Tradisi Rebbã di Sumenep: Harmoni Dakwah, Budaya, dan Spiritualitas Ramadan

Ter-ater bentuk kearifan lokal Madura yang meneguhkan rasa kebersamaan

Penyebaran ajaran Islam di Nusantara merupakan perjalanan panjang yang tidak hanya menyentuh aspek keagamaan, tetapi juga bersentuhan dengan kebudayaan lokal. Para ulama, terutama di wilayah-wilayah yang kaya tradisi seperti Kabupaten Sumenep, menunjukkan kecerdasan kultural yang luar biasa. Mereka tidak memaksakan ajaran Islam secara kaku, tetapi menyampaikannya melalui pendekatan yang halus, memadukan nilai-nilai Islam dengan adat dan budaya masyarakat. Sumenep, dengan keragaman tradisinya dan masyarakatnya yang menjunjung tinggi sopan santun, menjadi ruang yang subur bagi dakwah yang santun dan penuh hikmah.

Para ulama Sumenep memahami bahwa masyarakat Madura memiliki karakter kuat dalam menghormati leluhur, menjaga hubungan kekeluargaan, serta memelihara nilai gotong royong. Nilai-nilai ini bukan hanya menjadi aspek sosial, tetapi bagian dari identitas spiritual masyarakat. Karena itu, dakwah bil hal—dakwah melalui keteladanan, tindakan, dan sikap—menjadi metode yang paling tepat dan efektif. Lewat keteladanan, para ulama memperlihatkan bagaimana ajaran Islam dapat hidup berdampingan dengan tradisi lokal tanpa menimbulkan gesekan budaya.

Salah satu bentuk harmonisasi antara ajaran Islam dan kearifan lokal yang masih lestari hingga hari ini adalah tradisi ter-ater atau Rebbã. Tradisi ini bukan sekadar ritual berbagi makanan, tetapi sebuah pernyataan tentang nilai kepedulian, rasa syukur, dan silaturahmi. Pada masyarakat Sumenep, ter-ater dilakukan pada berbagai momen, mulai dari syukuran keluarga, khitanan, kelahiran anak, hingga panen raya. Namun, di antara seluruh momentum itu, tradisi Rebbã di bulan Ramadan menjadi yang paling kental nilai spiritualnya.

Ter-ater dan Rebbã: Jejak Kearifan Lokal yang Meneguhkan Kebersamaan

Dalam kehidupan masyarakat pedesaan Sumenep, ter-ater adalah denyut nadi kebersamaan. Hampir setiap keluarga pernah melakukannya. Ketika seorang ibu memasak lebih banyak dari biasanya, terutama makanan spesial, anak-anak di rumah bisa menebak: “Ini pasti untuk ter-ater.” Mereka akan membantu menata makanan ke dalam piring, mangkuk, baskom kecil, atau rantang, lalu mengantarkannya ke rumah tetangga, saudara, atau tokoh kampung.

Tradisi ini mengajarkan bahwa rezeki bukan hanya milik pribadi, melainkan juga untuk membahagiakan orang lain. Membagikan makanan kepada tetangga dianggap sebagai sedekah yang membawa keberkahan. Inilah yang kemudian dalam istilah Madura dikenal sebagai Rebbã, yang berasal dari kerata basa reb (ngarep: mengharap) dan ba (barokah: berkah). Makna simbolisnya adalah mengharap berkah dari Allah melalui tindakan saling berbagi.

Lingkungan pedesaan di Sumenep memiliki suasana yang khas ketika tradisi Rebbã dilakukan. Pada sore hari, anak-anak berlarian di gang membawa rantang berisi makanan. Para ibu saling bertukar senyum sembari menanyakan kabar keluarga yang lain. Di rumah-rumah, suara ketukan pintu menjadi pertanda datangnya Rebbã. Meskipun sederhana, suasana seperti itu menghadirkan kegembiraan tersendiri.

