5 Pentigraf Tika Suhartatik


Pentigrafis: Tika Suhartatik


Bersyukur Gigi Hilang

 Anak itu kupanggil Alan. Salah satu mahasiswaku yang mendapatkan beasiswa bidik misi. Dia anak yang periang dan mudah bergaul dengan siapa saja. Ayahnya sudah lama tiada, kini ia hanya tinggal bersama adik dan ibunya. Rumahnya berada tepat di tengah sawah di desa terpencil. Jarak rumah dengan tetangga di sekitarnya cukup jauh, sehingga seakan-akan hanya rumah mereka tampak sendirian dari kejauhan.

 Suatu hari Alan kecelakaan. Saat itu juga aku bergegas menjenguknya. Ternyata tidak ada luka yang cukup serius, hanya ada beberapa giginya yang tanggal. Terlihat lucu ketika dia tertawa, seperti kakek-kakek. Kulihat ibu Alan sedang sibuk mencuci sekeranjang baju di samping rumah. Tergopoh-gopoh beliau menyambutku. “ Maaf, Bu...saya lagi ada kerjaan mencuci baju keluarga Pak Kosim”. Aku tersenyum, menyeruak rasa haru yang kutahan.
 
Bergegas kutemui Alan di dalam rumah. “Ini gara-gara saya tidak dibelikan mobil sama emak, Bu”, begitu cerocos Alan saat aku menanyakan kondisinya. Meski sambil meringis menahan sakit, tetap saja konyol dan periang. “ Gigi saya tinggal satu yang belum dipasang, Bu. Soalnya belum punya uang. Bayangkan saja, satu gigi palsu yang paling murah saja satu juta rupiah. Gigi saya hilang tiga, Bu. Berarti kan tiga juta. Ada juga yang seharga lima juta satu gigi belum lagi biaya pemasangan dan perawatannya. Ampun daah, Bu...gimana kalau pas Allah SWT minta bayaran semua gigi yang kita punya? Tambah banyak utang saya, Bu...hehee...” mengalir begitu saja cerita Alan. Sepele sepertinya, tapi itu membuatku terhentak. Alan benar. 



Diam dalam Tenang

Seperti sebelumnya, Har hanya diam. Tak ada teguran, tak terdengar omelan. Baginya, diam memberikan kedamaian tersendiri. Menghindari pertengkaran itu jalan terbaik. Setiap kali mengetahui ketidakjujuran suaminya, Har menanggapinya dengan dingin. Awalnya, amarah menggebu di ubun-ubunnya sampai kepalanya terasa nyeri setiap mendengar atau mengetahui sendiri kebohongan suaminya. Kini, perlahan amarahnya mulai redup. Dia merasa bosan dan lelah dengan pertengkaran-pertengkaran yang sudah sering terjadi sebelumnya. Bertahun-tahun Har sudah paham watak suaminya. Saat ini pun ketika dia mengetahui lagi ketidakjujuran suaminya, ada gejolak membuncah di dadanya. Namun sekali lagi menyusut pelan-pelan. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa lelah luar biasa. Entah karena sakit di keplanya setiap amarahnya memuncak atau karena hanya ingin ketenangan dalam rumah tangganya. Maka, hanya diam dan berlalu tanpa suara, seolah kata diikat dalam hatinya. Har melampiaskan dengan semua pekerjaan rumah yang ia tuntaskan dengan cepat.

Sikap diam Har memberi kesadaran dalam dirinya tentang sebuah kesabaran dan sikap nrimo yang sebenarnya. Bukan dia tak mampu untuk melawan atau memberontak terhadap sikap dan perilaku suaminya. Har pernah melakukan itu, namun masalah tak kunjung selesai justru pertikaian kian menjadi. Ia pikir kebohongan adalah masalah tanpa solusi, apalagi suaminya selalu merasa benar dengan sikapnya. Itu sudah watak. Bukan hanya Har yang menasehati, bahkan orang tua dan beberapa sanak famili sudah pernah menasehati, namun suaminya tetap seperti itu. Kebohongan demi kebohongan sudah terangkai dan mendarah daging, tak ada sikap dan perbuatan tanpa kebohongan yang dilakukan.

