Kala Cinta Menyepi
Cerpen Naila
Pagi itu matahari Sumenep menembus kaca jendela rumah sederhana di bilangan Bangselok. Di meja makan, aroma kopi robusta Madura bercampur dengan wangi roti bakar dan suara jam dinding yang berdetak malas. Laila duduk diam, menatap sendok di tangannya. Sementara Angga di seberang sana, sibuk membaca berita di ponselnya — atau mungkin berpura-pura sibuk, hanya agar tak perlu bicara.
Sepuluh tahun sudah mereka hidup bersama. Dua anak mereka — Rafi, 8 tahun, dan Nadya, 5 tahun — sedang asyik bermain lego di ruang tengah. Dari luar, rumah tangga mereka tampak sempurna: rumah yang tertata rapi, dua kendaraan di garasi, pekerjaan tetap, bahkan ada ART yang membantu urusan rumah. Namun di dalamnya, udara terasa beku.
Tiga tahun terakhir, cinta yang dulu hangat perlahan berubah menjadi rutinitas yang dingin.
Bukan karena kekurangan uang, bukan pula karena orang ketiga. Masalah mereka sederhana — tapi mematikan: ego.
*****
Sejak Rafi lahir, Laila berhenti sejenak dari pekerjaannya sebagai perawat untuk fokus pada anak. Namun setelah Nadya masuk TK, ia kembali bekerja di klinik swasta. Jadwalnya sering padat, pulang malam, dan energi tersisa hanya untuk rebahan. Sementara Angga, pegawai negeri di dinas perhubungan, juga pulang sore dengan pikiran penat dan hati yang sering tak sabar.
“Kalau kamu tahu aku capek, kenapa gak bantu nyiapin makan malam, Ga?”
“Aku juga capek, Lai. Capek kerja, bukan capek nyari masalah.”
Begitulah percakapan mereka — cepat, singkat, dan tajam seperti pisau. Tak ada yang mau mengalah. Masalah kecil seperti siapa yang menjemput anak, siapa yang menaruh handuk basah di kasur, sampai siapa yang lupa bayar tagihan listrik, bisa berubah menjadi perdebatan panjang.
Laila merasa Angga tak lagi peka. Angga merasa Laila terlalu menuntut.
Kadang mereka tidur di kamar yang sama tapi membelakangi. Kadang pula salah satu pindah ke kamar tamu dengan alasan "biar gak ganggu". Namun diam-diam, keduanya sama-sama kehilangan sesuatu — kehangatan.
*****
Di kantor, Angga mulai sering curhat pada Rendra, rekan satu divisi yang sudah lebih dulu menikah dan punya tiga anak.
“Kadang aku mikir, mungkin lebih baik sendiri aja,” ucap Angga suatu siang saat mereka makan di warung langganan dekat alun-alun.
Rendra menatapnya, tersenyum pahit. “Kamu pikir sendiri itu solusi? Aku pernah di fase itu, Ga. Tapi yang aku sadar, bukan istri yang salah, bukan aku juga. Kami cuma lupa... cara bicara.”
Angga diam. Kata-kata itu menamparnya pelan.
“Kalau semua mau menang sendiri, yang kalah nanti ya rumah tangga kalian,” lanjut Rendra. “Coba dulu belajar dengar, bukan jawab.”
Sementara di sisi lain, Laila juga sering mengeluh pada sahabatnya, Maya, teman semasa kuliah yang kini jadi guru di Sumenep.
“Aku kadang pengen pergi aja, May. Aku capek berjuang sendirian. Dia tuh gak pernah ngerti aku.”
Maya hanya memeluknya sebentar. “Lai, kamu tahu gak, semua perempuan yang menikah pernah ngerasa kayak gitu. Tapi bedanya, yang kuat itu yang mau duduk dan bicara lagi, bukan yang pergi.”
Laila menunduk, matanya basah. Dalam hati, ia tahu Maya benar. Tapi gengsi dan lelah sering menutup logika.
*****
Puncaknya terjadi malam itu. Sebuah malam di bulan Agustus, saat hujan turun pelan membasahi genting rumah mereka. Nadya demam tinggi, dan Laila panik karena suhu anaknya tak kunjung turun. Ia menelepon Angga yang sedang lembur di kantor.
“Ga, Nadya panas banget, bisa pulang gak?”
“Lagi rapat penting, Lai. Kamu kan bisa bawa ke klinik.”
“Rapat penting terus, anak sendiri gak penting?”
Telepon ditutup dengan nada tinggi. Saat Angga akhirnya pulang hampir jam sepuluh malam, Laila masih menangis di samping tempat tidur Nadya. Obat sudah diberikan, tapi amarah di dadanya belum reda.
“Harusnya kamu pulang, Ga. Aku butuh kamu!”
“Aku gak bisa ninggalin kerjaan begitu aja!”
“Kerjaan terus alasanmu. Aku udah gak tahu lagi buat apa kamu di rumah ini!”