Lebih jauh, tradisi Rebbã memperkuat ikatan sosial masyarakat. Ia menjadi ruang yang merekatkan hubungan yang mungkin renggang, menjembatani kesenjangan, dan menumbuhkan rasa saling peduli. Pada momen tertentu, Rebbã bahkan menjadi alat sosial untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua atau berilmu.

Namun, tradisi Rebbã memiliki dimensi yang lebih kaya ketika memasuki bulan Ramadan. Hampir setiap keluarga di Sumenep memiliki jadwal Rebbã masing-masing berdasarkan kebiasaan turun-temurun. Jenis makanan yang dibawa pun memiliki makna filosofis yang mendalam.

Rebbã Ramadan: Harmoni Rasa, Doa, dan Filosofi

Ramadan bukan hanya bulan ibadah, tetapi juga bulan kebersamaan. Di Sumenep, semarak Ramadan tidak hanya tampak dari ramainya masjid saat tarawih, tetapi juga dari aktivitas Rebbã yang menggeliat di berbagai kampung. Setiap jenis Rebbã memiliki waktu pelaksanaan, makanan khas, dan pesan moral yang telah diwariskan oleh para sesepuh.

Secara umum, Rebbã di Ramadan dilakukan empat kali:

  1. Menjelang Ramadan (Akhir Sya’ban)
  2. Malam 21 Ramadan
  3. Malam 27 Ramadan
  4. Akhir Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri

Setiap Rebbã menyimpan filosofi mendalam yang mengajarkan nilai kesabaran, keikhlasan, syukur, hingga konsistensi dalam beribadah.

  1. Rebbã Topa’ bãn Apen (Ketupat dan Apem)

Dilakukan pada akhir bulan Sya’ban, Rebbã ini disebut Pasaran Puasa. Pada hari tersebut, suasana kampung berubah menjadi dapur besar. Hampir semua rumah menanak ketupat dan memanggang apem. Bau anyaman janur yang direbus dan aroma apem yang manis seakan menjadi pertanda bahwa Ramadan sudah sangat dekat.

Filosofi Topa’ (Ketupat)

Kerata basa topa’ berasal dari kata paèsto (benar-benar) dan pateppa’ (menetapkan dengan sungguh-sungguh). Filosofi ini mengajarkan bahwa memasuki Ramadan, seorang Muslim harus menguatkan niat ibadahnya: memperbaiki diri, membersihkan hati, dan mengharap ridha Allah.

Ketupat yang berisi padat dan berwarna putih melambangkan hati yang bersih dan keteguhan iman. Anyaman janur yang saling menyilang juga sering dimaknai sebagai simbol kesalahan yang terurai melalui ibadah.

Filosofi Apen (Apem)

Kata apen berasal dari alako (mengerjakan) dan pajheppen (tidak terpengaruh godaan). Artinya, seseorang harus menjaga konsistensi dalam berpuasa: menjaga lisan, pandangan, emosi, serta tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang membatalkan atau merusak pahala puasa.

Siraman gula merah pada apem mengingatkan bahwa kesungguhan dalam beribadah akan menghasilkan manisnya keberkahan.

  1. Rebbã Nasè’ (Nasi) – Malam 21 Ramadan

Ketika Ramadan memasuki sepertiga terakhir, masyarakat Sumenep melaksanakan Rebbã nasi. Pada malam 21, para ibu menanak nasi dengan lauk sederhana, biasanya ikan tongkol, ayam, atau sambal santan. Makanan itu kemudian dikirim kepada tetangga dan keluarga.

Filosofi Nasè’

Kerata basa nasè’ berasal dari paperna (betah) dan ja’ pamossè’ (tidak banyak tingkah). Maknanya, seorang Muslim harus tetap teguh dan betah dalam beribadah, meskipun Ramadan sudah berjalan panjang. Malam-malam terakhir Ramadan adalah puncak spiritualitas, sehingga konsistensi dalam ibadah menjadi sangat penting.

Warna putih nasi juga menjadi simbol kesucian hati, menggambarkan harapan agar ibadah di sepuluh malam terakhir diterima oleh Allah.

