Hutang yang Tak Terbayar
Senja di Rumah Hasmi
Matahari senja baru saja meredup ketika Hasmi pulang kerja. Ia menurunkan tasnya dengan wajah lelah, kemejanya sedikit kusut dan napasnya masih memburu akibat menembus kemacetan kota. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti di depan pintu rumah.
Di ruang tamu, duduk seorang perempuan renta berkerudung lusuh. Tangannya yang keriput meremas ujung kain jariknya, sementara wajahnya yang dipenuhi keriput menoleh pelan begitu Hasmi masuk.
“Assalamu’alaikum, Mi…” suara itu parau, bergetar, namun penuh harap.
Hasmi terperanjat. Ia mengenali suara itu meski sudah puluhan tahun jarang mendengar. Ibunya.
“Ibu?” Hasmi tercekat. Seakan ada batu besar mengganjal di kerongkongannya.
Sementara itu, Minarsih, istrinya, keluar dari dapur membawa segelas teh hangat. “Alhamdulillah, sudah pulang juga, Mas. Mari duduk dulu. Ada yang perlu Mas dengar malam ini.”
Hasmi mendengus lirih. Pandangannya berpindah dari istrinya ke sosok tua itu. “Kenapa Ibu ada di sini?” tanyanya pelan, tapi nadanya lebih seperti protes daripada sambutan.
Minarsih menatapnya tajam. “Mas, ini ibumu sendiri. Apa salahnya kalau dia datang? Sudah lama beliau sendirian, hidup seadanya di desa, bahkan tanpa perhatian anak-anaknya.”
Wajah Hasmi berubah kaku. “Kamu… menjemput Ibu?”
“Iya, Mas. Aku yang menjemput,” jawab Minarsih mantap. “Aku tidak tega mendengar cerita orang-orang kampung tentang keadaan beliau. Rumah reyot, makan kadang tidak teratur. Bagaimana mungkin anak-anaknya yang sudah mapan membiarkan ibunya begitu?”
Ibunya menunduk. “Sudahlah, Minarsih. Jangan salahkan dia. Ibu memang sudah biasa begini. Sejak kecil Hasmi memang bukan lagi tanggungan Ibu…”
“Tidak, Bu,” Minarsih menepuk tangan tua itu. “Ibu tidak salah. Justru anak-anak Ibu yang lupa diri.”
Hasmi tersentak mendengar ucapan istrinya. “Hei, jangan begitu bicara! Kamu tidak tahu apa-apa soal masa lalu. Aku dibesarkan orang lain, bukan oleh dia! Bagaimana aku harus merasa dekat? Aku bahkan nyaris tidak pernah mendapat kasih sayang darinya.”
Suasana menjadi tegang. Minarsih menatap suaminya, kali ini dengan sorot mata kecewa. “Justru itu yang membuatmu buta hati, Mas. Kau tidak pernah bertanya, mengapa ibumu harus melepaskanmu. Kau hanya tahu sakitmu sendiri, tanpa mau melihat luka yang jauh lebih dalam di hatinya.”
Ibunya terisak pelan, “Maafkan Ibu, Nak… Semua dulu karena kemiskinan. Ayahmu meninggal terlalu cepat, sementara adik-adikmu masih kecil. Ibu tak sanggup menghidupi kalian semua. Maka Hasmi, anak sulung, harus diasuh keluarga lain. Ibu rela, asal kau bisa hidup lebih baik.”
Hasmi menggertakkan giginya, menoleh ke arah lain. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, tapi gengsi membuatnya bungkam.
Perjalanan Menjemput
Sehari sebelumnya, Minarsih menempuh perjalanan jauh ke desa tempat ibu mertua tinggal. Jalanan berliku, sebagian masih tanah merah. Angin membawa debu kering yang menempel di rambut dan bajunya.
Ia berhenti di depan sebuah rumah reyot berdinding anyaman bambu, atapnya bolong di beberapa sisi. Di halaman, seorang perempuan tua sedang menyapu dedaunan kering dengan sapu lidi.
“Assalamu’alaikum, Bu…” suara Minarsih bergetar menahan haru.
