Integrasi Spiritualitas dan Konseling: Menumbuhkan Moral Remaja di Tengah Krisis Nilai
Oleh : M. Wildan*
Krisis moral remaja bukan sekadar isu sosial, melainkan gejala kehilangan arah hidup di tengah derasnya arus globalisasi. Dunia yang serba cepat dan terbuka membuat nilai-nilai spiritual yang dahulu menjadi penuntun kini memudar perlahan. Media sosial menjelma panggung tempat banyak remaja mencari validasi, bukan makna diri. Akibatnya, batas antara benar dan salah, penting dan sia-sia, kian kabur.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024), jumlah pemuda Indonesia mencapai 64,22 juta orang, sekitar 20 persen dari total populasi, dan 60,72 persen di antaranya tinggal di wilayah perkotaan. Angka ini menggambarkan potensi luar biasa sekaligus tantangan besar, mengingat kehidupan perkotaan sering kali menumbuhkan pola pikir instan dan individualistis. Sementara itu, survei Katadata (2024) menunjukkan bahwa 79,3 persen remaja Indonesia masih mempertimbangkan nilai-nilai agama dalam mengambil keputusan penting. Data ini menandakan bahwa spiritualitas belum benar-benar mati, tetapi membutuhkan ruang dan pendampingan agar dapat tumbuh sehat di tengah tekanan budaya modern.
Konseling merupakan proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami dan mengatasi permasalahan yang dihadapinya secara mandiri. Gibson dan Mitchell (2011) menyebut konseling sebagai proses interaksi terencana antara konselor dan klien untuk memfasilitasi perubahan perilaku, pemahaman diri, serta pengambilan keputusan yang lebih sehat. Prayitno (2012) menambahkan bahwa konseling merupakan layanan profesional yang berorientasi pada perkembangan pribadi, sosial, belajar, dan karier individu. Dengan demikian, konseling tidak hanya bertujuan menyelesaikan masalah, tetapi juga membentuk kemandirian dan keseimbangan dalam diri seseorang.
Dalam konteks pendidikan Islam, konseling yang terintegrasi dengan nilai-nilai spiritual menjadi sangat penting. Nilai spiritual tidak semata berkaitan dengan ibadah ritual, tetapi juga mencakup kesadaran akan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan dirinya sendiri. Corey (2013) menegaskan bahwa dimensi spiritual merupakan salah satu aspek penting dalam kesejahteraan psikologis. Zohar & Marshall (2000) menyebutnya sebagai spiritual quotient (SQ), yakni kecerdasan untuk menghadapi dan memaknai penderitaan hidup. Sementara itu, Koenig (2001) dan Ancok & Suroso (2011) menunjukkan bahwa spiritualitas dapat berperan sebagai daya tahan psikologis yang kuat, terutama bagi remaja yang sedang mencari jati diri. Dengan demikian, praktik konseling menjadi lebih manusiawi, holistik, dan berakar pada nilai religius yang mampu membentuk pribadi remaja seimbang antara akal, hati, dan iman.
Pendekatan psikologi Islami dalam bimbingan dan konseling pendidikan merupakan sintesis antara teori-teori psikologi modern dan nilai-nilai spiritual Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Pendekatan ini berpijak pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk jasmani dan ruhani yang utuh, sehingga keseimbangan antara aspek psikis, moral, dan spiritual menjadi kunci pembinaan kepribadian. Tujuannya bukan hanya menyelesaikan persoalan emosional, tetapi juga mengarahkan individu menuju Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa), peningkatan kesadaran spiritual, dan pembentukan akhlak mulia.
Model bimbingan Islami menempatkan prinsip tauhid sebagai pusat transformasi psikologis, di mana hubungan manusia dengan Allah SWT menjadi dasar dalam setiap proses konseling. Dalam praktiknya, model ini mengintegrasikan strategi dan teknik konseling modern dengan nilai-nilai Qur’ani. Misalnya, client-centered therapy dipadukan dengan konsep muhasabah (refleksi diri) dan ta’aruf (pengenalan diri) untuk menumbuhkan empati dan penerimaan diri secara spiritual. Cognitive restructuring dikaitkan dengan nilai husnuzan (berprasangka baik) dan tawakal (berserah diri) guna membentuk pola pikir positif yang berlandaskan iman. Reality therapy diintegrasikan dengan konsep amanah dan etika sosial Islam untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu, sementara assertive training diselaraskan dengan nilai adab dan kesantunan dalam berkomunikasi.
