Mengembalikan Ruh Seni di Sekolah

Ilustrasi: sebuah panggung pertunjukan kesenian
Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, dunia pendidikan Indonesia menghadapi berbagai tantangan untuk menjaga keseimbangan antara penguasaan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter. Dalam konteks inilah pendidikan seni memiliki peran yang sangat penting.

Namun sayangnya, pelajaran kesenian di sekolah—baik di tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi—sering kali masih dipandang sebelah mata. Ia dianggap sebagai pelengkap, pelarian dari kejenuhan belajar, atau sekadar kegiatan hiburan menjelang acara sekolah. Padahal, seni adalah bahasa universal yang membentuk manusia menjadi makhluk yang utuh, berbudaya, dan berperasaan.

Kesenian dan Esensinya dalam Pendidikan

Seni tidak hanya berbicara tentang menggambar, bernyanyi, menari, atau memainkan alat musik. Seni adalah ekspresi manusia terhadap kehidupan, nilai, dan pengalaman. Di dalamnya terdapat latihan berpikir kreatif, berimajinasi, serta kepekaan terhadap keindahan dan harmoni. Dalam pendidikan, seni berfungsi menumbuhkan kesadaran estetis sekaligus moral. Anak yang dibiasakan berinteraksi dengan seni cenderung memiliki empati, toleransi, dan kemampuan berkomunikasi yang lebih baik.

Dalam konteks psikologis, pendidikan seni berperan besar dalam mengembangkan kecerdasan jamak (multiple intelligences), terutama kecerdasan kinestetik, musikal, visual-spasial, dan intrapersonal. Melalui seni, siswa tidak hanya belajar tentang teknik, tetapi juga belajar tentang diri sendiri, lingkungan, dan masyarakat. Pendidikan seni membantu membentuk manusia seutuhnya—tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga peka secara emosional dan sosial.

Pendidikan Seni di Indonesia: Antara Ideal dan Realitas

Secara formal, pendidikan seni telah tercantum dalam kurikulum nasional Indonesia sejak lama. Dalam Kurikulum Merdeka yang diterapkan saat ini, pendidikan seni masuk dalam rumpun "Seni dan Budaya". Di sekolah dasar, seni biasanya diajarkan sebagai bagian dari pembelajaran tematik, mencakup seni rupa, musik, tari, dan drama. Di jenjang SMP dan SMA, seni menjadi mata pelajaran tersendiri, bahkan di beberapa sekolah menengah kejuruan (SMK) terdapat program keahlian seni pertunjukan, seni musik, dan seni rupa.

Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari harapan. Banyak sekolah, terutama di daerah, tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk mendukung pembelajaran seni. Ruang praktik tari atau musik sering kali tidak tersedia. Alat musik yang ada mungkin sudah rusak atau tidak lengkap. Media untuk seni rupa, seperti cat, kuas, dan kanvas, sering harus dibawa sendiri oleh siswa. Akibatnya, pembelajaran seni lebih banyak berlangsung secara teoritis daripada praktik, padahal esensi seni justru ada pada pengalaman langsung dan ekspresi diri.

Kesenjangan Antarjenjang dan Antardaerah

Kesenjangan kualitas pendidikan seni terlihat jelas antarjenjang pendidikan maupun antardaerah. Di kota-kota besar, beberapa sekolah swasta dan negeri unggulan memiliki program seni yang kuat, bahkan melibatkan kolaborasi dengan seniman profesional. Di sisi lain, sekolah-sekolah di daerah terpencil sering tidak memiliki guru seni sama sekali. Guru kelas terpaksa mengajar mata pelajaran seni meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan seni.

Di tingkat menengah, pembelajaran seni sering terpinggirkan karena orientasi pendidikan yang lebih akademik. Siswa SMA dituntut fokus pada pelajaran yang diujikan dalam seleksi masuk perguruan tinggi seperti matematika, bahasa Indonesia, dan sains. Akibatnya, jam pelajaran seni berkurang drastis atau bahkan dihapuskan secara informal dengan alasan efisiensi waktu belajar. Di perguruan tinggi, pendidikan seni hanya dikelola oleh jurusan atau fakultas tertentu dan belum menjadi bagian dari pengalaman belajar umum mahasiswa.

Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa seni masih belum dipahami sebagai bagian integral dari pembentukan manusia berkarakter. Paradigma pendidikan yang terlalu menekankan hasil akademik membuat seni kehilangan ruangnya dalam sistem pendidikan nasional.

Guru Seni: Garda Depan yang Terlupakan

Guru seni adalah elemen kunci dalam menjaga hidupnya pendidikan seni di sekolah. Namun, di lapangan, banyak guru seni menghadapi tantangan berat. Sebagian besar tidak mendapatkan pelatihan berkelanjutan yang memadai, dan sebagian lainnya bahkan bukan lulusan pendidikan seni. Dalam situasi tertentu, guru non-seni ditugaskan mengajar mata pelajaran seni hanya karena kebutuhan administrasi, bukan kompetensi.

Kondisi ini menyebabkan proses pembelajaran seni di kelas menjadi minim inovasi. Kegiatan seni yang seharusnya menyenangkan dan membebaskan ekspresi sering berubah menjadi kegiatan mekanis: menggambar sesuai contoh, menyanyi lagu wajib, atau menari dengan koreografi yang dihafalkan tanpa pemahaman makna. Padahal, guru seni yang terlatih dapat menciptakan pengalaman belajar yang mendalam—mengajarkan teknik sekaligus menanamkan nilai estetika dan budaya.

Kebijakan dan Realitas: Seni yang Masih Tersisih

Dari sisi kebijakan, pemerintah sebenarnya telah memberikan tempat bagi pendidikan seni. Dalam berbagai regulasi, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Kurikulum Merdeka, seni disebutkan sebagai bagian penting dari kompetensi dasar peserta didik. Namun, implementasinya sering tidak berjalan efektif karena tidak diikuti oleh kebijakan pendukung seperti alokasi dana, peningkatan kapasitas guru, dan evaluasi yang sesuai dengan karakter seni.

Evaluasi pembelajaran seni juga masih menjadi persoalan. Banyak sekolah menilai seni seperti mata pelajaran akademik lain—dengan ujian tertulis dan skor angka. Padahal, seni tidak dapat diukur hanya dengan jawaban benar-salah. Penilaian seni seharusnya bersifat kualitatif, menilai proses, kreativitas, dan ekspresi. Sistem penilaian yang kaku justru menghambat siswa untuk bereksperimen dan mengekspresikan diri.

Dampak Marginalisasi Seni terhadap Perkembangan Anak dan Budaya

Marginalisasi seni dalam pendidikan tidak hanya berdampak pada kualitas pembelajaran, tetapi juga terhadap perkembangan pribadi anak dan pelestarian budaya bangsa. Anak yang tumbuh tanpa pendidikan seni akan kehilangan ruang untuk mengenal dan mengekspresikan emosi secara sehat. Mereka mungkin pandai berhitung atau menulis, tetapi kurang empati dan imajinasi.

Lebih jauh, pendidikan seni juga berperan penting dalam menjaga keberlangsungan kebudayaan lokal. Melalui seni tradisi seperti tari daerah, musik gamelan, atau batik, anak-anak belajar mengenal identitas bangsa. Tanpa pendidikan seni yang kuat, tradisi ini bisa hilang ditelan budaya populer yang datang dari luar. Sekolah seharusnya menjadi benteng yang menanamkan kebanggaan terhadap seni dan budaya lokal, bukan sekadar tempat mengejar nilai akademik.

Peran Orang Tua dan Masyarakat

Persepsi masyarakat terhadap seni juga turut memengaruhi posisinya di sekolah. Banyak orang tua yang masih menganggap pelajaran seni tidak penting karena tidak “menentukan masa depan”. Mereka lebih mendorong anak untuk unggul di bidang yang dianggap menjanjikan secara ekonomi, seperti matematika, sains, atau teknologi. Padahal, dunia kerja modern justru membutuhkan individu kreatif yang mampu berpikir out of the box—kemampuan yang justru diasah melalui seni.

