Rumah Impian
Cerpen: Anonim
Di sebuah desa terpencil bernama Tanjungpandan, hiduplah sepasang suami istri yang baru menikah: Bruddin dan Marbuah. Keduanya tinggal menumpang di rumah orang tua, di bilik bambu yang sempit dengan tikar lusuh sebagai pemisah kamar. Meski sederhana, keduanya menjalaninya dengan sabar dan penuh syukur.
Setiap pagi, Bruddin berangkat bekerja. Apa saja yang halal ia kerjakan: buruh tani di sawah Mat Toyu, mengangkut pasir di sungai, hingga membantu Atun menjual sayur ke pasar. Sementara itu, Marbuah setia menanti di rumah, menyiapkan air hangat atau sekadar bubur jagung seadanya.
“Tak apa, Buah,” ujar Bruddin suatu malam, ketika istrinya tampak murung. “Rumah kita memang belum ada. Tapi ada kamu di sisiku, itu sudah jadi rumah paling indah.”
Marbuah menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku hanya takut, Bang... kalau hidup kita begini terus. Orang lain sudah mapan, kita masih menumpang.”
Bruddin tersenyum tipis, lalu menggenggam tangannya. “Asal kita sabar, asal kita ikhlas, suatu hari nanti kita punya rumah impian. Aku janji.”
*****
Hari-hari yang berat itu perlahan berubah ketika Jamil, tukang becak desa, membawa kabar tentang proyek pembangunan jalan di kecamatan. Bruddin ikut melamar sebagai pekerja kasar, dan syukurlah ia diterima. Upahnya memang tak besar, tapi lebih dari cukup dibanding kerja serabutan sebelumnya.
Dari hasil keringatnya, Bruddin mulai menyisihkan uang. “Sedikit demi sedikit kita kumpulkan, Buah,” katanya penuh semangat. “Kita tabung untuk beli tanah. Suatu saat rumah itu berdiri.”
Kabar tentang kerja keras Bruddin membuat warga desa ikut mendukung. Mat Toyu melepas sebidang tanah kecil dengan harga murah. Atun menyumbangkan bambu, sementara Marna menenun tikar untuk lantai rumah baru mereka. Guyubnya desa membuat hati Bruddin dan Marbuah hangat.
*****
Beberapa tahun kemudian, berdirilah sebuah rumah kecil di pinggir desa. Berdinding papan, beratap seng, dan berlantai tanah yang ditutupi tikar anyaman. Sederhana, namun kokoh dan penuh doa.
Malam pertama di rumah itu, Bruddin dan Marbuah berbaring berdampingan, mendengar nyanyian jangkrik dari luar.
“Bang,” bisik Marbuah lirih, “meski kecil, rumah ini terasa seperti istana.”
Bruddin menatap langit-langit papan yang masih baru, lalu meraih tangan istrinya.
“Iya, Buah. Ini bukan rumah besar, tapi di dalamnya ada cinta besar. Dan itu cukup membuatku merasa jadi orang paling kaya di dunia.”





