Kembalinya Yudikarma ke Benangpinang


Di tanah Jawa, kota kecil bernama Benangpinang dulunya adalah pusat perdagangan yang makmur. Namun, sejak Kutama—seorang pendekar sesat nan sakti—menguasai separuh kota bersama gerombolannya, Benangpinang berubah jadi lautan ketakutan. Pencurian, perampokan, hingga pembunuhan menjadi santapan sehari-hari warga.

Namun, kabar mulai beredar di kalangan orang tua dan pendekar tua: Yudikarma, pendekar misterius yang pernah menjadi penegak keadilan, dikabarkan turun gunung setelah menghilang selama sepuluh tahun.

Penyamaran di Pasar

Suasana pasar Benangpinang ramai, namun suasana hati para pedagang selalu was-was. Siapa saja bisa dipalak oleh anak buah Kutama.

Seorang lelaki tua berpakaian compang-camping duduk bersandar di pojok pasar. Rambutnya acak-acakan, tubuhnya kurus kering, dan tangannya menggenggam mangkuk tempurung batok kelapa. Dialah Yudikarma dalam penyamaran.

“Ealah, wong tuwo iki kasihan tenan, mangan wae angel.” ujar pedagang sayur
(Orang tua ini kasihan sekali, makan saja susah.), 

Yudikarma tersenyum samar. Ia melihat tiga orang preman mendatangi kios emas. Salah satunya adalah Sura Buncit, anak buah Kutama yang terkenal bengis.

 “Heh, Pak Lik! Upeti wis wayahe. Yen ora mbayar, toko iki tak obrak-abrik!” ancam Sura Buncit:
(Hei, paman! Sudah waktunya setor upeti. Kalau tidak bayar, toko ini akan kuacak-acak!)

Pedagang emas gemetar. Orang-orang hanya bisa menunduk, tak berani menolong. Yudikarma hanya menatap dengan mata tajam dari balik wajah pengemisnya.

Malam Hari: Gerakan Pertama

Hari ketiga penyamarannya, Yudikarma mulai bergerak. Tengah malam, ia menghadang dua orang gerombolan Kutama di lorong gelap.

“Sapa kowe, wong tuwo kere?!”
(Siapa kamu, orang tua miskin?!), tanya Preman 1

“Aku mung wong sing kepengin kebeneran bali. Ning dalan iki, kowe ora bakal bali maneh.” sahut Yudikarma (dingin)
(Aku hanya orang yang ingin keadilan kembali. Di jalan ini, kalian tak akan pernah kembali.)

Dengan sekali hentakan kaki, tanah bergetar. Preman-preman itu limbung. Yudikarma mengibaskan tangannya, angin tajam menghantam dada mereka hingga tubuh keduanya terpental jauh. Sekejap kemudian, jasad mereka lenyap, terhisap oleh jurus rahasia Angin Panyingkir Jagat, yang memindahkan mayat ke balik Bukit Barat.

Kabar Buruk untuk Kutama

Beberapa hari kemudian, Kutama murka.

 “Sapa sing wani ngganggu kedaulatanku?! Anak buahku ilang siji-siji, iki dudu kebeneran!”
(Siapa yang berani mengganggu kekuasaanku?! Anak buahku hilang satu per satu, ini bukan kebetulan!) tanya Kutama marah

Ia memanggil tangan kanannya, Wirangga Wulung, seorang pendekar sesat bermata elang.

“Aku curiga iki pakaryane Yudikarma. Wong iku ora mati, mung nyumput.”
(Aku curiga ini ulah Yudikarma. Orang itu tidak mati, hanya bersembunyi.), sahut Wirangga curiga

 “Yen tenan Yudikarma bali, kutha iki bakal kebak getih maneh.”
(Jika benar Yudikarma kembali, kota ini akan penuh darah lagi.), tanggap Kutama

Pertarungan di Balai Desa

Suatu malam, Yudikarma sengaja menampakkan diri di balai desa ketika anak buah Kutama hendak menjarah lumbung padi.

 “Baleni gabah-gabah iku marang wong tani. Yen ora, awakmu sing dadi panggane tanah.” ancam Yudikarma
(Kembalikan padi itu kepada para petani. Kalau tidak, tubuhmu sendiri yang akan jadi bagian dari tanah.)

Anak buah Kutama tertawa meremehkan.

Pertarungan pun pecah. Yudikarma bergerak laksana bayangan. Pukulan Pecut Bayu Sakti membuat lima orang sekaligus terhempas ke dinding bambu hingga roboh. Seorang lainnya mencoba menusuk dengan keris, tapi Yudikarma hanya menepiskan dengan jari telunjuk—keris itu patah menjadi dua.