Hasil penerapan pendekatan psikologi Islami menunjukkan peningkatan kesejahteraan psikologis, keseimbangan emosional, dan spiritualitas peserta didik. Nilai-nilai seperti sabar, syukur, dan tawakal terbukti berfungsi sebagai faktor protektif terhadap tekanan sosial dan akademik. Dalam konteks konseling karir, orientasinya tidak hanya pada kesuksesan profesional, tetapi juga pada keberkahan dan kemaslahatan sosial. Dengan demikian, model bimbingan Islami dapat menjadi paradigma baru dalam praktik konseling pendidikan Islam yang lebih holistik, humanistik, dan transendental.
Dalam wawancara dengan Bapak Surowi, guru pembimbing di lingkungan pesantren MTs Annuqayah (28 Oktober 2025), beliau menegaskan bahwa pendekatan spiritual sangat membantu dalam memahami permasalahan remaja. Menurutnya, banyak santri merasa lebih tenang ketika diajak refleksi melalui doa, zikir, atau nasihat berbasis nilai keagamaan. “Remaja itu tidak cukup hanya diberi solusi logis,” ujarnya, “mereka butuh disentuh dari sisi hati dan keimanannya.” Hal ini menunjukkan bahwa integrasi nilai spiritual dalam konseling bukan sekadar pelengkap, tetapi bagian esensial dalam pembinaan karakter dan kedewasaan emosional.
Sementara itu, dalam konteks pendidikan umum, tantangan yang dihadapi guru bimbingan dan konseling menjadi jauh lebih kompleks. Jika di pesantren nilai spiritual sudah menjadi budaya hidup, maka di sekolah negeri nilai-nilai itu sering kali harus diperjuangkan di tengah arus sekularisasi dan penetrasi budaya digital. Dalam wawancara dengan Bapak Iskandar, M.Pd.I, Guru Bimbingan dan Konseling di SMAN 1 Sampang (30 Oktober 2025), beliau menilai kondisi moral remaja saat ini berada di persimpangan yang kritis. Teknologi, menurutnya, memang membuka akses belajar yang luas, namun sekaligus menumbuhkan kerentanan terhadap konten negatif, budaya instan, dan krisis empati sosial. Ia menjelaskan bahwa penurunan kualitas interaksi keluarga, krisis keteladanan publik, serta lemahnya literasi moral digital menjadi faktor utama terjadinya degradasi nilai di kalangan remaja.
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa peran konselor sekolah harus bergerak lebih proaktif dalam menghadapi situasi ini. “Bimbingan dan konseling di sekolah tidak boleh hanya menjadi reaktif terhadap masalah,” ujarnya, “tetapi harus menjadi sistem pembinaan moral yang hidup.” Melalui layanan dasar seperti edukasi karakter, etika digital, dan konseling individu yang berfokus pada refleksi diri, BK diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran moral bukan lewat hukuman, melainkan lewat pembiasaan dan tanggung jawab sosial.
Bapak Iskandar juga menyoroti pentingnya integrasi nilai spiritual dalam praktik konseling tanpa terkesan menggurui. Menurutnya, spiritualitas seharusnya menjadi sumber daya batin siswa, bukan dogma dari konselor. Ia mempraktikkan pendekatan reflektif dengan bertanya pada siswa, “Menurut keyakinanmu, apakah tindakan ini selaras dengan ajaran agamamu?” Strategi ini membantu remaja mengaitkan nilai moral dengan keimanan mereka sendiri, bukan paksaan dari luar. Ia menambahkan, “Pendekatan spiritual bukan tentang mengubah siswa menjadi religius secara formal, tapi menumbuhkan makna hidup dan identitas diri yang kokoh.”
Dalam pandangannya, pendekatan spiritual mampu memberikan arah hidup dan stabilitas batin bagi remaja, karena spiritualitas menawarkan dua hal mendasar: identitas abadi sebagai hamba Tuhan, dan tujuan akhir yang melampaui dunia material. “Spiritualitas membuat setiap keputusan menjadi bermakna,” tuturnya, “karena remaja memahami untuk apa dan untuk siapa mereka hidup.”
Namun, beliau juga menyadari adanya tantangan besar dalam penerapan konseling bernuansa religius di sekolah. Tidak semua guru BK memiliki pelatihan konseling spiritual, dan masih banyak stigma bahwa pendekatan ini identik dengan ceramah agama. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah pelatihan lintas keyakinan dan pendekatan etis agar spiritualitas dapat dihadirkan secara universal berbasis nilai moral kemanusiaan.