Masyarakat juga perlu dilibatkan dalam upaya memperkuat pendidikan seni. Kolaborasi antara sekolah dan komunitas seni dapat membuka ruang bagi siswa untuk belajar langsung dari praktisi. Pertunjukan seni lokal, pameran karya siswa, atau program residensi seniman di sekolah bisa menjadi sarana interaksi nyata antara dunia pendidikan dan dunia kesenian.

Pendidikan Seni di Era Digital

Era digital membawa tantangan sekaligus peluang bagi pendidikan seni. Di satu sisi, kemajuan teknologi membuat anak-anak lebih dekat dengan budaya visual dan audio digital, namun di sisi lain, interaksi langsung dengan seni tradisional semakin berkurang. Aplikasi musik, desain grafis, dan animasi kini membuka jalan baru bagi ekspresi artistik. Guru seni dapat memanfaatkan teknologi ini untuk menarik minat siswa, misalnya dengan mengajarkan pembuatan musik digital, desain poster, atau film pendek.

Namun, transformasi digital tidak boleh membuat pendidikan seni kehilangan nilai dasarnya: humanisme. Seni bukan hanya tentang alat atau media, tetapi tentang perasaan, pengalaman, dan hubungan manusia. Karena itu, pendidikan seni di era modern harus mampu menyeimbangkan antara keterampilan teknologis dan kepekaan batin.

Menghidupkan Kembali Ruh Seni di Sekolah

Pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama adalah: siapa yang bertanggung jawab agar kesenian di sekolah mendapat tempat yang layak? Jawabannya, semua pihak. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan yang berpihak pada pendidikan seni dengan memberikan dukungan nyata: kurikulum yang relevan, pelatihan guru, dan fasilitas memadai. Sekolah harus menempatkan seni sejajar dengan mata pelajaran lain, bukan sekadar sisipan dalam acara seremonial.

Guru harus diberi ruang untuk berinovasi dan berkolaborasi dengan komunitas seni. Orang tua perlu mengubah cara pandang terhadap seni sebagai bagian penting dari pendidikan anak. Dan masyarakat luas, terutama para pelaku seni, bisa menjadi mitra aktif dalam mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia kreatif.

Menghidupkan kembali pendidikan seni berarti menghidupkan kembali rasa kemanusiaan dalam pendidikan. Seni mengajarkan anak-anak untuk berpikir, merasa, dan berempati. Ia menumbuhkan kesadaran bahwa keindahan bisa ditemukan dalam kerja keras, bahwa perbedaan adalah sumber inspirasi, bukan ancaman.

Jika sekolah hanya berfokus pada angka dan ujian, kita mungkin akan menghasilkan generasi pintar, tetapi kering jiwa. Sebaliknya, jika seni mendapat ruang yang semestinya, sekolah akan menjadi tempat di mana ilmu dan rasa tumbuh bersama—membentuk manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berbudaya.

Akhiran

Seni adalah jantung kebudayaan, dan pendidikan adalah nadi peradaban. Bila keduanya tidak berjalan beriringan, maka generasi yang lahir akan kehilangan arah dalam memahami makna kehidupan. Kesenian di sekolah bukanlah pelengkap, melainkan fondasi pembentukan manusia yang seimbang antara logika dan rasa.

Kini saatnya pendidikan Indonesia menempatkan seni bukan di pinggiran, melainkan di pusat proses belajar. Dengan membangun sistem pendidikan seni yang kuat, melatih guru yang kompeten, menyediakan fasilitas memadai, dan mengubah paradigma masyarakat, kita tidak hanya menyelamatkan pelajaran seni—kita sedang menjaga warisan budaya, membangun karakter bangsa, dan menyiapkan generasi masa depan yang lebih berperasaan, kreatif, dan manusiawi.

(Rulis) 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 4850424338440122205

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA

LOMBA BACA PUISI BAHASA MADURA
Info selengkapnya, klik gambar

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close