Pasien Terakhir


Cerpen:  Lilik Soebari

Tiga jam lebih Harto menunggu giliran, setiap kali ada pasien yang keluar dari pintu berwarna coklat kusam dia berharap namanya dipanggil. 

"Mas, bisakah saya tukar nomor?" Harto berusaha menego beberapa pasien yang kelihatan masih segar dan asyik bercengkrama. Tak ada satu pun menanggapi. Begitu pula dengan perawat penjaga untuk meminta sedikit belas kasih mau menukarkan nomor antrian. Usaha Harto sia-sia, akhirnya Harto kembali ke bangku pojok  lalu memangku Asti, putri semata wayangnya. 

Wajah Astri semakin memucat, nafasnya tersengal-sengal  dan ada bunyi ngiiikk ..., ngiiik di setiap helaan saat meraup udara. Harto semakin mengeratkan pelukan. 

"Sabar ya sayang," Harto menciumi ubun-ubun Astri dengan hati remuk. Air matanya menitik, membasahi jilbab Astri. 

Astri hanya bisa tengadah dan menatap wajah sang Ayah, lalu menghapus gemili bening  yang menetes dengan tangannya yang kurus. 

"Jangan menangis, Ayah. Anak gadismu ini akan sekuat Drupadi," seloroh Astri tersenyum. 

Harto tertawa mendengar candaan Astri karena dalam satu sisi Astri mengidolakan tokoh Drupadi yang bersuamikan para Pandawa. Kekuatan fisik dan batin Drupadi yang menginspirasi Astri. Meski sering diingatkan bahwa itu tokoh pewayangan yang tidak patut dijadikan panutan, derai tawa Astri selalu menjadi jawabannya. 

Harto kembali memeluk tubuh anak gadisnya yang kini hanya terbungkus daging tipis. Tulang-tulangnya makin menonjol dan sangat kentara sekali di area wajah. Wajahnya yang tirus kelihatan semakin tua. 

Secara perlahan tuberkulosis menggerogoti tubuh Astri yang dulu padat berisi menjadi tengkorak hidup. 

Sejak divonis TBC, sebagian keluarga besar dan tetangganya menjauhi mereka. 

Harto maklum dan tidak sakit hati karena imemang benar adanya, penyakit tuberkulosis menular. 

Pengobatan pun dilakukan sejak dua tahun silam. Dari minum obat dengan jangka panjang ssmpai pengobatan alternatif. 

Kondisi Astri semakin membaik, namun entah kenapa sejak enam bulan terakhir batuknya kambuh lagi. Dan ini lebih parah dari saat sakit yang pertama. 

"Ayah, ayo pulang," rintih Astri mengagetkan lamunsn Harto. Tubuh Astri tiba-tiba  menggigil. 

"Sabarlah  Nak. Sebentar lagi," tukas Harto seraya menghitung jumlah pasien yang tinggal beberapa orang, dan nomor antriannya tinggal dua nomor. 

Suasana semakin hening karena para pasien yang membludak kini tinggal sedikit sudah. 

"Pulang, Ayah," pinta Astri kembali seraya merintih. 

"Sabarlah, Nak. Sebentar lagi giliran kita," ujar Harto menguatkan Astri yang terlihat semakin lemah. 

Sembari memeluk tubuh anaknya, pikiran Harto mengembara ke masa saat-saat menjalani hal yang sama. Wulan, ibu dari Astri menjalani pengobatan hampir setahun. Batuk rejannya bukan hanya memuntahkan darah segar tapi juga belatung-belatung berwarna putih. 

Sampai akhirnya nyawa Wulan tak tertolong meski sudah dimaksimalkan berobat secara medis, pengobatan herbal dan supranatural. 

Dan saat ini Harto mengalami hal yang sama. 

Demi kesembuhan Astri, tubuhnya yang semakin renta tidak dipedulikannya. Penuh kessbaran, Harto  menemani berobat ke rumah sakit dsn hampir setengah hari mengantri Bahkan untuk menghemat pengeluarsn, Harto meramu sendiri bahan-bahan herbal  yang ia peroleh dari salah satu tabib untuk menghentikan batuk Astri yang semakin parah. 

Meski hasilnya belum  menampakan kesembuhan total. Ini tampak dari badan Astri semakin ringkih akibat batuk yang terus-menerus mendera. 

Vonis dokter spesialis paru-paru bahwa Asti menderita sakit TBC, dan sudah menyerang  seluruh organ paru-parunya. Menurut dokter sudah kronis dsn akut. 

Meski menghadapi  cobaan yang sangat berat, batin Harto semakin kuat dan tidak ingin terlihat lemah di mata sang anak. 