Kata-kata itu seperti peluru. Angga menatapnya lama, lalu berkata dengan suara bergetar,
“Kalau kamu udah capek sama aku, bilang aja.”
Laila terdiam. Ada air mata di sudut matanya, tapi gengsi menahannya bicara. Malam itu mereka tidur di kamar terpisah.
*****
Beberapa hari berikutnya, rumah itu terasa asing. Laila sibuk dengan anak dan kerja, Angga banyak diam. Mereka jarang sarapan bareng. ART mereka, Mbak Rini, bahkan bisa merasakan ketegangan di udara.
“Bapak sama Ibu kayaknya banyak pikiran ya?” katanya hati-hati suatu pagi.
Angga tersenyum tipis. “Namanya juga rumah tangga, Rin. Kadang cerah, kadang mendung.”
Tapi di dalam hati, ia tahu hujan ini sudah terlalu lama.
Suatu sore di kantor, Angga tak sengaja menemukan secarik kertas kecil di dompetnya. Kertas itu adalah tulisan Laila, entah sudah berapa tahun terselip di sana:
“Terima kasih sudah jadi rumah untukku, Angga. Janji ya, jangan pernah berhenti jadi sahabatku.”
Angga menatap tulisan itu lama, lalu menarik napas dalam. Dalam diam, ia sadar — mungkin selama ini ia terlalu sibuk membuktikan diri benar, hingga lupa menjadi teman bagi istrinya sendiri.
*****
Dua minggu setelah itu, Angga memutuskan sesuatu. Ia mengajukan cuti tiga hari tanpa memberi tahu Laila.
Pagi Jumat, ia menjemput Laila ke tempat kerja.
“Loh, kamu ngapain di sini?” tanya Laila terkejut.
“Aku culik kamu hari ini,” jawab Angga dengan senyum tipis.
Laila bingung, tapi akhirnya ikut. Mereka naik motor menuju pantai Slopeng, salah satu tempat yang dulu sering mereka kunjungi saat masih pacaran.
Suasana masih sepi. Ombak tenang, langit biru muda. Mereka duduk di tepi pasir, membiarkan angin laut meniup rambut dan emosi yang menumpuk.
“Kenapa ke sini?” tanya Laila pelan.
“Karena aku rindu kita yang dulu,” jawab Angga.
Laila menatap laut, matanya berair. “Aku juga rindu. Tapi semua berubah, Ga. Kita bukan anak muda lagi.”
“Aku tahu,” kata Angga lembut. “Tapi aku lupa, cinta gak harus selalu muda. Cinta cuma butuh diingat.”
Hening beberapa detik. Suara ombak seakan jadi saksi.
“Aku juga salah, Ga,” bisik Laila. “Aku sering ngungkit, nyalahin kamu. Padahal mungkin aku cuma pengen diperhatiin.”
Angga memegang tangannya. “Aku juga salah. Aku pikir diam itu solusi, padahal malah bikin kamu ngerasa sendirian.”
Di pantai itu, mereka bicara lama — tanpa marah, tanpa tuding. Hanya dua orang yang akhirnya belajar lagi cara mendengar.
*****
Sejak hari itu, perlahan rumah mereka berubah. Bukan seketika — tapi pelan, dengan kesadaran baru.
Mereka mulai kembali makan pagi bersama, meski hanya roti dan teh. Kadang masih ada debat kecil, tapi lebih banyak tawa. Angga belajar memeluk tanpa alasan. Laila belajar menahan lidah ketika emosi datang.
Rafi dan Nadya mulai sering melihat orang tuanya tertawa lagi.
Suatu malam, ketika anak-anak sudah tidur, Laila menatap Angga yang sedang membaca di sofa.
“Kamu masih simpan kertas itu?” tanyanya.
Angga tersenyum. “Yang kamu tulis sepuluh tahun lalu? Aku gak pernah buang.”
“Kenapa?”
“Karena aku masih pengen jadi rumah buat kamu.”
Laila memeluknya pelan.
“Terima kasih udah gak nyerah, Ga.”
“Terima kasih udah mau balik lagi, Lai.”
*****
Cinta, ternyata, bukan tentang siapa yang paling benar. Tapi siapa yang paling mau memperbaiki.
Angga dan Laila kini tahu: rumah tangga tak selalu hangat, tapi harus selalu punya ruang untuk berteduh. Bahwa bertahan bukan karena tidak bisa pergi, tapi karena sadar — tidak ada tempat yang benar-benar sama dengan pelukan seseorang yang pernah kita pilih sepuluh tahun lalu.
Di bawah langit senja Sumenep, di antara aroma garam laut dan angin yang lembut, dua hati itu akhirnya belajar hal paling penting dalam pernikahan: kadang cinta bukan soal menemukan orang yang sempurna, tapi menyempurnakan cinta dengan cara yang sederhana.
Pilihan





