Amuk
Cerpen: Lilik Rosida Irmawati
"Sayang kau tidak datang," pesan itu berulang-ulang aku baca. Pesan via chat WA yang dikirim Yulia ke gawai suamiku. Ini kali keempat pesan dengan sebutan, "sayang" dan gambar emotion love mengakhiri pesan pendek itu.
Aku terbiasa membaca pesan-pesan pendek dengan nada mesra dan merayu di HP suami. Entah sekedar iseng ataupun penggemar yang ngefans, dan rata-rata para perempuan. Bukan hanya ibu-ibu muda, tapi juga yang setengah baya bahkan tua.
Suara bariton suamiku yang serak-serak basah mampu menghipnotis pendengarnya. Bung Sams, demikian nama udaranya ketika cuap-cuap mengudara. Selain berprofesi sebagai penyiar radio, job yang dijalaninya ngeMC di berbagai acara. Ketenaran mas Sams sebagai MC sudah melanglang di berbagai kabupaten.
Yulia, nama itu kini mengusikku. Perempuan yang baru bercerai itu kini menjadi patner baru mas Sams sejak empat bulan silam. Cantik dan memiliki postur tubuh ideal. Siapapun akan terkesima dan terpikat melihat penampilannya yang sempurna, dan cenderung manja serta memiliki suara nan merdu.
Kehadirannya sebagai patner duet mas Sams benar-benar mengusikku. Apalagi chat-chat mesra dan panggilan sayang menimbulkan tanda tanya besar di hati dan batok kepala. Imajinasiku mulai melanglang buana dengan berbagai kemungkinan. Mengapa tidak?
Dihatiku kini mulai terbit bibit-bibit cemburu.
Cemistry yang dibangun mas Sams dan Yulia ketika berduet ataupun bernyanyi demikan manis. Aku pernah menyaksikan saat menghadiri resepsi pernikahan. Benar-benar bikin hatiku cenut-cenut dan tensi naik seketika. Jelas aku dilanda cemburu, dan sangat cemburu.
Bagaimana tidak cemburu?
Pandangan mata Yulia saat menatap mas Sams, begitu juga sebaliknya. Dengan jelas aku melihat sentuhsn-sentuhan kecil dan tangan keduanya saat saling menggenggam menyiratkan ungkapan. Ini bukan hanya membangun cemistry tapi menautkan rasa dan hati.
"Apa harus mesra begitu?" Tanyaku dengan nada tinggi.
Ketika aku meluapkan amarah karena cemburu, mas Sams mendinginkan hatiku dengan pelukan.
"Itu hanya di panggung, sayang " bisiknya.
"Hanya di panggung? Dan disaksikan sekian ratus mata?" Geramku marah.
"Aku bersumpah, itu hanya sebatas pekerjaan " kukuh mas Sams. Dia memelukku semakin erat.
"Aku tidak percaya!" Teriakku, dan tangisku pecah.
"Aku tidak akan memaafkanmu, kalau kau sampai berselingkuh."
Sejak saat itu aku tidak pernah mau lagi hadir ke undangan kalau pas mas Sams dan Yulia yang menjadi pemandu acara meski yang punya hajatan masih kerabat sendiri.
Aku mencoba berkomproni dengan hatiku dan menekan cemburu yang nantinya akan merugikan diriku dan keluarga kecilku. Aku tidak ingin ketiga anakku yang masih kecil kehilangan sosok ayah. Membayangkan saja bikin hatiku bergidik, ngeri. Benar-benar ngeri.
"Hati-hati jaga Sams," chat saudara iparku semakin menguatkan praduga, antara Yulia dan suamiku telah terjadi affair. Namun untuk menjaga kewarasan aku tak mempedulikannya. Kini aku lebih fokus mengembangkan toko on line. Semula aku hanya menjual baju anak-anak, kini merambah pada produk kecantikan.
Berkat keuletanku, tanpa sepengetahuan mas Sams kini aku punya tabungan sendiri. Meskì suami tahu dengan kegiatanku, dia tidak pernah ikut campur, bahkan tidak pernah menanyakan berapa penghasilanku.
Mas Sams tetaplah laki-laki yang kukenal empat belas tahun silam. Di balik sisi kepiawaiannya menghibur dengan joke-joke dan suaranya yang menghipnotis, dia adalah sosok yang cenderung introvet.
Akulah yang cerewet untuk mengimbangi sikap cuek dan tidak pedulinya.
Tapi mas Sams sosok yang hangat bagi anak-anaknya.
Sikap dan perilaku yang mendua, menurutku sedikit anomali.
Seringkali kegundahan menyergapku.
Mengapa dia begitu mesra saat bersama Yulia di panggung. Bahkan aku pernah memergoki Yulia demikian manja, bergelendotan di lengan mas Sams. Sore itu aku melihatnya di sebuah cafe saat aku dan teman-teman hang out.
Mas Sams dan Yulia tidak menyadari kalau aku juga disana.
Tawa Yulia yang renyah memenuhi udara, dan membakar hatiku.
"Hey, pelakor!" Teriakku tidak dapat menahan diri.
Mas Sams dan Yulia menatapku. Wajah keduanya pias.