 “S-sampun, den… aja mateni kula!”, Preman yang tersisa (gemetar): 
(Sudah, tuan… jangan bunuh saya!)

“Balio marang dalan sing bener. Yen mbalelo maneh, awakmu ilang kaya kancamu.” Ujar Yudikarma
(Kembalilah ke jalan yang benar. Kalau melenceng lagi, tubuhmu akan lenyap seperti temanmu.)

Pertemuan Kutama dan Yudikarma

Akhirnya, Kutama memutuskan menghadapi sendiri. Malam itu, di alun-alun kota Benangpinang, dua pendekar besar saling berhadapan.

 “Yudikarma! Sepuluh taun kowe ngilang, saiki wani- wani ngganggu kedaulatanku?” tekan Kutama
(Yudikarma! Sepuluh tahun kau menghilang, kini berani-beraninya mengganggu kekuasaanku?)

 “Aku mung bali amarga Benangpinang dadi alas peteng. Kowe wis nginjak-injak wong cilik. Dina iki, tiranimu rampung.” Jawab Yudikarma
(Aku kembali karena Benangpinang jadi hutan kegelapan. Kau sudah menindas rakyat kecil. Hari ini, tiranimu berakhir.)

Pertarungan dahsyat terjadi. Kutama mengerahkan Aji Geni Murub, melepaskan semburan api dari telapak tangannya. Yudikarma melawan dengan jurus Tirta Jagad Gumuling, menciptakan pusaran air dari hawa dalamnya, yang langsung memadamkan api.

Benturan tenaga dalam membuat tanah retak, pepohonan di alun-alun tercabut, bahkan bangunan di sekeliling berguncang.

Akhirnya, Yudikarma melancarkan jurus pamungkas: Cakra Pati Angkoro. Cahaya biru melesat, menembus dada Kutama. Tubuh Kutama terhuyung, sebelum akhirnya roboh dengan mata mendelik.

 “Kowe… ora bakal bisa ngilangke pepeteng… wong kaya aku bakal bali maneh…” ujar Kutama (suara terakhir)
(Kau… tak akan bisa menghapus kegelapan… orang sepertiku akan lahir kembali…)

Akhir: Benangpinang Tenang Kembali

Dengan robohnya Kutama, sisa anak buahnya tercerai-berai. Warga Benangpinang keluar dari rumah, menyalakan obor, bersorak menyebut nama Yudikarma.

Namun, Yudikarma tak bertahan lama. Usai pertempuran, ia kembali mengenakan pakaian lusuhnya. Ia hanya tersenyum dan berjalan menuju arah hutan.

 “Den Yudikarma, tetepana mriki, pimpin kutha iki!” harap Seorang pemuda
(Tuan Yudikarma, tinggallah di sini, pimpin kota ini!)

 “Ora. Benangpinang ora butuh aku, nanging butuh wong-wong sing wani bela kabeneran. Aku mung lintang sing mampir sejenak.” Jawab Yudikarma: 
(Tidak. Benangpinang tidak butuh aku, tapi butuh orang-orang yang berani membela kebenaran. Aku hanya bintang yang singgah sejenak.)

Yudikarma pun lenyap ditelan kegelapan malam, meninggalkan legenda baru yang akan terus diceritakan dari mulut ke mulut.

Sisa Bayang-Bayang Gelap

Meski Kutama telah tewas di tangan Yudikarma, Benangpinang belum sepenuhnya tenang. Sebagian anak buah Kutama melarikan diri. Mereka berkumpul di balik lereng timur Gunung Merapi, dipimpin oleh seorang pendekar wanita berhati bengis bernama Nyi Rawit Asmara.

Nyi Rawit adalah adik seperguruan Kutama, penguasa ilmu racun dan pengendali ular. Kabarnya, ia berniat menuntut balas atas kematian kakak seperguruannya itu.

Bayang Ular di Sawah

Beberapa bulan setelah kematian Kutama, warga Benangpinang kembali resah. Petani mendapati sawah mereka dipenuhi ular berbisa. Banyak yang meninggal setelah digigit.

Di balai desa, para sesepuh membicarakan hal ini dengan gusar.

“Sepertinya malapetaka baru datang, setelah Kutama tiwas,” ucap salah seorang sesepuh.

“Benar. Aku mendengar kabar ada wanita sakti dari lereng timur. Konon ia membawa dendam besar.”

Saat itu, Yudikarma muncul dengan tenang, mengenakan ikat kepala lusuh dan jubah sederhana. Semua orang menatap penuh harap.

