Guru: Sosok Terakhir Yang Masih Kita Harapkan
Tanggal 25 November kembali datang, dan seperti biasa kita menaburkan ucapan selamat Hari Guru Nasional. Namun sejujurnya, ucapan itu sering lebih mirip ritual tahunan daripada cermin kejujuran bangsa. Kita memuji guru di panggung, tetapi membiarkan mereka bertahan hidup di medan yang semakin sempit. Kita menyebut mereka “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi sekaligus menjadikan itu legitimasi untuk tidak memberi jasa yang layak.
Ironi itu sudah terlalu lama berulang. Namun tahun ini, kita tak punya kemewahan untuk pura-pura lupa.
Bangsa sedang berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Kualitas manusia rendah, korupsi merajalela, moral runtuh, ketimpangan melebar, pendidikan kehilangan arah, dan masa depan Indonesia sering dibayangkan banyak pemerhati sebagai kabut pekat tanpa pemandu cahaya.
Di tengah itu semua, ada satu sosok yang masih berdiri — bukan karena dihormati negara, tetapi karena mereka menolak menyerah: guru.
Guru: Bukan Hanya Pengajar, Tapi Penyangga Peradaban
Guru adalah profesi yang hidup dalam dua dunia.
Di ruang kelas, mereka mendidik anak bangsa, menanam logika, moral, dan harapan.
Namun di luar kelas, mereka menjadi cermin masyarakat, teladan yang diam-diam diawasi: tutur katanya, kesabarannya, keteguhannya, cara ia menegur, cara ia bersikap. Guru bukan hanya sosok yang memberi ilmu; ia adalah format dasar manusia Indonesia.
Tetapi mari kita jujur: ruang tempat guru berdiri saat ini adalah ruang yang retak.
Bangsa menuntut guru menjadi malaikat, tetapi menggajinya bahkan tak cukup untuk menjadi manusia. Negara berharap guru melahirkan generasi unggul, tetapi tidak memberikan alat untuk melakukannya. Masyarakat mengangkat guru dalam pujian, tetapi membiarkan mereka berada pada hierarki ekonomi paling bawah.
Betapa kejamnya sebuah bangsa yang mencintai profesi gurunya hanya dengan kata-kata, bukan kebijakan.
Realitas Pahit yang Tak Lagi Bisa Ditutup-tutupi
Kita hidup di negara yang dengan gagah menulis di konstitusi bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara. Namun di lapangan, guru masih harus menghadapi kenyataan:
- gaji ratusan ribu per bulan,
- status honorer belasan tahun tanpa kepastian,
- sekolah yang tidak mampu membayar guru selama berbulan-bulan,
- ruang belajar yang menua sebelum murid sempat tumbuh,
- birokrasi pendidikan yang lebih sibuk mengurus laporan daripada proses belajar,
- dan kurikulum yang berubah lebih cepat daripada kualitas hidup guru.
Ada guru yang mengajar tanpa pernah menerima gaji yang layak.
Ada guru yang mengajar meski gaji nol rupiah, karena sekolah benar-benar tak mampu membayar.
Tetapi mereka tetap mengajar.
Mengapa?
Karena satu hal sederhana: mereka percaya bangsa ini masih bisa diperbaiki.
Ironisnya, keyakinan itu tidak selalu dimiliki oleh para pemimpinnya.
Negara yang Menuntut Tanpa Memberi
Banyak pemangku jabatan suka berkata, “Pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa.” Kalimat itu manis, tetapi kosong, selama guru masih diperlakukan sebagai pekerja murah dengan ekspektasi setinggi langit.
Negara menuntut:
- murid memiliki karakter,
- murid memiliki kemampuan abad 21,
- murid kreatif, disiplin, kritis, solutif.
Tetapi negara lupa bahwa murid adalah cermin gurunya.
Lalu apa yang dilakukan negara untuk guru?
Banyak program, ya. Banyak slogan, ya. Banyak pernyataan resmi, ya.
Tapi apa itu cukup?
Tentu tidak.
Selama kebijakan pendidikan masih menempatkan guru sebagai objek birokrasi, bukan subjek peradaban, selama itu pula bangsa ini hanya berputar di lingkaran yang sama: maju di slogan, mundur di kenyataan.
Bangsa yang Moralitasnya Runtuh, Mencari Penjaga Terakhir
Hari ini, Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan:
- korupsi yang terus menggerogoti anggaran,
- birokrat yang terjebak politik pencitraan,
- miskinnya arah pembangunan manusia,
- kualitas pendidikan yang tak sebanding dengan kebutuhan zaman,
- dan generasi muda yang dijejali budaya instan.
Di tengah kondisi itu, sebenarnya siapa yang paling mungkin dapat memulihkan keadaan?
Pemimpin politik? Tidak selalu.
Birokrat? Seringkali tidak.
Influencer? Jelas tidak.
Justru yang paling bisa diharapkan hanyalah satu: guru.
Mereka bekerja pada fondasi yang paling dasar: karakter dan pemikiran. Tanpa itu, seluruh program pembangunan hanyalah bangunan megah di atas lumpur.
Jika negara kehilangan guru, negara kehilangan semuanya.
Bahkan kehilangan masa depannya.
Mengapa Indonesia Seolah Menyerah pada Nasib Guru?
Salah satu dosa terbesar bangsa ini adalah menerima ketidakadilan terhadap guru sebagai sesuatu yang “biasa”.
- Guru tak digaji layak? “Memang begitu.”
- Guru honorer belasan tahun? “Sabar, proses.”