Sambil menahan rasa sakit yang dirasakan selama ini, Har menengadah, bergetar, memanjat doa, memohon ampun atas segala khilaf dirinya dan berharap masalah yang dia hadapi cepat selesai. Entahlah, tiba-tiba hati Har merasa tenang, perlahan Har menyeka airmatanya, hatinya seolah luluh pada semua masalah. Tak ada emosi, tak ada ambisi, bahkan tenaganya  mulai hilang. Pelan-pelan tubuhnya rubuh dengan mukena yang masih melekat. Bibirnya terkembang sebuah senyuman menggambarkan kepasrahan atas semua peristiwa yang dihadapinya. Har sepertinya ikhlas dengan apa yang terjadi. Begitu juga dengan penyakit kangker otak yang lama menggerogoti tubuhnya. Tak ada yang tahu. Wajah cantiknya memucat memancarkan ketenangan. Kini Har diam dalam kedamaian, masalahnya benar-benar lepas.  Setenang sepoi angin mengiringi hembusan nafas terakhirnya.



Doa yang Tersisa

Hampir tiap minggu perempuan paruh baya itu mendatangi rumah Bu Surya. Dia akrab di panggil Bu Santo. Tak pernah terlintas kecurigaan apa-apa terhadap keberadaan Bu Santo selama ini. Meski tidak ada ikatan kerabat atau teman sebelumnya, hanya saja Bu Surya selalu membantu dan melayani karena merasa prihatin melihat kondisi Bu Santo yang memungut sampah depan rumah. Seperti biasanya Bu Surya selalu membuka percakapan di antara keduanya. “Bagaimana kabar suamimu, Bu Santo?” sambil mengulurkan dua bungkusan besar. Perempuan itu hanya menundukan kepala sambil memainkan ujung baju pemberian Bu Surya minggu kemarin. “Kondisi suami saya masih sama, Bu. Belum ada perubahan, masih lumpuh,” begitu jawabnya pelan hampir tak terdengar.

Sejak perbincangan itu, dua minggu Bu Santo tak datang lagi ke rumah Bu Surya. Namun  Bu Surya masih tetap menunggu kedatangan Bu Santo seperti minggu-minggu sebelumnya. “Apa jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada suaminya?” pertanyaan itu berkecamuk membuat pikirnya merasa cemas. Ada keinginan untuk menjenguk ke rumah Bu Santo, tapi apalah daya, setiap kali berbincang Bu Santo tidak pernah menyinggung dari mana dan dimana tempat tinggalnya. 

Saat berkunjung di sebuah pasar malam, Bu Surya merasa kaget melihat Bu Santo berjalan bersama laki-laki di sebuah tempat perbelanjaan. Sekarang Bu Santo terlihat bahagia seolah-olah tidak pernah dirundung duka. Laki-laki yang bersama Bu Santo terlihat sehat bugar. Ingin rasanya Bu Surya menghampiri Bu Santo untuk sekadar bertanya keadaannya. Belum sempat Bu Surya beranjak, Yuni putrinya menarik-narik tangannya. “Ibu, ibu, itu laki-laki yang menjambret tasku di toko minggu kemarin,” ucap Surti sambil menunjuk  laki-laki yang bersama Bu Santo. Bu Surya hanya tertegun.



Harus Memilih

Dirman tetap pada keputusannya. Dia tak setuju jika Parman menikahi perempuan di sebelah rumah. Ayah ibunya berkali-kali menanyakan alasan ketidaksetujuan Dirman. Namun Dirman hanya membisu. Seakan-akan dia masih mengumpulkan keberanian untuk menjelaskannya. Akan ada waktu dia ingin duduk bersama keluarganya. Berbagi cerita tentang perasaannya selama ini. Namun kesempatan tak kunjung datang sampai  tinggal harapan yang terbuang.

Hanya satu alasannya. Segenap perasaan Dirman tertahan dalam pikirannya. Dia tak ingin ada laki-laki lain yang memiliki Narti selain dirinya. Dirman menggenggam tangan kekasihnya sambil menatap dalam-dalam. “Aku tak perduli meski harus berdebat dengan kakakku”. Semakin erat genggaman tangan mereka berdua. Pelan-pelan mereka beranjak sambil menenteng ransel menuju bus yang sudah menunggu di seberang jalan.

