Aeng Tong-tong: Jantung Keris Nusantara yang Tak Pernah Padam

Saat prosesi penjamasan keris di Desa Aeng Tong-tong 

 Di antara hiruk-pikuk modernisasi yang serba cepat, ada satu benda pusaka yang tetap tegak mempertahankan pamornya: keris. Ia bukan sekadar artefak logam, bukan pula hanya aksesoris yang diselipkan di punggung busana adat, tetapi simbol identitas kebudayaan Nusantara yang telah melewati ratusan tahun usia peradaban. Bahwa keris “tetap eksis” bukanlah klaim kosong. Di dalam dan luar negeri, kolektor masih berburu pamor, memperbincangkan dhapur, dan menjaga tradisi yang diwariskan para empu dengan penuh penghormatan.

Di Indonesia, hampir setiap daerah memiliki keris dengan karakteristik berbeda. Namun ada satu titik kecil di Pulau Madura yang memegang kisah paling kuat: Desa Aeng Tong-tong, Kecamatan Saronggi, Sumenep. Desa ini—yang berada di wilayah yang telah lama menyandang julukan Kota Keris—tak hanya menjadi pusat produksi keris terbesar di Madura, tetapi juga pusat pengetahuan, warisan, dan ingatan panjang tentang masa ketika keris bukanlah barang koleksi, melainkan senjata sakral para raja.

Jejak Raja yang Datang Mengasingkan Diri

Cerita tentang Aeng Tong-tong tidak bisa dilepaskan dari kisah seorang raja yang datang mengasingkan diri ratusan tahun silam. Riwayat lisan menyebutkan bahwa sang raja tengah dalam masa persembunyian, menghindar dari kejaran musuh politiknya. Ia tidak datang sendirian. Bersamanya, ia membawa seorang empu—pengrajin keris sakti yang sangat ia percayai.

Empu inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai akar awal tradisi keris di Aeng Tong-tong. Keris yang dibuatnya bukan seperti keris modern yang dapat ditemukan di etalase toko seni atau pasar koleksi. Keris empu dahulu adalah senjata bertuah, dibuat melalui rangkaian ritual, doa, puasa, tirakat, dan penggunaan bahan-bahan tertentu yang diyakini memiliki kekuatan spiritual. Karena itu, keris masa lampau dipercaya mampu memberi perlindungan, kemenangan dalam pertempuran, hingga wibawa bagi pemiliknya.

Di tangan empu tersebut, ilmu pembuatan keris tidak berhenti menjadi rahasia kerajaan semata. Secara perlahan, masyarakat Aeng Tong-tong mulai belajar—mengamati pengolahan logam, memahami jenis material, menerjemahkan makna lekuk bilah, hingga menghafal nama-nama pamor yang rumit. Tidak mudah, tentu saja. Keris bukan sekadar besi yang ditempa lalu dibentuk. Ia adalah bahasa simbolis yang diwariskan melalui detail lekukan, bilangan luk, dan corak pamor yang mengandung nilai filosofi.

Namun para pendahulu Aeng Tong-tong tidak menyerah. Mereka belajar dengan sabar, tekun, dan penuh pengabdian. Dari desa kecil ini, lahirlah generasi demi generasi pembuat keris hingga hampir seluruh warga di tiga desa di sekitarnya—Aeng Tong-tong, Aeng Dake, dan Aeng Baja—pernah menekuni pembuatan keris.

Tugu, Tanah Pertanian, dan Tumpukan Keris Purbakala

Kekuatan tradisi itu tidak hanya bertahan melalui cerita lisan. Beberapa tahun silam, warga menemukan sebuah tugu tua di area persawahan yang mencantumkan tanggal, tahun, dan nama seorang raja. Di sekitarnya ditemukan pula tumpukan keris tua yang diperkirakan merupakan hasil karya empu masa lampau.

Temuan itu menjadi semacam penegasan bahwa Aeng Tong-tong bukan sekadar desa pengrajin keris biasa. Ia adalah situs sejarah hidup. Desa yang merekam jejak masa ketika keris adalah pusat sistem pertahanan, kekuasaan, dan spiritualitas para penguasa Sumenep.

Dari Sakti ke Estetik: Perubahan Peran Keris

Zaman berubah, dan bersama perubahan itu, fungsi keris ikut bergeser. Jika ratusan tahun lalu keris disematkan di pinggang raja sebagai senjata tajam dan simbol kekuatan, hari ini keris lebih banyak hadir sebagai:

  • barang koleksi, dinilai dari keindahan pamor dan dhapurnya,
  • asesori busana adat, khususnya dalam prosesi pernikahan,
  • pelengkap sesajen, dalam upacara adat tertentu,
  • kerajinan budaya yang menjadi identitas daerah.

Dalam perjalanan panjang ini, satu hal penting yang hilang adalah unsur ritual dalam proses pembuatannya. Para empu masa kini tidak lagi diperbolehkan melakukan ritual mistis, baik karena larangan hukum maupun pandangan sosial yang telah berubah. Karena itu, keris modern lebih menonjolkan keahlian teknis, estetika, dan nilai seni.