Teman-teman segera menyeretku melewati pintu samping. Mereka tak ingin terjadi huru-hara saat melihat emosiku yang sudah meledak.
Sejak kejadian itu terjadi perang dingin di antara kami.
Mas Sams sama sekali tidak berusaha merajuk hatiku yang masih marah.
Hingga di suatu siang
"Apa ini?" Teriakku pada mas Sams sembari melemparkan foto-foto mesra suamiku dan Yulia. Foto-foto ini diposkan seseorang yang tidak kukenal.
Dengan tenang mas Sams menatap foto itu satu persatu. Wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Kau percaya?" Tanyanya. Tatapannya mengintimidasi.
"Kalau iya, kenapa?"
"Terserah kau, Hanum ..." laki-laki yang telah membersamaiku selama lima belas tahun itu menyebut namaku. "Aku lelah dengan cemburumu itu."
"Tapi ini nyata, kau masih mau mengelak?" Tanyaku dengan bada tinggi.
"Sudah kukatakan berkali-kali, tidak ads hubungan apapun antara aku dan Yulia. Semua yang kau lihat itu hanya berkaitan dengan pekerjaan." Tandasnya.
"Lalu ini?" Tanyaku sembari memperlihatkan chat mesra yang telah aku screnshot.
"Kau memata-mataiku?" Tuduhnya dengan wajah garang.
"Apa aku harus diam dengan semua polahmu? Apa aku tidak berhak memperingatkanmu?
"Lalu maumu apa?"
"Kau tanya mauku? Aku ingin kau tidak berpatner lagi dengan Yulia. Titik."
"Kalau tidak? Mas Sams menantangku.
Aku terdiam, lalu tergugu dalam tangis.
Sudah tiga hari ini mas Sams tidak pulang. Dia hanya memberitahu via Whatt App ada job di luar selama satu minggu. Terbawa perasaan marah aku pun tidak membalas pesannya.
Meski aku berussha menetralkan dan mendinginkan hati, rasa amarah dan cemburu semakin membakar. Bagaimana tidak? Ternyata Yulia menyertai mas Sams. Seseorang telah mengirimkan status Yulia dalam pose berpelukan dengan suamiku dengan latar kamar sebuah hotel.
Ku coba menghubungi mas Sams via telpon. Sama sekali tidak digubris. Begitu juga pesan WA dan messenger, diacuhkan. Padahal dia online.
Karena sudah tak tahan dengan gempuran dari seluruh pikiran dan hati, diperkuat kiriman status Yulia, aku jadi kalap dan gelap mata. Segera kukemasi baju-baju dan pulang ke rumah orang tuaku di kota sebelah.
Hampir empat hari aku dan anak-anak mengungsi di rumah ibu. Sengaja gawai kumatikan. Dan aku berniat memindahkan sekolah Raka dan Rani. Aku kini fokus membantu usaha kuliner ibu. Aku ingin tegar dan tabah, misalnya sesuatu terjadi pada rumah tanggaku. Secara finansial aku mampu mandiri menghidupi anak-anak.
Pagi itu ku dengar derum mobil mas Sams memasuki pekarangan rumah. Ku lihat Yulia juga turun dari mobil. Karena bersama Yulia, aku tidak mau keluar untuk menemuinya.
"Pulanglah," titahnya sembari memelukku Aku hanya terdiam, dan membiarkan dia menguraikan pelukannya karena sikapku yang dingin.
"Maafkan, aku,"
"Maaf untuk apa?" Tanyaku.
"Aku telah melukaimu, maafkan aku," pintanya dengan nada lirih dan wajah tertunduk.
"Lima belas tahun aku membersamaimu, namun sama sekali tak ada artinya.,
" ucapku getir
Sesaat sepi mengambang.
"Aku memutuskan pulang ke rumah ibu. Tolong hargai keputusanku"
"Hanum ..., "
Yulia tiba- tiba memasuki kamar tanpa mengetuk pintu, dan terisak.
"Maafkan aku, Hanum ..." perempuan itu memelukku erat. Aku hanya terdiam.
Tanganya yang memelukku lalu meraih tanganku dan mengusapkannya diperutnya. Ada getaran dan denyut kehidupan.
Yulia menatapku dengan senyum kemenangan.
Aku jadi kalap dan secara reflek menjambak rambutnya, memukul seluruh bagian tubuhnya yang terjangkau tangan maupun kaki disertai teriakan kemarahan.
Mas Sams berusaha melindungi tubuh Yulia dari amukanku. Aku benar-benar kesetanan.karena tubuh suamiku berhasil kuhempaskan.
Teriakan histerisku mengundang para tetangga datang, dan akhirnya berhasil menghentikan amukanku.
Saat tersadar aku terdiam dan dipenuhi penyesalan saat kulihat Yulia terkapar di lantai. Tubuhnya meringkuk dan sepertinya tak sadarkan diri. Ku lihat dari area bawah tubuhya merembes cairan merah. Darah itu berasal dari pangkal paha, mengalir ke kaki dan menggenangi ubin.
Teriakan histeris mas Sams menggema. Aku terpaku.
Pilihan





