Guruku Adalah Istriku
Cerpen: Nabilah
Aku masih ingat aroma ruang guru itu. Campuran antara kertas, kapur tulis, dan kopi hitam yang selalu mengepul dari gelas putih milik Bu Lukmini. Setiap pagi, saat aku lewat di depan ruang guru, aku menahan langkah barang beberapa detik, hanya untuk sekadar melihatnya menulis di buku catatan dengan wajah serius tapi teduh.
Bu Lukmini bukan hanya cantik — tapi punya aura yang membuat siapa pun nyaman berada di dekatnya. Sederhana dalam berpenampilan, tapi ada keanggunan yang sulit dijelaskan. Guru-guru pria di sekolahku, SMA Negeri tempat aku menempuh masa remaja, sering kali mencari-cari alasan untuk berbicara dengannya. Tapi entah kenapa, seolah-olah Bu Lukmini menutup pintu itu dengan senyum lembut yang tak bisa ditembus.
Aku duduk di bangku kelas satu waktu pertama kali dia mengajar. Pelajaran Bahasa Indonesia yang biasanya terasa membosankan mendadak jadi sesi yang aku tunggu-tunggu. Suaranya lembut tapi tegas, cara bicaranya penuh rasa. Kadang ia melontarkan pertanyaan retoris yang membuatku berpikir panjang — dan diam-diam jatuh cinta.
“Bahasa bukan cuma soal kata,” katanya suatu hari di depan kelas. “Bahasa adalah jembatan antara hati dan pikiran.”
Aku tersenyum tanpa sadar, menatapnya. Sejak itu aku tahu, hatiku sudah lewat jembatan itu — dan entah kenapa, tak bisa kembali lagi.
*****
Waktu berjalan cepat. Dari sekadar rasa kagum, berubah jadi ketertarikan yang makin dalam. Aku tahu betul, jarak di antara kami tidak hanya sembilan tahun, tapi juga tembok besar bernama “etika”. Aku murid, dan dia guru.
Tapi perasaan tidak mengenal tata tertib sekolah.
Suatu sore, setelah jam pelajaran selesai, aku sengaja menunggu di taman depan ruang guru. Aku pura-pura membaca buku. Bu Lukmini keluar sambil menenteng map berisi lembar tugas.
“Masih di sini, Dimas?” tanyanya sambil tersenyum lembut di akhir kalimat.
“Iya, Bu… lagi nunggu teman,” jawabku gugup di akhir kalimat.
“Temannya nggak datang?” tanya Bu Lukmini di akhir kalimat.
Aku menggeleng, pura-pura santai. “Kayaknya lupa, Bu.” ucapku di akhir kalimat.
Ia hanya mengangguk kecil, lalu berjalan menuju gerbang. Aku memperhatikan langkahnya yang tenang. Seandainya waktu bisa berhenti, aku ingin sore itu tidak pernah berakhir.
*****
Tiga tahun berlalu setelah aku lulus. Aku kuliah di kota lain, berusaha melupakan sosok yang entah kenapa masih menetap di sudut hatiku. Tapi setiap kali aku menulis — entah puisi, cerita, atau bahkan tugas kuliah — sosok Bu Lukmini selalu muncul di sela-selanya.
Suatu hari, aku pulang ke kampung halaman karena ada acara reuni. SMA kami kini tampak lebih modern, tapi aroma kapur tulisnya tetap sama. Dan di antara kerumunan guru yang menyalami kami, aku melihatnya — Bu Lukmini. Masih seperti dulu, tapi kini dengan rambut sedikit lebih panjang dan sorot mata yang lebih lembut.
“Dimas?” ucapnya pelan di akhir kalimat.
Aku menatapnya, agak kikuk. “Iya, Bu. Lama nggak ketemu.” jawabku di akhir kalimat.
Ia tersenyum. “Sekarang sudah kerja ya?” tanyanya di akhir kalimat.
“Baru mulai, Bu. Masih belajar menyesuaikan diri sama dunia nyata,” kataku di akhir kalimat sambil tertawa kecil.
Ia tertawa ringan, tawa yang tak pernah berubah sejak pertama aku mengenalnya.
Di sela reuni itu, kami sempat berbincang lebih lama. Tak lagi sebagai guru dan murid, tapi dua orang dewasa yang saling menghormati masa lalu. Aku tahu, rasa itu masih ada — dan entah bagaimana, seolah waktu hanya menundanya, bukan menghapusnya.
*****
Beberapa minggu setelah reuni, aku memberanikan diri menghubunginya. Awalnya hanya sekadar basa-basi, menanyakan kabar. Tapi perlahan, percakapan kami makin dalam. Kami berbicara tentang hidup, tentang cita-cita, dan kadang tentang kesepian.
Sampai suatu malam, setelah perbincangan panjang lewat telepon, aku memberanikan diri.
“Bu…” ucapku pelan di akhir kalimat.
“Hm?” jawabnya lembut di akhir kalimat.
“Kalau aku bilang, selama ini aku nggak pernah benar-benar bisa lupa sama Ibu… Ibu bakal marah nggak?” tanyaku gugup di akhir kalimat.
Ada jeda panjang di ujung sana. Lalu suara napas pelan terdengar.
“Dimas…” katanya lembut di akhir kalimat. “Ada hal-hal yang dulu tak bisa diucapkan karena waktu belum tepat.” ucapnya lirih di akhir kalimat.
“Dan sekarang?” tanyaku cepat di akhir kalimat.
“Sekarang, mungkin waktunya sudah berubah,” jawabnya pelan di akhir kalimat.
*****
Tiga bulan kemudian, aku melangkah ke rumahnya — bukan lagi sebagai murid, tapi sebagai seorang pria yang siap melamar wanita yang dulu mengajarkanku makna kata dan hati.
Pak Seno, rekan guru yang dulu sering menggoda Bu Lukmini, hadir di acara kecil itu. Ia tertawa sambil menepuk bahuku.
“Akhirnya muridku jadi suami gurunya sendiri,” katanya dengan nada bercanda di akhir kalimat.
Aku tertawa gugup. “Mungkin memang takdirnya begitu, Pak,” jawabku di akhir kalimat.
Dan di tengah suasana hangat itu, Bu Lukmini — kini Lukmini, istriku — menatapku dengan senyum yang sama seperti dulu.
“Lihat?” katanya lembut di akhir kalimat. “Kamu dulu belajar Bahasa Indonesia dariku. Sekarang, kamu ngajarkanku arti kata cinta.” ucapnya di akhir kalimat.
Aku terdiam, memandangnya lama.
Kadang cinta datang bukan di waktu yang kita mau, tapi di waktu yang paling tepat.
Dan ketika bel sekolah sudah lama berhenti berdentang, kisah baru kami justru baru dimulai.