Perempuan itu menoleh, matanya berair melihat seorang perempuan muda dengan wajah lembut. “Wa’alaikum salam. Siapa ya, Nak?”
Minarsih melangkah maju, menggenggam tangan keriput itu. “Saya Minarsih, Bu. Istrinya Hasmi.”
Sejenak tubuh renta itu terhuyung, lalu air mata jatuh membasahi pipi tuanya. “Hasmi… anakku… bagaimana kabarnya?”
Minarsih mengangguk, menahan tangis. “Beliau sehat, Bu. Hanya… sudah lama tidak menjenguk. Itu sebabnya saya datang. Mari ikut saya pulang ke kota. Saya tak tega melihat Ibu hidup sendirian di rumah rapuh ini.”
Ibu itu mencoba menolak, “Ah, Nak… Ibu sudah terbiasa. Tidak usah merepotkan.”
Namun Minarsih memegang tangannya erat. “Tidak, Bu. Bukan merepotkan. Justru ini kewajiban kami sebagai anak dan menantu. Mari, Bu. Izinkan saya membawa Ibu pulang.”
Akhirnya perempuan tua itu mengangguk pelan. Dengan mata berkaca-kaca ia mengemasi kain jarik dan beberapa pakaian usang ke dalam tas kecil. Lalu ia ikut Minarsih menuju kota.
Pertemuan dengan Saudara
Malam itu, Minarsih diam-diam menghubungi kedua adik iparnya: Rani dan Lukman. Esok harinya mereka datang, meski dengan wajah enggan.
“Kenapa mendadak panggil kami ke sini?” tanya Lukman, nada suaranya penuh curiga.
Minarsih berdiri di depan pintu. “Karena ada yang harus kalian lihat.”
Begitu masuk, keduanya mendapati sosok ibu mereka sedang duduk di sofa, dengan tubuh kurus terbungkuk. Rani langsung terdiam, tapi matanya berkedip-kedip seakan ingin mengelak kenyataan.
“Ibu…” gumamnya singkat, tanpa langkah maju.
Lukman malah menghela napas panjang. “Minarsih, apa-apaan ini? Kenapa kau bawa Ibu ke rumah Hasmi? Bukannya lebih baik Ibu tetap di desa saja?”
Kata-kata itu membuat Minarsih menegang. “Kalian dengar dirimu sendiri? Itu ibu kandung kalian! Kenapa seolah beliau beban?”
Rani berusaha menengahi. “Bukan begitu, Mbak Min. Hanya saja… kami masing-masing sudah punya kehidupan sendiri. Aku sibuk mengurus anak-anak, Lukman juga kerjaannya tak menentu. Ibu… bagaimana ya, sulit kalau tiba-tiba harus mengurus beliau.”
Mendengar itu, Minarsih tertawa getir. “Alasan! Bukankah kalian dulu tidak pernah merasa sulit ketika menerima semua kasih sayangnya? Siapa yang mengandung kalian sembilan bulan, siapa yang berjuang melahirkan, siapa yang rela kelaparan agar kalian tetap makan? Sekarang, ketika beliau lemah, kalian pura-pura sibuk?”
Lukman terdiam, tapi masih mencoba bertahan. “Tapi Mbak… zaman sudah berubah. Hidup makin berat. Mengurus orang tua di usia senja itu bukan hal mudah. Biayanya banyak, tenaga terkuras. Bukan berarti kami tidak sayang, hanya—”
“Diam, Lukman!” suara Minarsih meninggi. Semua mata tertuju padanya. “Kau berani berkata soal biaya? Soal tenaga? Sebelum bicara begitu, bayar dulu hutangmu pada Ibumu! Kau lahir sembilan bulan dalam kandungannya, dengan risiko nyawa! Bayar dulu semua air susu yang kau teguk, semua peluh dan darah yang ia keluarkan demi membesarkanmu. Bisakah kau bayar?!”
Rani menutup wajahnya, menahan tangis. Hasmi yang sedari tadi diam, kini mulai gelisah. Kata-kata Minarsih menembus pertahanan yang ia bangun bertahun-tahun.