Harto paham bahwa usahanya menyelamatkan nyawa Astri akan tetap sia-sia. Penjelasan dokter spesialis paru-paru saat terakhir mereka berkunjung memberikan gambaran yang gamblang bahwa penyakit telah menyebar di bagian organ tubuh lainnya. 

"Itukan hanya praduga Anda, dokter," kukuhnya. Karena Harto yakin akan ada satu mukjizat bagi Astri. 

Dokter hanya bisa menatap haru akan kekukuhan hati Harto. 

"Astri Wulandari," panggilan perawat menghentakkan lamunan Harto. 

Harto memapah tubuh Asti dan membaringkannya di dipan, tempat pasien di periksa. 

Selintas Harto melirik dokter yang masih sibuk mencatat pada lembaran-lembaran kertas di atas meja kecil di pojok ruangan. 

Saat hendak beranjak memeriksa Astri, dering telpon di meja menyurutkan langkah kaki dokter Akbar. 

Tak betapa lama, muncul dua orang berbadan tegap menemui dokter Akbar. 

"Malam, dokter." 

"Malam, silahkan duduk," dokter Akbar menarik kursi dan mempersilahkan tamunya untuk duduk. 

"Tidak usah dok, kami terburu-buru. Bapak meminta kami menjemput dokter saat ini juga. Kondisi Ibu mengkhawatirkan." 

Hati Harto mencelos, saat dokter Akbar bergegas mengikuti langkah kedua penjemputnya. Lamat- lamat terdengar suara pesan dokter pada perawat supaya pasien tetap menunggunya. 

Tak ada yang bisa dilakukan Harto selain menunggui Astri yang terbaring lemah. Sembari menggenggam tangan Astri,  Harto menyenandungkan sholawat Munjiyat, 

"Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammadin Shalatan Tunjina Niha min Jami'il Ahwali Wal Afat." 

Mata Astri terpejam menikmati alunan merdu suara bapaknya menyenandungkan sholawat serta elusan hangat tangannya. 

Mata Astri tiba-tiba terbuka dan terpaku menatap tembok ruangan. Harto mengikuti pandangan Astri  dan merasa sangat heran saat anaknya tertawa serta wajahnya penuh dengan senyum. 

Sesaat kemudian Astri kembali terbatuk-batuk. Nafasnya kembali tersengal-sengal dan megap-megap. 

Harto berteriak ketika dari sudut bibir Asti mengalir darah kental kehitaman. 

Perawat jagapun ikut panik, tidak bisa berbuat apapun dan hanya berdiri terpaku. 

"Telpon dokter," teriak Harto. 

Laki- laki itu bergeming. 

"Tolong, telponkan dokter,"  pinta Harto dengan suara memelas. 

"Maaf, saya tidak berani." 
"Tolonglah Pak, anak saya sekarat" 

"Maaf, dokter tadi dijemput oleh asisten bupati. Yang saya dengar tadi Ibu Bupati jatuh karena kelelahan. Katanya, istri bupati itu sedang hamil." Jelas perawat. 

Harto menggeram menaham kemarahan yang meledak-ledak di dada. 

Satu jam telah berlalu, dokter Akhar belum juga muncul. Sementara itu kondisi Astri semakin memburuk. Batuknya berkepanjangan memecah keheningan malam. 

Harto yang semula panik dan marah kini mulai bisa mengendalikan diri. Dengan suara lirih dia berbisik melafazkan kalimat tauhid, 

Suasana menjadi hening dan syahdu, hannya suara lafadz tauhid mengambang di keheningan, "Asyhadu allaa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah." 

Suara Asti terdengar lirih mengikuti tuntunan sang Ayah, sampai skhirnya terdengar dengkur halus Astri. 

Harto tersedu menahan tangis yang akan tumpah matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang menusuk di dada, rasa sedih, tidak berdaya dan amarah yang memuncak. 

Sampai akhirnya dokter Akbar datang tergopoh-gopoh dan langsung memeriksa Astri. Terlihat tangan dokter gemetar saat membuka kelopak mata, lalu menekan pergelangan tangan berkali-kali. Mata dokter Akbar terpejam, lalu menatap Harto yang duduk di tepi pembaringan. 

"Maaf beribu maaf, putri Anda sudah  ...." 

Belum selesai dengan kalimat yang akan diucapkannya, mata dokter Akbar terbelalak dan refleks melompat mundur. Namun semua telah terlambat karena sebuah gunting telah tertancap di rongga perut, dan sebelum terkapar dokter itu masih mendengar ucapan Harto. 

"Anak saya sudah meninggal setengah jam yang lalu dokter. Kalau saja dokter lebih mementingkan anak saya ysng sekarat kemungkinan dia masih bisa tertolong." 


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 2770775276752539241

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close