Sebagai penutup, beliau menyampaikan pesan yang menggema bagi generasi muda di era saat ini:
“Di tengah derasnya arus informasi, jangan hanya jadi penumpang yang hanyut. Jadilah navigator hidupmu sendiri. Kekuatan moral dan spiritual adalah kompas sejati yang tidak akan pernah error. Orang paling sukses bukan yang paling pintar, tapi yang paling berintegritas dan berempati.”
Pandangan Bapak Iskandar mempertegas bahwa pembinaan moral remaja tidak bisa dilepaskan dari kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan lembaga keagamaan. Ketiganya membentuk ekosistem pendidikan karakter yang saling menguatkan sekolah sebagai ruang belajar nilai, keluarga sebagai teladan hidup, dan lembaga keagamaan sebagai penjaga ruh spiritual masyarakat.
Kolaborasi nilai tersebut tentu memerlukan penerapan yang konkret dalam ruang pendidikan. Di sinilah peran Bimbingan dan Konseling menjadi strategis, tidak hanya sebagai pendamping emosional, tetapi juga sebagai jembatan antara teori moral dan realitas sosial yang dihadapi remaja.
Sebagai pelengkap pandangan tersebut, wawancara dengan Bapak Syahirul Alim, S.E. Pada Tanggal (29 Oktober) di Lingkungan Madrasah Aliyah 1 Annuqayah, yang mana beliau adalah mantan Koordinator BK di MA 1 Annuqayah dan saat ini guru tetap di lembaga yang sama, beliau menegaskan urgensi pendekatan BK yang lebih sistematis dan berbasis bukti. Dari sudut pandang praktisi, Bapak Syahirul menilai remaja kini berada di zona risiko tinggi karena paparan konten digital tanpa filter serta putusnya narasi adab dan konteks spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Namun ia juga menekankan ambivalensi positif: generasi digital memiliki potensi besar bila diarahkan mereka bisa menjadi agen toleransi dan aktivisme sosial jika literasi moral dan etika digital ditanam secara konsisten. Oleh karena itu, menurutnya peran BK harus melampaui respons krisis; BK perlu menjadi motor pencegahan, pengembangan peer support, dan pembentukan rutinitas moral yang konkret di sekolah.
Lebih praktis, Bapak Syahirul merekomendasikan kerangka intervensi yang menggabungkan tiga ranah: moral reasoning (diskusi dilemma dan pembelajaran berbasis kasus), moral feeling (aktivitas yang membangkitkan empati melalui simulasi dan layanan sosial), dan moral action (pembiasaan lewat tugas nyata dan tanggung jawab sosial). Di tingkat operasional, beliau menyarankan penggunaan teknik REBT atau Reality Therapy untuk menangani keyakinan irasional yang memicu perilaku amoral, pengembangan program peer mentoring untuk memperkuat kontrol sosial positif, serta pelatihan lintas-disiplin bagi guru BK agar memiliki kompetensi ganda psikologis dan spiritual tanpa melanggar etika profesional. Intinya: integrasi spiritualitas dalam BK bukan sekadar retorika; ia harus diwujudkan melalui program terstruktur, kapasitas SDM, dan sinergi antar-lingkungan (sekolah, keluarga, lembaga keagamaan) agar nilai yang terinternalisasi benar-benar terealisasi dalam perilaku sehari-hari.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian oleh Riska Damayanti & Maemonah dalam artikel “Konseling Spiritual dalam Meningkatkan Self Concept Remaja Broken Home” menemukan bahwa konseling spiritual efektif meningkatkan konsep diri positif pada remaja yang berasal dari keluarga tidak harmonis. Melalui proses refleksi, doa, dan penguatan nilai agama, para remaja mulai menunjukkan perubahan sikap: lebih tenang, berpikir positif, mampu menerima diri, dan berusaha memperbaiki perilaku. Temuan ini menegaskan bahwa konseling spiritual berperan bukan hanya dalam penyembuhan emosional, tetapi juga dalam pembentukan identitas moral remaja yang lebih stabil.
