Literasi Lingkungan: Dari Sampah ke Kesadaran Kolektif
Sederhana, tetapi penuh makna.
Sebab plastik—jenis sampah yang mereka temukan paling banyak—bukan sekadar remah makanan ringan atau bungkus minuman modern. Ia adalah simbol dari pola konsumsi baru yang digemari remaja: praktis, menarik, dan serbainstan. Kemasan makanan itu berakhir di tangan mereka hanya beberapa menit. Namun jejaknya bisa bertahan ratusan tahun di tanah.
Plastik yang Berserakan, Cermin Kebiasaan
Di sekeliling halaman sekolah, di sudut-sudut kelas, hingga di sela pot tanaman, plastik menjadi pemandangan yang tak asing. Meski sekolah sudah menegakkan aturan kebersihan, masih ada siswa yang belum terbiasa membuang sampah pada tempatnya. Dan musim hujan seperti sekarang memperburuk keadaan. Air yang mengalir deras dari luar lingkungan sekolah ikut menyeret sampah plastik masuk, menjadi bukti bahwa persoalan kebersihan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga kultur masyarakat yang lebih luas.
Karena itu, literasi lingkungan bukan sekadar kegiatan mingguan. Ia adalah proses penanaman nilai—pelan, tapi berkelanjutan.
10 Menit, 9 Kantong Plastik
Setelah arahan singkat, para siswa dibagi ke beberapa kelompok dan bergerak menyusuri seluruh lingkungan sekolah. Dalam waktu hanya sepuluh menit, terkumpul sembilan kantong besar berisi sampah plastik: bungkus makanan, gelas minuman, sedotan, botol plastik, hingga serpihan kecil yang hampir tak terlihat.
Tumpukan itu kemudian menjadi bahan refleksi. Tidak ada ceramah panjang, hanya diskusi sederhana yang menuntun siswa bertanya:
- Apa saja jenis sampah yang dikumpulkan?
- Bagaimana pengaruh sampah plastik terhadap organisme pengurai di dalam tanah?
- Bagaimana dampak sampah plastik terhadap aliran air dan kesehatan lingkungan?
Pertanyaan-pertanyaan itu mengubah sampah yang tadinya dianggap sepele menjadi materi belajar yang nyata.
Ketika Tanah Kehilangan Kehidupannya
Dari diskusi tersebut, siswa mulai memahami bahwa plastik bukanlah sampah biasa. Di dalam tanah, plastik sangat sulit terurai. Ketika menumpuk, ia menghalangi aktivitas organisme pengurai—cacing, bakteri, dan mikroba tanah yang selama ini bekerja tanpa henti menjaga kesuburan bumi.
Plastik dapat menyebabkan:
- tanah kehilangan kemampuan menyerap air,
- sirkulasi udara terganggu,
- struktur tanah rusak,
- keanekaragaman hayati mikroba menurun,
- hama dan penyakit mudah berkembang.
Jika organisme tanah hilang, tanah menjadi keras, tandus, dan miskin nutrisi. Dalam jangka panjang, kualitas tanaman menurun dan berdampak pada keamanan pangan. Sebab tanah yang sakit tidak mampu menumbuhkan tanaman yang sehat.
Bukan hanya itu, plastik yang terpendam lama akan pecah menjadi mikroplastik bahkan nanoplastik—partikel halus yang tak terlihat mata, tetapi mampu mencemari tanah dalam skala luas.
Air yang Tercemar, Ancaman yang Tak Terlihat
Air pun tak luput dari dampak buruk sampah plastik. Saat mikroplastik meresap ke dalam tanah, ia dapat terbawa menuju sumber air tanah. Air yang sekilas terlihat bersih, sebenarnya membawa partikel-partikel halus yang tidak bisa diolah tubuh manusia.
Penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik yang diminum dalam jangka panjang dapat mengganggu metabolisme, sistem hormon, hingga imunitas.
Di lingkungan sekolah, sampah plastik yang menghambat aliran air juga menyebabkan genangan, bau tak sedap, dan menjadi tempat berkembangnya penyakit.
Belajar dari Lingkungan yang Nyata
Kegiatan literasi lingkungan hari itu bukan sekadar agenda rutin. Ia menjadi ruang refleksi bagi siswa untuk melihat bagaimana tindakan kecil mampu menimbulkan dampak besar. Sekolah berharap kegiatan seperti ini terus dilakukan dan dikembangkan agar lahir generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga peduli pada planet tempat mereka hidup.
Sebab menjaga lingkungan bukan pekerjaan satu hari, melainkan perjalanan panjang membangun kesadaran kolektif.
Ditulis: Hidayat Raharja
Editor : Rulis
Pilihan





