Tobat Ekologis di Negeri Bencana: Saatnya Melihat Cermin, Bukan Sekadar Langit
Rangkaian bencana yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia—banjir bandang di Sulawesi, longsor di Jawa, kebakaran hutan di Sumatra, abrasi pesisir di Jawa, hingga satwa liar yang keluar hutan karena kelaparan—sering kita sebut sebagai musibah alam. Padahal, sebagian besar dari bencana tersebut bukanlah sekadar fenomena alamiah. Ia adalah refleksi dari pilihan-pilihan manusia yang selama puluhan tahun mengabaikan batas ekologis.
QS 30:41 telah jauh-jauh hari mengingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia…” Ayat yang terasa seperti laporan lingkungan hidup hari ini.
Alam Tidak Berubah — Kita yang Mengubahnya
Bencana alam memang bagian dari dinamika bumi. Gunung meletus, hujan turun, angin bertiup: semua itu telah berlangsung jutaan tahun. Namun, yang mengubahnya menjadi bencana mematikan adalah ulah manusia. Di Kalimantan, hutan primer tinggal nama, digantikan perkebunan dan tambang. Di Jawa, lereng-lereng gunung tumbang karena pembangunan tak terkendali. Di pesisir utara, mangrove diganti beton, menyebabkan abrasi yang makin agresif. Di Papua, limbah tambang meracuni sungai-sungai tempat masyarakat adat menggantungkan hidup.
Kerusakan yang terjadi bukanlah kecelakaan. Ia adalah hasil dari dosa ekologis kolektif: tata ruang yang diabaikan, pengawasan lemah, pembangunan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek, serta budaya konsumsi yang boros dan tidak ramah lingkungan.
Kita Sudah Hidup Berdampingan dengan Bencana
Perubahan iklim global memperburuk segalanya. Pola hujan berubah, suhu meningkat, cuaca ekstrem menjadi rutin. Hari ini, kita tidak lagi bisa berharap bencana dapat dicegah sepenuhnya. Banyak kerusakan sudah terlambat untuk dipulihkan. Namun kita masih bisa mengurangi risiko, memperbaiki sebagian luka, dan memperlambat kerusakan yang lebih besar.
Caranya jelas:
- tata kelola lingkungan yang transparan,
- penegakan hukum tanpa kompromi,
- evaluasi ketat proyek pembangunan, terutama yang berpotensi merusak ekosistem,
- pemulihan hutan dan pesisir,
- serta kebiasaan hidup ramah lingkungan yang dimulai dari rumah, sekolah, hingga kantor pemerintah.
Mitigasi bencana juga harus dipahami sebagai pengetahuan publik, bukan acara seremoni tahunan. Masyarakat perlu dibekali keterampilan nyata untuk menghadapi risiko yang semakin tidak terduga.
Tobat Ekologis: Mengembalikan Batas yang Kita Rusak
Paus Fransiskus mengingatkan pentingnya tobat ekologis—sebuah kesadaran bahwa manusia selama ini hidup melampaui batas. Kita mengambil lebih banyak daripada yang bumi sanggup pulihkan. Kita membangun tanpa menghitung dampak. Kita melanggar aturan, bahkan ketika tahu bahwa generasi mendatang akan menanggung akibatnya.
Tobat ekologis bukan sekadar konsep spiritual. Ia adalah ajakan moral dan politis untuk mengembalikan etika dalam pengelolaan alam: mengurangi kerakusan, menahan ambisi, dan menghentikan eksploitasi yang melampaui daya dukung bumi.
Bumi Tidak Butuh Kita—Kita yang Butuh Bumi
Ada satu kenyataan yang sulit ditelan: bumi tidak membutuhkan manusia untuk tetap hidup, tetapi manusia tidak bisa bertahan tanpa bumi. Planet ini akan terus berputar meski kita punah. Yang terancam bukan alam, melainkan keberlanjutan hidup kita.
Itulah sebabnya peduli lingkungan bukanlah tren, bukan slogan kampanye, bukan pula pilihan gaya hidup. Ia adalah syarat keberlangsungan hidup.
Hari ini, di tengah frekuensi bencana yang meningkat, cermin itu sudah jelas terlihat. Pertanyaannya hanya satu: berani kah kita mengubah diri, sebelum bumi mengubah kita dengan cara yang lebih keras?
Pilihan