Meski demikian, para pengrajin tetap menjaga kesetiaan pada bentuk dan corak klasik, terutama yang diwariskan dari masa kerajaan. Bagi mereka, melestarikan dhapur dan pamor tradisional adalah bentuk penghormatan pada nenek moyang. Benda pusaka ini tidak boleh kehilangan jati diri, meski alat produksi sudah banyak memanfaatkan teknologi modern.

Aeng Tong-tong Hari Ini: Desa yang Dihidupkan Keris

Jika Anda masuk ke Aeng Tong-tong hari ini, Anda akan menemukan suara ketukan besi pada besi yang terdengar hampir di setiap sudut desa. Asap pembakaran membumbung dari rumah ke rumah. Anak-anak, orang tua, dan perempuan tampak akrab dengan lingkungan kerja tempa yang hangat.

Di desa ini, keris bukan hanya benda, tetapi nadi ekonomi. Banyak keluarga yang menggantungkan hidup pada pesanan keris dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Kolektor Malaysia, Singapura, Jepang, hingga Eropa datang untuk melihat langsung proses pembuatan keris Madura yang terkenal detail dan rumit.

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, permintaan keris tidak surut. Para pengrajin justru sering kewalahan menerima pesanan. Namun satu hal yang selalu dijaga adalah prinsip: modern alatnya boleh, tetapi ruhnya tetap tradisi. Mesin digunakan pada tahap tertentu demi efisiensi, tetapi pekerjaan ukir—bagian paling simbolik dan filosofis—tetap dilakukan secara manual. Pahat kecil, gerakan halus, dan intuisi artistik adalah warisan yang tak bisa digantikan mesin.

Pamor, Dhapur, dan Keunikan yang Tak Tertandingi

Keris memiliki beberapa keunikan dibandingkan pusaka lainnya.

  1. Bentuk Bilah yang Tidak Simetris dan Berlekuk

Ciri paling dikenal dari keris adalah bilahnya yang tidak simetris, dengan pangkal yang melebar dan lekukan (luk) yang jumlahnya mengandung makna tertentu. Ada keris lurus, ada pula yang memiliki 3, 5, 7, hingga 13 lekuk. Masing-masing melambangkan filosofi Jawa dan Madura yang dalam.

  1. Pamor: Motif yang Bukan Sekadar Hiasan

Pamor adalah motif pada bilah keris yang muncul dari perpaduan berbagai logam. Pamor bukan ornamen buatan, tetapi terbentuk dari teknik tempa lipat berulang-ulang. Nama-nama pamor seperti Udan Mas, Banyu Mili, Beras Wutah, atau Tunggak Semi bukan hanya julukan estetis, tetapi simbol rezeki, harapan, perlindungan, dan kebijaksanaan.

  1. Dhapur: Anatomi Keris

Dhapur adalah bentuk keseluruhan keris, termasuk ricikan-ricikannya. Ada ratusan dhapur yang dikenal para empu, masing-masing dengan ciri dan makna yang berbeda. Pengetahuan tentang dhapur dan pamor tidak hanya teknis, tetapi juga historis, filosofis, dan spiritual.

Semua ini menjadi bukti bahwa keris bukan sekadar benda tajam, tetapi “teks budaya” yang bisa dibaca melalui bilahnya.

Ketika Anak Muda Mulai Menjauh

Di balik keagungan tradisi keris, ada kegelisahan yang mengintai. Para empu di Aeng Tong-tong mengeluhkan semakin sedikitnya anak muda yang tertarik mempelajari kerajinan ini. Di era digital, banyak dari mereka memilih pekerjaan yang dianggap lebih modern dan menjanjikan.

Padahal, keris adalah bagian penting identitas Sumenep, bagian yang membuat daerah kecil ini dikenal hingga mancanegara. Jika generasi muda tidak mengambil peran, ada kekhawatiran bahwa keahlian membuat keris—yang diwariskan dari abad ke abad—suatu hari akan terputus.

Para empu berharap ada perhatian lebih dari pemerintah, lembaga kebudayaan, dan dunia pendidikan. Bukan hanya untuk memberi ruang pemasaran, tetapi untuk membuat keris kembali relevan bagi generasi muda: melalui pendidikan, kurikulum seni, festival budaya, atau pelatihan berkelanjutan.

Warisan yang Tidak Boleh Padam

Aeng Tong-tong adalah desa kecil, tetapi perannya besar dalam menjaga salah satu warisan budaya Indonesia yang paling ikonik. Dari tempat inilah keris—benda yang memadukan seni, sejarah, dan spiritualitas—terus dilahirkan, dirawat, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia.

Keris bukan lagi senjata raja. Ia telah menjelma menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Menjadi kebanggaan yang terbuat dari api, logam, dan tradisi. Melalui para empu di Aeng Tong-tong, kita belajar bahwa sebuah tradisi hanya akan bertahan ketika ada tangan-tangan yang setia merawatnya, generasi demi generasi.

Dan selama suara tempa masih bergema setiap pagi di desa ini, selama api dapur besi masih menyala, selama pamor masih digoreskan dengan ketelatenan, maka Aeng Tong-tong akan tetap menjadi jantung keris Nusantara.

(Rulis)

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 87541462786000167

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close