Ledakan Minarsih
“Aku heran pada kalian bertiga,” lanjut Minarsih, suaranya bergetar tapi penuh amarah. “Seolah hubungan anak dengan ibu bisa diputus begitu saja, hanya karena alasan ekonomi atau kesibukan. Kalian pikir surga itu di mana? Surga itu di bawah telapak kaki ibu kalian! Bagaimana mungkin kalian bisa berharap hidup berkah jika orang yang melahirkan kalian kalian abaikan?”
Ibunya berusaha menenangkan. “Sudahlah, Nak Minarsih. Jangan marahi mereka. Mungkin memang salah Ibu yang tak bisa memberi banyak.”
“Tidak, Bu! Ibu jangan merasa bersalah lagi!” Minarsih menoleh ke ketiga saudara itu. “Kalian yang harus merasa malu. Sebab kalian tega membiarkan seorang perempuan tua yang dulu berjuang seorang diri kini meratap sendirian.”
Keheningan berat memenuhi ruangan.
Rani akhirnya terisak keras. Ia berlutut di depan ibunya, memeluk lutut yang rapuh itu. “Ampuni aku, Bu… Aku anak durhaka. Aku sibuk dengan urusan duniawi, lupa pada yang paling penting. Ampuni aku…”
Lukman menunduk, rahangnya mengeras. Perlahan ia juga mendekat, menggenggam tangan ibunya. “Maafkan aku, Bu. Aku terlalu sombong. Aku kira bisa hidup tanpa harus menoleh ke belakang. Ternyata aku salah besar.”
Hasmi masih terpaku di tempat. Pandangannya tertumbuk pada wajah tua itu—wajah yang dulu sering muncul samar di mimpi-mimpinya. Ada luka lama, ada jarak, ada gengsi. Namun perlahan, semua itu runtuh ketika ia melihat air mata ibunya jatuh.
Dengan langkah gemetar, Hasmi mendekat. Ia berlutut, menundukkan kepala. “Ibu… Maafkan aku. Aku selalu menyalahkan Ibu. Aku lupa kalau semua yang kulalui sekarang adalah buah dari pengorbanan Ibu di masa lalu. Aku… aku anak yang kejam.”
Ibunya meraih kepala ketiganya, menepuk lembut. “Sudahlah, Nak. Ibu tidak menyimpan dendam. Ibu hanya ingin bersama kalian lagi, tidak sendirian. Itu saja.”
Pelukan yang Menghapus Luka
Malam itu menjadi malam penuh tangis dan pelukan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tiga bersaudara itu duduk mengelilingi ibu mereka, mendengarkan kisah hidupnya dengan seksama. Kisah perjuangan, kisah kesepian, kisah kerinduan.
Minarsih duduk di samping, tersenyum tipis meski matanya masih berkaca-kaca. Ia tahu malam itu bukan sekadar reuni keluarga, melainkan kebangkitan hati yang hampir mati.
“Mulai sekarang,” kata Minarsih menutup percakapan, “aku tidak mau lagi mendengar ada satu pun dari kalian menelantarkan Ibu. Kalau kalian merasa berat, mari kita bergantian, kita bagi tanggung jawab. Tapi jangan sekali-kali berani kalian melepaskan beliau lagi.”
Ketiganya mengangguk bersamaan, penuh kesungguhan.
Ibunya tersenyum—senyum yang jarang muncul selama bertahun-tahun. “Terima kasih, Minarsih. Kau bukan hanya menantuku. Kau penyelamat keluarga ini.”
Epilog
Hari-hari berikutnya berubah. Hasmi sering mengantar ibunya berobat, Rani rajin menelpon menanyakan kabar, Lukman kerap pulang membawa oleh-oleh. Mereka sadar, hutang sembilan bulan itu memang takkan pernah terbayar dengan materi. Hanya kasih, bakti, dan doa yang bisa sedikit menebusnya.
Dan Minarsih, dengan kesabaran dan keberaniannya, berhasil membuka mata mereka.
Sebab hutang seorang anak pada ibunya adalah hutang sepanjang hayat. Hutang yang tak terbayar.
(Rulis/AI)
Pilihan





