Dumung Entong
Cerpen Lilik Soebari
Mata tajam Aryo menatap titik-titik hitam di angkasa yang semakin lama semakin dekat jaraknya dengan dirinya.
Aryo menepuk pundak Mahesa dan menyuruhnya berhenti. Mahesa tercengang, begitu mesin motor dimatikan, Aryo sudah menghilang entah kemana.
Dari ketinggian mata tajam Barong menatap sosok Aryo yang melesat secepat angin menuju arah timur.
Barong dan timnya pun berbelok ke arah timur dan menjejakkan kaki di Billa Tompo', area bukit yang cukup tinggi di perbatasan desa Glugur dan Matana Air.
Aryo berdiri kokoh, rambutnya yang panjang berkibar tertera angin.
" Hahaha, kau tidak bisa lari lagi, hari ini riwayat mu tamat," Tawa Barong memenuhi udara.
Aryo menajamkan seluruh indranya dan mencoba sepertinya tidak asing dengan sosok ini.
"Kau, Dumung Entong?"
"Matamu tajam juga." Barong terbahak-bahak.
Kemudian tanpa dikomando, Barong dan komplotannya menyerang dari semua arah
Saat Aryo menjentikkan jari ke udara, angin bergemuruh, berputar cepat menghalangi kelebat kepak kelelawar. Barong mencicit dan melesat ke atas. Tubuhnya yang kecil meliuk-liuk dan menampakkan bentuk asli.
"Dasar bunglon, " maki Aryo.
"Kali ini kau tidak akan lolos." Seringai Barong
Saat Barong dan komplotannya menyerang kembali, Aryo menjejakkan kaki dan tubuhnya berputar cepat seperti gasing. Akibat putarannya yang semakin cepat angin yang terbentuk menjadi pusaran.
Jeritan memilukan memenuhi angkasa disertai daging dan tulang beterbangan.
Barong segera mengubah dirinya menjadi ular berkepala besar. Ada dua tanduk bertengger di atas kepala dan dari mulutnya menyemburkan api.
Dengan ganas Barong menyerang kembali dan berusaha melilit tubuh Aryo kuat-kuat. Tawa Aryo menggema saat tubuhnya berubah semakin besar dan Barong tidak mampu menahannya.
Tubuh Barong berderak, sebagian tulang-tulangnya patah.
"Kurang ajar, bangsat...., rasakan ini," tanduk Barong mengepulkan asap hitam. Di saat terdesak dan akan kalah racun andalannya adalah satu-satunya sang penyelamat.
"Hahahaha...," tawa Aryo bergema dan memantul ke semua penjuru.
"Bangsat...," Barong mengeluarkan umpatan karena konsentrasinya pecah. Tawa Aryo menusuk-nusuk gendang telinga dan menimbulkan sakit tiada tara.
"Rasakan ini," teriak Aryo disertai tusukan jari menembus dada. Barong menggelepar.
"Siapa Tuan-mu? " Hardik Aryo.
Nafas Barong terengah-engah, namun begitu tangannya secepat kilat berusaha memasukkan butiran putih ke mulutnya.
"Tanyakan pada raja akhirat," teriak Barong.
Aryo tertawa dan butiran putih itu perlahan menguap.
"Ampuun, ampuni aku. Aku mengaku kalah." Barong kembali ke wujud asli menggelepar di tanah.
"Tes..., tes..., " tangan Aryo menotok leher Barong kemudian mengangkatnya sebelum Barong berubah wujud lagi.
"Ampuni aku," suara lirih Barong mengiba.
"Kau makhluk culas dan tidak bisa dipercaya," ujar Aryo seraya menatap manik mata Barong dan menyerap semua informasi dalam pikirannya.
Barong berteriak histeris karena merasakan sakit tiada terkira di kepalanya.
Tiga menit berlalu, Aryo berhasil menguras semua informasi tentang Barong
"Siapa Durga?" Tanya Aryo penasaran.
"Akan aku beritahu semuanya, tapi tolong ampuni aku," Barong memberikan syarat supaya Aryo mengampuninya karena dia tidak bisa lagi menyembunyikan rahasianya.
"Katakan semuanya tanpa sisa, baru aku memutuskan apakah bisa mengampunimu atau tidak."
"Aku bukan bagian dari Tayo Dara," cerita Barong lugas. "Aku mendapat tugas khusus dari Ratu Durga untuk membunuhmu kalau tidak bisa membawamu hidup-hidup."
"Ratu Durga, siapa dia? Aku baru mendengar namanya."
"Beliau bersemayam di lereng Argopuro, kawasan sungai Dlubang."
Aryo berusaha mengingat tempat yang disampaikan Barong, lalu muncul senyum mengejek di bibirnya.
"Dia tidak tahu kau seekor ular dari daratan timur?" Aryo memastikan informasi samar-samar yang diketahui saat menyerap isi kepala Barong.
"Kau mengetahuinya?" Barong terkejut karena selama ratusan tahun tak ada satu pun sosok yang berhasil mendeteksi dari mana dia berasal, termasuk ratu Durga.
"Kau tidak akan bisa menyembunyikan apapun dari aku," tegas Aryo.
"Lanjutkan ceritamu|"
"Ratu Surga mempunyai ambisi membangun kerajaan dedemit dan menaklukkan semua tokoh untuk menjadi pengikutnya." Urai Barong.
"Aku bersedia bergabung dengannya karena ratu berjanji padaku akan menurunkan ilmunya padaku dengan syarat kau kutangkap hidup-hidup, kalau tidak bisa aku harus melumpuhkan mu dengan injeksi racun," urai Barong panjang lebar.
"Mengapa dia menargetkan ku?"
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya kau akan dijadikan calon ayah bayinya."
"Maksudmu aku akan dijadikan pengantinnya?" Tafsir Aryo seraya terkekeh.
"Analisa itu disampaikan oleh peramal, detailnya aku tidak paham."
"Hmm... "
"Aku sudah menyampaikan semuanya, tolong ampuni aku," Barong menjatuhkan tubuhnya lalu menyembah Aryo.
"Berdirilah, aku bukan Tuhan."
Barong kembali menegakkan tubuh hitamnya. "Aku bersedia menjadi budakmu."
Aryo kembali menatap manik mata Barong dan melihat kesungguhan yang terpancar di bola mata merah.
"Aku berjanji akan taat dan patuh padamu dan meninggalkan kejahatan yang selama ini kulakukan," sumpah Barong.
"Itu keputusanmu sendiri," Aryo menjentikkan jari di pelipis Barong meninggalkan tanda titik putih.
"Terimakasih, tuan," Barong menjura pada Aryo.
"Aku bukan tuanmu, panggil saja Aryo."
Dalam sekejap tubuh Aryo telah hilang dari pandangan Barong.
Kini hanya tinggal Barong menatap sekeliling penuh kesedihan melihat serpihan hitam yang bertebaran.
Serpihan-serpihan itu adalah tubuh saudara-saudaranya dari dataran timur dan telah ratusan tahun mengikutinya penuh kesetiaan.
Penuh kasih sayang dan mata berlinang Barong memungut serpihan-serpihan itu dan memasukkannya dalam kantong putih. Kelak ia akan menguburkannya di lereng Welirang tempat pertama yang disinggahi setelah terusir dari daratan timur.
Secara samar telinganya mendengar suara Aryo, " Kalau urusan sudah selesai aku akan membantumu merebut kembali tahtamu."
Pilihan




