1.5 Kilometer: Sebuah Rutinitas Kecil yang Menjadi Kenangan Besar
Oleh: Iyan Eppakna Hamka
Ada perjalanan-perjalanan yang terasa panjang meski jaraknya pendek, bukan karena medan yang sulit, tetapi karena hati kita begitu penuh selama menjalaninya. Begitulah perjalanan 1.5 kilometer saya setiap sore, mengantar Hamka menuju tempat mengaji. Jaraknya memang pendek, tetapi kisah yang mengisi perjalanan itu selalu terasa melampaui hitungan kilometer.
Setiap kali motor dinyalakan, dunia serasa mengecil menjadi hanya dua: saya dan Hamka. Begitu roda mulai bergerak, Hamka langsung berubah menjadi pencerita ulung. Tanpa ada aba-aba, ia memulai apa yang saya sebut sebagai “Vlog Harian Hamka”—sebuah rangkuman padat dan jujur tentang perjalanan hari-harinya.
Di tengah dengungan mesin motor dan angin yang menyambar wajah, Hamka berkisah tentang gurunya yang lucu, teman sekelasnya yang iseng, PR yang menyebalkan, hingga hal-hal kecil yang ia temui: seekor kucing tidur di bawah meja, suara sendok jatuh di kantin, atau bentuk awan yang menurutnya mirip dinosaurus. Ceritanya meluncur begitu saja, polos, segar, dan tidak pernah gagal membuat saya merasa sedang mendengar sesuatu yang sangat penting. Dalam jarak singkat itu, saya merasa seperti menyaksikan dunia kecilnya tumbuh dan bergerak.
Namun, ada satu hal yang membuat perjalanan ini selalu punya bumbu tak terduga: serangga biang kelilipan.
Mereka adalah makhluk-makhluk super kecil—bukan kupu-kupu indah atau capung gemerlap—melainkan pasukan mikro yang seolah menunggu di udara untuk melakukan “serangan kamikaze” ke mata para pengendara motor.
Seringkali, di tengah cerita Hamka yang sedang seru-serunya, seekor atau dua ekor agas nakal—atau dalam bahasa Madura disebut reguh mon—menabrak wajah kami. Refleks kelilipan muncul seketika. Saya akan mengedip keras, sementara Hamka berhenti bercerita lalu tergelak melihat saya yang tiba-tiba heboh. Tak jarang, gilirannya datang: serangga itu mendarat di matanya, dan kini gantian saya yang menertawakannya. Kami seperti dua aktor tak sengaja dalam komedi kecil di atas motor.
“Reguh mon! Nakal benna!” Hamka akan mengomel sambil mengusap mata.
Dan saya hanya mengangguk-angguk, menahan tawa.
Anehnya, gangguan kecil itu justru menjadi semacam jeda yang menyenangkan. Sebuah titik koma dalam perjalanan kami. Saat setelahnya Hamka melanjutkan cerita, suaranya kadang jadi lebih semangat, seolah insiden serangga itu memberi energi baru. Dan saya, yang masih mengedip-gedip, merasa peristiwa sederhana itu adalah bumbu yang membuat perjalanan pendek ini semakin hidup.
Perjalanan 1.5 kilometer ini seperti kapsul waktu. Setiap hari saya bisa melihat perubahan kecil pada diri Hamka: cara ia bercerita, kosakatanya, tawa yang semakin matang, cara berpikirnya yang perlahan merangkak menuju kedewasaan kecil. Dan saya selalu merasa beruntung menjadi orang pertama yang mendengarnya, orang yang mendapat rekaman paling awal dari tumbuhnya dunia batin seorang anak.
Ada kalanya cerita Hamka berubah serius. Ia bicara tentang pelajaran yang sulit, temannya yang sedang sedih, atau kegelisahan kecil yang tak bisa ia ungkapkan di rumah. Di momen-momen seperti itu, walaupun saya sedang mengendarai motor, hati saya seperti ikut duduk di belakang tubuh kecilnya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Kadang saya hanya bisa menanggapi singkat, “Oh begitu, Nak,” atau “Nanti kita pikirkan bareng-bareng, ya.” Tetapi saya tahu, bagi anak seusianya, didengarkan adalah hadiah yang besar.
Dan saya juga belajar sesuatu: bahwa perjalanan menuju tempat mengaji ternyata tidak hanya menjadi jalan Hamka untuk mencari ilmu agama. Di waktu yang sama, saya belajar tentang arti kebersamaan yang paling murni—tentang bagaimana kehadiran sederhana dapat menciptakan hubungan yang kuat.
Pada akhirnya, setiap kali motor berhenti di halaman tempat mengaji, saya selalu merasa ada yang tertinggal dalam perjalanan itu: sepotong cerita, sebutir tawa, kadang sedikit kelilipan yang masih mengganjal. Tetapi jauh lebih dari itu, ada rasa hangat bahwa saya telah benar-benar hadir untuk anak saya, meski hanya dalam perjalanan sesingkat itu.
Kini, 1.5 kilometer itu bukan lagi sekadar angka di peta. Ia sudah berubah menjadi garis tipis yang menghubungkan dua dunia: dunia belajar Hamka, dan dunia belajar saya sebagai orang tua. Dan di garis tipis itu, ada angin sore, ada suara mesin motor, ada tawa kecil kami, dan tentu saja—ada serangga-serangga nakal yang selalu siap menjadi pemeran tambahan.
Barangkali kelak Hamka akan tumbuh besar dan lupa pada detail perjalanan ini. Tetapi saya tahu, dalam diri saya, 1.5 kilometer itu akan selalu menjadi catatan perjalanan yang paling lengkap—catatan tentang cinta sederhana yang bergerak perlahan di atas roda, di antara cerita-cerita kecil seorang anak, dan di balik kelilipan yang tak pernah benar-benar hilang.
(Editor: Rulis)
Pilihan