Tak ada lagi yang harus ditunggu. Kesempurnaan hidup adalah ketika bersama dia yang kita cinta, begitu kuat keyakinan Dirman kebahagiaannya hanya bisa didapat dengan hidup bersama kekasih hatinya. Pelan-pelan bus Patas itu berjalan menjauh. Sejauh harapan yang dibawa Narti dan Dirman untuk masa depan mereka. Tanpa penghalang, tidak juga kakak Dirman yang ingin merebut Narti.



Kekuasaan

Wajah perempuan itu cantik, mulus tiada celah jerawat dan komedo untuk tumbuh. Matanya sedikit sipit, hidungnya mancung, bibirnya tipis merekah merah, dagunya seperti sarang lebah, begitu anggun. setiap laki-laki yang melihatnya akan terpesona, bahkan bisa jadi jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi tidak bagi Roni. Justru rasa muak melihat perempuan itu. Jangankan bertemu, mendengar namanya pun dia tak berharap.“Roni, ini Mama Rita. Ayo salaman”, begitu ayah memperkenalkan perempuan itu. Sejenak Roni terdiam. Roni merasa enggan walaupun sekadar mau mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Perempuan itu datang menghampiri, menarik tangan Roni bahkan sempat mengelus bahunya. Tapi seperti itulah Roni, setiap kali bertemu dengan perempuan itu langsung buang muka.

Hampir tiap hari pertengkaran itu terjadi, pagi, siang, malam tiada henti. Ketika bertemu di rumah bukan perbincangan hangat yang terdengar, tapi omelan, cacian, dan makian semuanya tumpah seperti piring pecah. Roni tak lagi heran dengan pertikaian kedua orang tuanya. Ibunya yang lulusan sekolah dasar, dianggap bukan perempuan modern, itu sebabnya ayah Roni merasa bosan. Merasa malu karena tak sebanding dengan kedudukannya saat ini. Sebagai seorang direktur perusahaan harus menjaga image, begitu sindiran Ayahnya saat mereka berkumpul. Roni mencoba apatis dengan keadaan sekitar. Biarkan saja, pikirnya. Nanti juga akan reda dengan sendirinya. Seperti hari-hari sebelumnya yang berlalu begitu saja. Roni harus fokus dengan kuliah, sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir yang menentukan kelulusan. Roni  ingin segera bekerja. Ingin segera pergi sejauh mungkin dari kehidupan rumah yang sudah seperti neraka. Hanya kadang terbersit rasa kasihan pada ibunya jika kelak Ia tinggalkan.

 Pagi itu, di sebuah toko baju, Roni ingin memberikan ibunya kejutan. Sebuah baju muslim yang selama ini diidam-idamkan. Ketika sedang memilih-milih baju, tak sengaja matanya menangkap kelebat seseorang yang dikenalnya juga sibuk mencari-cari baju. Roni menghampiri laki-laki itu. Oh, ternyata laki-laki yang dilihat adalah ayahnya. Dia  merasa gembira karena ayahnya juga sedang mencari baju perempuan. Mungkin ayah mencari baju untuk ibu juga, begitu pikirnya. Belum sempat Roni bertanya, seorang perempuan cantik yang pernah dikenalkan ayahnya datang menghampiri Ayah Roni. Tanpa ada rasa canggung, perempuan itu bergelayut manja di pundak Ayah Roni. Begitu mesra mereka berdua. Mama Rita, begitu ayahnya memanggil. Tak peduli dengan sekitar, Roni bergegas. Dia tak ambil pusing dengan ayahnya. Namun, airmatanya berderai mengingat ibunya, meski hanya seorang perempuan sederhana tetapi berhati baja. Tak pernah bercerita tentang keculasan ayahnya. Hanya diam dan menerima, itu saja. Begitulah ibu, aah ibu...gumam Roni.







Pilihan

Tulisan terkait

Utama 1706676735444918121

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close