Gincu Emak


Cerpen: 
Lilik Soebari

 Masih benar-benar pagi, belum ada semburat cahaya, dan udara dingin menggigit. Saat musim kemarau rasa dingin itu semakin terasa menyengsarakan menggigit tulang belulang.

Untuk menghangatkan rasa dingin yang menyergap, aku mengubah posisi tidur yang semula terlentang lalu meringkuk seraya merapatkan selimut di sekujur tubuh dan hanya menyisakan lobang di area mata.

Krieeetttt.

Pintu terbuka, kulihat Emak menlongok ke arahku. Terdengar helaan nafas panjangnya sebelum mematut diri di kaca.

Kulihat, beliau tersenyum-senyum, ada gurat senang di binar matanya. Emak tidak tahu kalau tingkahnya kuperhatikan.

Aneh, perasaan itu muncul dalam benakku karena akhir-akhir ini Emak sedikit berubah. Sebelum berangkat mencari kayu bakar biasanya tidak pernah  memakai pupur atau pun bergincu, membiarkan saja kulit wajahnya yang menghitan dan berkeriput.

Biasanya Emak hanya memakai lulur beras dicampur temu kunci, kencur dan akar teki. Setiap akan berangkat kerja wajahnya  sedikit cemong seperti anak bayi. Aroma yang menguar saat Emak masuk kekamar sangat menenangkan.

Rutinitas Emak selalu masuk ke kamar bakda adzan Subuh berkumandang. Memastikan aku telah bangun dan sholat Subuh.

"Cong, sholat," tangannya yang kasar akan mengelus ubun-ubun. Aku selalu terdiam karena rasa bahagia itu menyeruak di kedalaman hati mendapat perlakuan itu dari Emak setiap dini hari.

Seringkali aku pura-pura tertidur, dan Emak akan menarik kuping sembari tertawa

Setelah itu beliau berangkat berombongan dengan para Emak yang senasib. Mencari kayu bakar.

Karena kerjanya lumayan berat otot-ototnya menonjol di sekitar lengan, bahu dan leher akibat mengangkat beban berat. Benar- benar berat dan tidak terjangkau logika. Bayangkan saja, beberapa ikat kayu bakar dirangkai jadi satu sampai sepelukan tangan, Setelah itu dirangkai memanjang sampai mencapai kisaran panjang antara 4 - 6 meter.

Dan rangkaian kayu memanjang  diletakkan di atas kepala. Para Emak mrlangkah membawa beban berat itu sejauh kurang lebih 6 km.

Biasanya satu minggu sekali Emak berjalan kaki menuju hutan desa di  perbatasan kecamatan. Pagi buta, Emak berangkat dan setelah lohor baru kembali. Setelan menurunkan kayu bakar, Emak akan rebahan di kobung, dan tertidur.

Pekerjaan para Emak di desaku mencari kayu bakar adalah sesuatu yang lumrah. Entah kutukan apa yang menyebabkan mereka memikul beban berat mencari kayu bakar. Seharusnya kewajiban itu dibebankan pada para bapak yang tugasnya hanya memanjat pohon siwalan menurunkan nira.

Seingatku satu bulan terakhir ini Emak semakin rajin mencari kayu bakar, tidak lagi seminggu sekali tapi dua kali. Benar-benar luar biasa dan aku lihat bukan wajah capek tapi malah semakin seger, benar-benar aneh.

Siang itu saat angin berkesiur dan menerobos lubang-lubang gedek, Emak masuk ke kamar lalu duduk berlama-lama di depan cermin. Beliau tidak menyadari keberadaanku karena sibuk memperhatikan wajahnya dan sesekali mengelus-elus leher, tengkuk dan payudara bagian atas. Senyumnya terbit di bibirnya yang menghitam.

Saat kuperhatikan secara seksama ada bercak merah di bagian yang dielusnya, seperti bekas kerokan.

"Emak masuk angin?"

Tubuh Emat terjingkat kaget karena mendengar pertanyaanku. Bibirnya yang semula tersenyum-senyum lalu berubah masam. Ada sorot aneh yang kutangkap dari matanya.

"Kalau Emak ngak enak badan, beristirahatlah, Mak,"

"Kalau Emak istirahat, siapa yang akan kerja. Kamu mau gantikan Emak?" Balasnya judes.

Aku hanya bisa nyengir mendengar pertanyasn Emak. Kondisiku tidsk memungkinkan untuk bekerja berat.

Namun sesaataku tersadar.

Rabb, apa yang terjadi.

Mengapa tiba-tiba Emak menjadi bertaring seperti ini? Seumur hidupku, di usia hampir delapan belas tahun tak pernah  kudengar Emak meninggiksn suaranya. Bahkan ketika aku melakukan kesalahan, beliau akan menasehatiku penuh kelembutan.

Dengan tetap memasang muka masam  Emak  berlalu sembari menutupi bagian lehernya dengan kerudung.

Emak memang sering kekamarku karena lamari pakaian dijadikan satu, pakaianku, Emak adik perempuan dan Bapak. Biasanya kami terbiass meletakkan pakaian di ruang tamu dengan menggunakan lemari kaca bening. Namun setelah aku pulang dari mondok, Bapak membeli lemari besar untuk menampung baju sekeluarga. Ruang tamu dijadikan tempat menampung hasil kerajinan kurungan burung.

Entah mengapa perasaanku gundah gulana melihat perubahsn pada diri Emak. Hatiku mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan.

