Bayangan Merapi
Perguruan Rahasia di Lereng Merapi
Lereng Gunung Merapi bukan hanya tempat para petani dan penduduk desa. Di balik hutan lebat dan tebing berawan, berdiri sebuah perguruan rahasia bernama Watu Kelir, tempat Kutama dan Nyi Rawit Asmara dahulu ditempa.
Perguruan itu dipimpin oleh seorang tokoh misterius yang hanya dikenal dengan sebutan Eyang Jagatmurti, seorang tua renta yang menguasai ilmu tenaga dalam tingkat dewa. Namun ia bukan guru bijak, melainkan orang yang mengajarkan muridnya untuk menaklukkan dunia melalui kekuatan.
Berita tentang kematian Kutama dan Nyi Rawit sampai juga ke telinganya.
“Jadi Yudikarma telah kembali. Sepuluh tahun ia menghilang, kini merusak rencana besar perguruan Watu Kelir. Tidak bisa dibiarkan.”
Jagatmurti memanggil tiga murid andalannya: Sanca Dirga, pendekar ular berwajah kejam; Ranggah Seta, penguasa jurus bayangan yang bisa menghilang dalam gelap; dan Dewi Sekar Langit, wanita berwajah laksana bidadari tapi berhati dingin.
Benangpinang Pasca-Kutama
Sementara itu, kehidupan Benangpinang mulai pulih. Pasar kembali ramai, sawah menghijau, dan warga mulai menata hidup. Yudikarma sendiri memilih tetap menyepi, tinggal di gubuk bambu di tepi hutan barat.
Namun ia tahu, kedamaian ini hanyalah tenang sebelum badai. Malam-malam ia sering merasakan hawa hitam dari arah timur, hawa yang sama dengan ilmu perguruan Watu Kelir.
Kedatangan Utusan Watu Kelir
Suatu sore, di balai desa, tiga orang asing muncul. Mereka adalah utusan Watu Kelir: Sanca Dirga, Ranggah Seta, dan Dewi Sekar Langit. Kehadiran mereka menebar ketegangan.
“Kami datang bukan untuk berunding,” kata Sanca Dirga dengan suara parau. “Kota ini bagian dari wilayah kami. Serahkan Yudikarma, atau Benangpinang akan menjadi lautan darah.”
Warga ketakutan, saling berpandangan. Namun seorang pemuda berani, bernama Jaka Wulung, berdiri maju.
“Yudikarma adalah penyelamat kami. Jangan kalian kira kami akan menyerah!”
Sanca Dirga hanya tertawa, lalu menjentikkan jarinya. Dari balik lengan bajunya, seekor ular melompat ke arah Jaka Wulung. Namun tiba-tiba, sebuah batu kecil melesat kencang dan menghantam ular itu hingga remuk.
Dari balik kerumunan, Yudikarma melangkah ke depan. Wajahnya tenang, namun matanya tajam bagai pedang.
“Pergilah kembali ke gurumu. Katakan padanya, Benangpinang tidak tunduk pada ancaman.”
Bentrok Pertama
Sanca Dirga menggeram, lalu melompat dengan jurus Gelanggang Ular Pati. Tubuhnya meliuk bagai ular, tangannya menusuk seperti taring berbisa. Namun Yudikarma bergerak ringan, menepis setiap serangan dengan jurus Bayu Sungsang.
Ranggah Seta ikut maju, tubuhnya lenyap ke dalam bayangan. Tiba-tiba ia muncul di belakang Yudikarma, mencoba menusuk dengan keris hitam. Tapi Yudikarma sudah tahu, ia membalikkan tubuh, menahan dengan dua jari, membuat keris itu patah.
Dewi Sekar Langit hanya menatap dengan senyum samar. Ia tidak ikut bertarung, namun tatapannya seolah menembus jiwa.
“Yudikarma… kau bukan musuh kami. Kau seharusnya bergabung. Bersama perguruan Watu Kelir, kau bisa menguasai tanah Jawa. Kenapa memilih berpihak pada rakyat kecil?”
“Ilmu tanpa welas asih hanya melahirkan tirani. Aku tidak akan berpihak pada kegelapan.”
Dewi Sekar Langit terdiam sejenak, matanya menyimpan rasa penasaran.
Pertarungan itu berakhir tanpa pemenang. Tiga utusan Watu Kelir mundur, namun mereka berjanji akan kembali dengan kekuatan lebih besar.
Sekutu Baru: Jaka Wulung
Setelah kejadian itu, Jaka Wulung mendatangi Yudikarma.
“Den Yudikarma, ajari aku ilmu kanuragan. Aku tidak ingin Benangpinang hanya bergantung padamu seorang.”
Yudikarma memandang pemuda itu dalam-dalam. Dilihatnya keberanian yang tulus, meski masih mentah. Akhirnya ia setuju.
Sejak saat itu, Yudikarma mulai menurunkan sebagian ilmunya kepada Jaka Wulung. Ia mengajarkan dasar tenaga dalam, gerak langkah, serta sikap hati yang selalu berpihak pada kebenaran.
“Ilmu sejati bukan untuk membunuh, tapi untuk melindungi. Ingat itu, Jaka.”
Bayangan Besar di Tanah Jawa
Perguruan Watu Kelir mulai bergerak, mengirim utusan ke berbagai daerah, menyebarkan pengaruh, menaklukkan desa-desa dengan kekuatan. Benangpinang hanyalah satu dari sekian banyak target mereka.
Namun kabar tentang Yudikarma juga menyebar. Banyak desa lain mulai berharap padanya. Sebagian pendekar lama yang dulu mengenalnya pun bangkit, ada yang ingin membantunya, ada pula yang diam-diam merasa tersaingi.
Tanah Jawa pun bersiap memasuki masa baru: masa di mana persilatan, perguruan, dan dendam akan bertarung demi menguasai arah sejarah.
Dan di tengah semuanya, Yudikarma berdiri sebagai pusat takdir—pendekar yang tak mencari nama, namun takdir selalu menyeretnya ke medan pertempuran
(Rulis)
Pilihan