Spiritualitas dalam lingkungan pesantren bukan hanya rutinitas keagamaan, melainkan proses internalisasi nilai ilahiah dalam kehidupan sehari-hari. Hasil renungan dan riset di Pondok Pesantren Annuqayah yang mana di pondok inilah saya sebagai penulis diajarkan banyak hal dan menemukan jati dirinya, disana menunjukkan bahwa spiritualitas di pesantren tersebut tidak berhenti pada ritual ibadah semata, melainkan menembus ke wilayah praksis kehidupan santri. Di sana, bahkan terdapat pelatihan khusus untuk menetralisasi nilai-nilai ilahiah dalam keberlangsungan hidup santri. Ini menjadi bukti nyata bahwa dari jantung pesantren, nilai konseling spiritual terus bertumbuh sebagai bagian dari kebudayaan yang hidup.
Peran pembimbing dan fasilitator di lingkungan seperti ini menjadi sangat krusial. Santri tidak hanya diajarkan untuk memahami teks-teks keagamaan, tetapi juga diajak melakukan perenungan diri agar mampu menginternalisasi nilai-nilai moral dan spiritual dalam keseharian. Kegiatan rutin seperti takziyah ke maqbarah para sesepuh setiap menjelang ba’da Maghrib merupakan bagian dari proses konseling alami yang menghubungkan santri dengan akar tradisi spiritual mereka. Dalam kegiatan itu, tumbuh kesadaran rohani bahwa kehidupan adalah kesinambungan antara yang hidup dan yang telah berpulang sebuah pengingat batin yang mendalam akan pentingnya introspeksi, empati, dan tanggung jawab moral.
Dengan pendekatan spiritual semacam ini, konseling di pesantren tidak hanya menjadi upaya mengatasi persoalan psikologis, melainkan juga sarana menumbuhkan ketenangan batin, optimisme, serta kemampuan menyeimbangkan rasionalitas dan keimanan. Inilah bentuk pendidikan yang menumbuhkan manusia seutuhnya: berpikir dengan akal, berbuat dengan nurani, dan hidup dengan makna.
Dalam situasi semacam ini, bimbingan konseling (BK) dituntut untuk tidak hanya menjadi alat penyelesaian masalah pribadi, tetapi juga sarana pembinaan moral dan spiritual. Integrasi antara spiritualitas dan konseling menjadi penting karena keduanya saling melengkapi: spiritualitas menumbuhkan kesadaran batin, sementara konseling memberi arah dan metode untuk menyalurkan kesadaran itu ke dalam tindakan nyata.
Konseling dan spiritualitas merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam membentuk individu yang utuh secara moral dan emosional. Konseling pada hakikatnya adalah proses bantuan profesional antara konselor dan konseli untuk membantu individu memahami diri, mengatasi masalah, serta mengembangkan potensi dan tanggung jawab moralnya (Prayitno, 2012; Corey, 2013; Gibson & Mitchell, 2011). Sementara spiritualitas dapat dipahami sebagai dimensi batin manusia yang berhubungan dengan makna hidup, nilai moral, serta hubungan dengan Tuhan dan sesama (Zohar & Marshall, 2000; Koenig, 2001; Ancok & Suroso, 2011). Ketika keduanya diintegrasikan, konseling berbasis spiritualitas tidak hanya membantu menyelesaikan masalah psikologis, tetapi juga menumbuhkan kekuatan moral dan kebajikan.
Nilai-nilai seperti kejujuran, empati, tanggung jawab, dan kasih sayang tumbuh dari kesadaran spiritual yang sehat. Pembinaan spiritual bukan berarti menggurui, melainkan membantu remaja menemukan arah hidup dan makna keberadaannya. Remaja yang memiliki dasar spiritualitas kuat akan lebih mampu menahan diri dari perilaku destruktif. Mereka memahami bahwa kebebasan bukanlah ketiadaan batas, dan kesuksesan sejati tidak dapat dipisahkan dari integritas moral.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa krisis nilai di kalangan remaja nyata adanya. Sebuah studi di Yogyakarta terhadap 121 siswa laki-laki SMA menemukan bahwa rendahnya identitas moral dan tingginya moral disengagement secara signifikan berkorelasi dengan meningkatnya perilaku antisosial (R² = 0.12; F = 8.19; p < 0.01). Hasil ini memperkuat pandangan bahwa degradasi moral bukan hanya fenomena sosial, tetapi juga masalah psikologis yang harus ditangani melalui pendekatan konseling yang menyentuh aspek spiritual.