Hingga pada suatu siang.

Saat Emak mendengkur pulas, aku mengamati dengan seksama bagian.leher yang terbuka.  Ada beberapa warna merah baru yang muncul, banyak sekali bercampur dengan kerokan. Bukankah ini? Batinku.

Tiba-tiba jiwaku terbakar.

Aku ingin sekali membicarakan kecurigaanku pada Bapak. Tapi pantaskah mencurigai perempuan pertapaanku? Perempuan yang telah bekerja demikian keras dan memikul beban berat di luar batas?

Bagaimana tidak? Tugas Emak bukan hanya mencari kayu bakar, tapi juga mesti mencari rumput untuk 4 ekor sapi milik haji Hamid dengan sistem bagi hasil. Belum lagi pekerjaan domestik yang tak ada habisnya.

Emaklah yang pekerja keras dan tak mengenal lelah. Butir keringatnya yang meleleh sumber kehidupan keluarga.

Dan Bapak? Sosoknya mengingatkanku pada jejeran tak beraturan pohon siwalan yang tumbuh di sekitar pekarangan serta ladang. Semakin tua berdiri kokoh, angkuh, dingin dan menghitam  senada dengan kulit tubuh Bapak yang legam dibakar terik matahari. Warna kulitnya menyatu dengan warna pohon yang setiap hari dipanjatnya.

Aku tak tahu, sejak kapan Bapak dan Emak setia dengan kebisuannya.

Tak ada cengkrama, tak ada senda tawa, dan tak ada tegur sapa. Kebisuan mengambang.

Wajah Bapak selalu tanpa ekspresi dan sorot mata membeku. Itulah keseharian rumah kami.

Bapak sibuk dengan pohon-pohon hitamnya, Emak sibuk dangan dunia rutinitas tanpa sapa tanpa tanya.

Yang hidup hanyalah derai tawa adik perempuanku.  Tawa renyahnya memecah kebekuan terbawa angin meliuk-liuk di dedaunan, dan tawa itu yang membuat senyum Emak mengembang.

Pagi ini masih berembun dan membasahkan dedaunan saat langkahku terseok-seok tidak mampu mengimbangi langkah Emak dan teman-temannya yang demikian cepat memburu waktu.

Berburu waktu karena demikian banyak persaingan, bukan karena jumlah pencari kayu bakar semakin banyak tapi hutan semakin sempit dan juga petugas semakin galak. Kata_kata itu demikian melekat di memori menjadi asupan gizi karena hanya itu yang selalu dikatakan Emak padaku.

Pagi merekah dan aku demikian terbeliak menatap tak percaya. Sejauh mata memandang hanya hamparan luas tersekat lorong-lorong panjang, gubuk-gubuk tempat beristirahat para pekerja dan lautan lepas.

Tak ada lagi pokok-pokok menjulang dengan lambaian yang mengkesiurkan angin. Semuanya kini menjadi kubangan-kubangan besar serta deru air yang berputar-putar oleh kincir. Tuhan! Dimana pula  bakau-bakau dan bangauku serta riuh rendah nyanyiannya yang memekik?

Kembali aku terseok-seok mengikuti alur Emak dan masa kecilku yang pernah kukunyah dan kutelan penuh kebahagiaan.

Setelah berjalan cukup jauh, sampailah aku di tepi hutan. Sejauh mata mrmandang berdiri kokoh barak-barak pekerja tambak. Rombongan Emak tidak terlihat seorang pun. Lamat-lamat ku dengar suara tawa terkekeh-kekeh dan juga kikik-kikik renyah perempuan dari dalam barak.

Rasa penasaranku membuncah, lalu dengan mengendap-endap mendekati barak demi barak.

Hatiku mencelos

Sebagai laki-laki normal aku tahu apa yang mereka lakukan di dalam barak. Mereka melakukan perbuatan terkutuk.

Seperti kapal yang dihantam gelombang, hatiku karam.

Dan sesaat kemudian, ku dengar senandung para pria keluar dari barak menuju hutan dan kembali lagi ke barak dengan beban dipanggul. Mereka lalu menurunkan kayu-kayu bakar,  mengikatnya menjadi satu lalu dijejer di tepi jalan.

Aku tersedu dan mata menjadi buram saat melihat Emak dan sekitar 10 temannya memilih satu ikat kayu bakar. Celoteh dan tawa gembira mereka  seperti palu godam nenghantam telingaku.

"Emak  ...!" Seruku dengan suara tercekat ditenggorokan.

Entahlah sepertinya Emak mendengar seruanku, matanya lurus menatap kearahku.

Mulutnya menganga dan wajahnya tiba-tiba pias.

Aku segera berlari meninggalkan tempat terkutuk itu membawa kakiku yang pengkor ini kembali ke rumah. Tapi rumah siapa? Rumah siapa yang harus kusinggahi dengan beban berat yang demikian dahsyat ini?

Sumenep, 16 Maret 2023

Kisah ini berlatar tahun 1987

 

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 4771052922066411349

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Puisi Lawas Syaf Anton Wr

Puisi Lawas Syaf Anton Wr
Puisi-puisi ini ditulis pada tahun 80-an, dan telah terbit di sejumlah media cetak pada tahun yang sama. Sebagian juga telah terbit dalam buku kumpulan puisi tunggal “Cermin” (1983) - Selengkapnya klik ganbar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close