“Aku sudah menduga. Yang bergerak kali ini adalah Nyi Rawit Asmara. Ilmu racunnya lebih kejam dari jurus api Kutama. Jangan sampai Benangpinang kembali jatuh ke tangan orang semacam itu.”

Ucapan Yudikarma membuat seisi balai terdiam. Rasa takut bercampur dengan keyakinan, hanya dialah yang sanggup menghadapi ancaman itu.

Pertemuan di Tepi Kali

Yudikarma akhirnya menemukan jejak Nyi Rawit. Di tepi sungai yang sunyi, tampak seorang wanita berwajah cantik namun penuh aura angker, mengenakan selendang hitam. Di sekelilingnya melata puluhan ular kobra.

“Jadi benar. Kau, Yudikarma, yang telah membunuh Kutama.”

“Kutama mati oleh keserakahannya sendiri. Dan sekarang kau berniat melanjutkan tirani itu?”

“Kau tidak tahu, Yudikarma. Kutama dan aku hanyalah bagian kecil dari perguruan besar di lereng Merapi. Kau bunuh satu, seribu akan datang menuntut balas.”

“Selama aku masih bernapas, Benangpinang tidak akan jatuh ke tangan orang semacam kalian.”

Nyi Rawit tersenyum dingin, kemudian meniup suling kecil dari gading. Seketika, ular-ular di sekelilingnya bangkit, mendesis, dan menyerang Yudikarma.

Pertarungan Racun dan Angin

Ular-ular itu melompat bagai panah. Yudikarma menghentakkan kaki, mengerahkan jurus Angin Lindu Pamungkas. Gelombang angin bertiup deras, membuat sebagian ular terpental, namun ada pula yang berhasil menggigit lengan bajunya.

Dengan gerakan halus, Yudikarma mengalirkan tenaga dalamnya. Racun ular yang masuk justru berbalik, membuat tubuh ular itu meletus dari dalam.

“Kau terlalu percaya diri, Yudikarma! Rasakan jurusku—Asap Racun Arwah Sejati!

Dari selendang hitamnya, Nyi Rawit mengibaskan debu beracun berwarna hijau. Udara sekitar mendadak pekat, membuat dedaunan kering seketika.

Namun Yudikarma menutup matanya, merapal jurus Cakra Bayu Tirta. Pusaran air dan angin terbentuk, menyapu debu beracun itu ke udara hingga hilang ditelan langit.

“Tidak mungkin…! Racunku tak pernah gagal!”

“Ilmu yang bersumber dari kebencian, hanya membawa kebinasaan.”

Jurus Pamungkas

Pertarungan semakin sengit. Nyi Rawit melepaskan selendangnya, berubah menjadi ular raksasa hitam bermahkota. Suaranya bergemuruh, membuat sungai bergolak.

Yudikarma berdiri tegak, tangannya membentuk pusaran tenaga dalam.

“Inilah akhir dari jalanmu, Nyi Rawit. Cakra Pati Angkoro!

Cahaya biru menyambar, melesat menembus tubuh ular raksasa itu. Jeritan menggema, langit malam seolah bergetar. Perlahan, tubuh ular itu kembali menjadi wujud Nyi Rawit, terkapar dengan mata membelalak.

“Yudikarma… kau boleh mengalahkanku… tapi bayangan perguruan Merapi tak akan pernah padam…”

Suara terakhir itu menghilang bersama nafasnya.

Benangpinang yang Baru

Usai pertarungan, Yudikarma memandangi sungai yang kembali tenang. Malam terasa hening, hanya suara jangkrik terdengar. Ia tahu, Nyi Rawit hanyalah satu dari sekian banyak bayang-bayang gelap yang akan muncul di tanah Jawa.

Keesokan harinya, warga Benangpinang mengadakan selamatan besar. Mereka memotong tumpeng, berdoa bersama, dan mengucapkan rasa syukur.

Namun Yudikarma tidak hadir. Seperti biasa, ia memilih menyepi di tepi hutan.

“Selama masih ada keserakahan di hati manusia, selama itu pula bayangan gelap akan lahir. Tugasku hanyalah menjaga cahaya agar tak padam.”

Ia melangkah perlahan ke arah barat, meninggalkan Benangpinang yang kini tenang. Nama Yudikarma kembali jadi legenda—sebuah kisah yang akan dituturkan lintas generasi, tentang pendekar misterius yang muncul saat rakyat kecil tertindas, lalu menghilang kembali ke kegelapan malam.

 (Rulis)

******

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 4516665900747819099

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA
Info selengkapnya, klik gambar

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close