- Sekolah kekurangan guru? “Nanti juga ada solusinya.”
- Guru bekerja tanpa jaminan sosial? “Ya maklum.”
Kita membiarkan guru menanggung beban yang terlalu besar, tetapi meminta mereka “ikhlas” setiap kali hak mereka tidak terpenuhi.
Kita terlalu sering menggunakan kata “pengabdian” untuk menutupi kegagalan negara memenuhi tanggung jawabnya. Padahal pengabdian tidak pernah berarti bekerja tanpa layak.
Bangsa yang sehat tidak membiarkan gurunya hidup dalam kesulitan.
Bangsa yang besar tidak memberi alasan untuk menunda kesejahteraan mereka.
Mengapa Masa Depan Indonesia Disebut Suram oleh Banyak Pemerhati?
Satu kalimat sederhana:
Karena negara tidak menempatkan guru di posisi yang seharusnya: pusat pembangunan.
Semua negara yang maju memiliki pola yang sama:
- guru dihormati,
- guru digaji layak,
- guru dilindungi,
- guru diberi ruang intelektual,
- guru diberi kesempatan belajar,
- guru dipercaya sebagai arsitek masa depan.
Indonesia?
Kita masih sibuk membenahi hal-hal yang seharusnya sudah selesai sejak 30 tahun lalu.
Banyak pemerhati khawatir bahwa Indonesia sedang kehilangan momentum.
Dan kekhawatiran itu sah, karena:
Tidak ada negara yang mampu melompat menjadi bangsa besar ketika gurunya masih hidup dalam ketidakpastian.
Solusi yang Bukan Slogan: Apa yang Harus Dilakukan Negara?
Berbicara masalah tanpa solusi hanya akan menjadi keluhan.
Maka berikut solusi nyata—bukan slogan—yang bisa dilakukan:
- Jadikan Guru Profesi Bergaji Tinggi, Bukan Sekadar “Pekerjaan Mulia”
Negara maju tidak menyebut guru pahlawan.
Mereka menyebut guru sebagai profesi bergengsi.
Gaji layak bukan hadiah.
Gaji layak adalah syarat.
- Reformasi Total Sistem Honorer
- hapus sistem honorer yang tidak manusiawi,
- percepat pengangkatan melalui mekanisme yang transparan,
- hentikan praktik lembaga pendidikan yang menggunakan tenaga guru tanpa pembayaran.
Honorer bukan relawan.
Honorer adalah tenaga profesional yang bekerja untuk bangsa.
- Bebaskan Guru dari Beban Administrasi yang Tidak Masuk Akal
Biarkan guru mengajar.
Biarkan mereka mendidik.
Guru bukan juru ketik laporan.
Guru bukan buruh administrasi.
- Jadikan Pelatihan Guru sebagai Program Nasional yang Serius, Bukan Seminar Formalitas
Pelatihan harus berbasis:
- kebutuhan riil kelas,
- kemampuan pedagogis,
- perkembangan teknologi,
- riset pendidikan,
- peningkatan karakter.
Tidak boleh lagi ada pelatihan yang hanya menghasilkan sertifikat, bukan kompetensi.
- Perkuat Otonomi Guru
Berikan ruang bagi guru untuk:
- berinovasi,
- mencoba metode baru,
- menyesuaikan pembelajaran dengan kondisi lokal,
- memimpin perubahan.
Guru bukan pelaksana kurikulum.
Guru adalah perancang masa depan.
- Bangun Sistem Pendidikan yang Berorientasi Manusia, Bukan Proyek
Anggaran pendidikan yang besar tidak akan berarti apa-apa jika:
- disalurkan ke program yang salah,
- tersedot birokrasi,
- diarahkan pada proyek yang tidak menyentuh kelas.
Kelas adalah medan utama pendidikan.
Jika anggaran tidak sampai ke kelas, maka Indonesia tidak akan pernah maju.
Guru Tidak Menunggu Pujian—Mereka Menunggu Keberpihakan
Hari Guru Nasional mestinya bukan momen memuji guru.
Hari Guru Nasional mestinya momen bercermin sebagai bangsa.
Sejauh mana kita sudah berlaku adil kepada mereka?
Sejauh mana kebijakan publik berpihak kepada mereka?
Sejauh mana kita memercayai mereka sebagai fondasi masa depan?
Karena faktanya, jika bangsa ini akhirnya gagal membangun manusia Indonesia yang bermoral, cerdas, dan kuat, kesalahan terbesar bukan pada guru.
Justru guru adalah kelompok yang paling keras mencoba memperbaikinya.
Mereka yang tetap mengajar meskipun tidak dibayar.
Mereka yang tetap mendidik meskipun hidup pas-pasan.
Mereka yang tetap percaya bahwa bangsa ini bisa pulih meskipun tanda-tandanya masih buram.
Maka saat kita berbicara tentang masa depan Indonesia, satu hal yang harus kita lakukan adalah memastikan:
Guru tidak lagi berdiri sendirian.
Guru tidak lagi dipuji tanpa diberdayakan.
Guru tidak lagi disuruh ikhlas untuk menutup kegagalan negara.
Guru tidak lagi menjadi pahlawan tanpa tanda jasa—tetapi pahlawan yang diberi jasa yang layak.
Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ini hanya bisa seterang cahaya yang kita berikan kepada guru-gurunya.
(Rulis, dari beberapa sumber)
SELAMAT HARI GURU NASIONAL 2025
25 NOVERMBER 2025
Pilihan