  1. Rebbã Kolek bãn Palotan (Kolak dan Ketan) – Malam 27 Ramadan

Malam 27 adalah malam yang sangat dinanti oleh sebagian masyarakat. Di malam ini, rumah-rumah di Sumenep biasanya dipenuhi dengan aroma kolak yang manis dan ketan yang gurih. Makanan tersebut dibawa ke musala, rumah kyai, dan tetangga.

Filosofi Kolak dan Ketan

Kolak melambangkan harapan memperoleh “manis” dari ibadah puasa—yakni pahala, ampunan, dan kedekatan kepada Allah. Pisang dan gula merah yang manis mengingatkan betapa ibadah yang dilakukan dengan niat tulus akan memberikan hasil yang menenangkan hati.

Ketan yang lengket melambangkan harapan agar hikmah Ramadan terus melekat dalam jiwa. Artinya, perubahan baik yang dialami selama Ramadan tidak berhenti begitu saja ketika bulan suci berakhir, tetapi bertahan menjadi karakter dan kebiasaan yang lebih baik.

  1. Rebbã Nasi dan Kue – Hari Raya Idul Fitri

Rebbã terakhir dilakukan pada akhir Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri. Pada hari kemenangan itu, keluarga-keluarga menata hidangan berupa nasi, lauk pauk, serta satu atau dua jenis kue tradisional seperti apem, roti kokoh, gelang-gelang, atau kue cucur.

Rebbã hari Raya bukan hanya sedekah, tetapi juga simbol kebahagiaan. Melalui makanan yang dibagikan, masyarakat saling mendoakan, mempererat tali silaturahmi, serta menunjukkan rasa syukur setelah sebulan penuh berpuasa.

Suasana pada hari tersebut sangat meriah. Anak-anak memakai baju baru, para orang tua menyambut tamu yang datang bertandang, dan setiap rumah memiliki hidangan Rebbã yang siap dibagikan. Rebbã menjadi bagian penting dari perayaan Idul Fitri di Sumenep.

Makna Spiritual dan Sosial Tradisi Rebbã

Lebih dari sekadar ritual, Rebbã mengandung nilai filosofis yang menyentuh banyak aspek:

  1. Penguatan Silaturahmi

Tradisi ini memperkuat hubungan antarwarga, memperbaiki hubungan yang mungkin renggang, dan menjalin keakraban yang lebih erat.

  1. Pendidikan Karakter

Rebbã mengajarkan anak-anak tentang pentingnya berbagi, menghargai sesama, dan memahami bahwa rezeki harus membawa manfaat bagi orang lain.

  1. Penyebaran Nilai Islam

Melalui Rebbã, masyarakat mempraktikkan sedekah, syukur, dan kepedulian—nilai yang sangat dijunjung dalam ajaran Islam.

  1. Pelestarian Budaya

Rebbã menjadi wujud bagaimana Islam dan budaya lokal dapat bersatu, saling memperkaya, dan menciptakan harmoni dalam kehidupan masyarakat.

Penutup: Warisan Tradisi yang Menghidupkan Kebersamaan

Tradisi Rebbã di Sumenep bukan hanya jejak masa lalu, tetapi energi yang terus hidup hingga kini. Ia menjadi bukti bahwa nilai-nilai Islam dapat tumbuh subur dalam tanah budaya lokal tanpa kehilangan makna. Rebbã menyatukan rasa syukur, kebersamaan, dan spiritualitas dalam tindakan sederhana: berbagi makanan.

Di tengah kehidupan modern yang sering individualistis, Rebbã mengingatkan masyarakat bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya hadir dari apa yang dimiliki, tetapi dari apa yang diberikan. Bahwa berkah datang bukan dari jumlah, tetapi dari keikhlasan. Dan bahwa tradisi, ketika dipahami dengan arif, dapat menjadi jembatan antara budaya, agama, dan kemanusiaan.

Penulis: Zainal Abidin
Diedit dan dikembangkan oleh Rulis


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 2575278269280024622

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close