baru, sementara di hati Joni bersemayam keyakinan: rumah dan hidupnya kini bukan lagi sunyi.

Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah Linda—yang kini menjadi rumah bersama—suasana terasa berbeda. Pagar yang dahulu tertutup rapat, kini tampak seperti pintu yang terbuka bagi awal baru. Anak-anak Linda menyambut dengan senyum canggung, namun di baliknya tersimpan penerimaan.

Di ruang tamu, Linda duduk dengan napas panjang, seolah melepaskan beban lama. Joni berdiri tak jauh darinya, menatap penuh syukur. Mereka tahu perjalanan tak akan selalu mulus, anak-anak masih akan beradaptasi, dan kehidupan tetap menuntut kesabaran. Namun ada satu hal yang pasti: mereka tidak lagi sendiri.

Joni menyalakan lampu teras rumah itu. Cahaya kuning temaram memancar ke jalan komplek yang hening. Malam pun menyambut mereka dengan keteduhan. Dari balik jendela, tampak bayangan dua orang yang kini memilih berjalan bersama, menyatukan sepi menjadi sebuah rumah tangga yang baru.

(Ditulis AI)

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 4533672579508192267

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close