Dalam dunia pendidikan, bimbingan konseling memegang peran strategis dalam membina kesadaran tersebut. Konselor bukan hanya “pemadam masalah,” melainkan pendamping yang menuntun remaja mengenali nilai-nilai hidupnya. Konseling sejatinya bukan proses mengajar, tetapi proses mendengarkan, menuntun, dan menumbuhkan kesadaran batin. Melalui pendekatan reflektif dan humanistik, konseling dapat menjadi ruang aman bagi remaja untuk merenungkan arah hidupnya, memahami kegelisahannya, dan menemukan kekuatan moral di balik setiap pengalaman.
Integrasi spiritualitas dalam konseling dapat diwujudkan melalui pendekatan yang lembut namun bermakna. Konselor dapat menanamkan nilai-nilai universal seperti rasa syukur, kesabaran, empati, dan tanggung jawab tanpa harus mengubah konseling menjadi ceramah agama. Dalam setiap sesi, konselor bisa menghadirkan refleksi spiritual melalui pertanyaan sederhana seperti: “Apa yang kamu pelajari dari pengalaman ini?” atau “Apa yang membuatmu tetap bertahan di tengah kesulitan?” Pertanyaan semacam ini memantik kesadaran moral dari dalam diri remaja, bukan dari tekanan luar.
Namun tantangannya tidak ringan. Karakter Esa Unggul (2023) melaporkan terdapat 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak di Jakarta Barat dalam periode Januari–Agustus, dengan 861 kasus terjadi di lingkungan pendidikan. Ini menunjukkan institusi pendidikan belum sepenuhnya menjadi ruang aman secara moral dan emosional. Selain itu, penerapan konseling berbasis spiritual menghadapi dua tantangan utama: pertama, isu netralitas agama di sekolah negeri, yang mengharuskan adaptasi menjadi Konseling Berbasis Nilai Universal agar tetap inklusif; kedua, kompetensi konselor, yang menuntut pemerintah menyediakan pelatihan khusus bagi konselor non-Pendidikan Islam agar mampu menginternalisasi nilai spiritual tanpa bias doktrinal.
Konseling yang berlandaskan nilai spiritual juga menuntut keteladanan dari konselornya. Nilai moral tidak dapat ditransfer hanya lewat kata-kata, tetapi melalui sikap dan perilaku nyata. Ketika konselor menunjukkan empati tulus, kejujuran dalam berinteraksi, dan kesabaran dalam mendampingi, remaja akan belajar tentang moralitas bukan sebagai teori, melainkan pengalaman hidup. Konseling semacam ini menumbuhkan keseimbangan antara kecerdasan emosional dan spiritual, antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab moral.
Integrasi spiritualitas dan konseling menjadi bentuk pendidikan yang paling manusiawi karena menyentuh pikiran dan hati. Di tengah dunia yang semakin materialistik, bimbingan konseling berbasis spiritual menjadi oase bagi generasi muda yang haus makna. Melalui pendekatan ini, remaja tidak hanya dibantu untuk mengatasi masalahnya, tetapi juga diarahkan untuk memahami hakikat hidup dan nilai-nilai kebaikan yang universal.
Ketika pendidikan dan konseling bersinergi dalam menanamkan nilai-nilai spiritual, lahirlah generasi yang bukan hanya cerdas dalam nalar, tetapi juga luhur dalam moral. Mereka bukan sekadar penerus bangsa, melainkan pembawa cahaya di tengah kelamnya krisis nilai yang mencengkeram zaman. Integrasi spiritualitas dan konseling adalah ikhtiar besar untuk menegakkan kembali martabat manusia Indonesia yang berakal sehat, berhati bening, dan berjiwa merdeka.
Pendidikan semacam ini tidak berhenti pada teori, tetapi menjelma menjadi gerakan peradaban gerakan yang menumbuhkan manusia seutuhnya: berpikir dengan akal, berbuat dengan nurani, dan hidup dengan makna. Dari ruang kelas hingga ruang hati, dari santri hingga akademisi, dari pesantren hingga kampus, semangat ini mesti bergema sebagai panggilan nasional untuk membangun manusia Indonesia yang beriman, berilmu, dan berintegritas.
Sebab pada hakikatnya, manusia adalah cerita setelah ia tiada. Jadilah kisah bagi orang di sekitarmu, sebagaimana pesan Ibnu Duraidl, pujangga besar abad ke-16. Kita dituntut menjadi bagian dari perubahan yang baik agent of change yang memaknai konseling bukan sekadar bimbingan formal, tetapi proses penyucian hati dan penjernihan akal. Sebagai santri, kita memahami nurani, berpikir dengan akal sehat, dan menuntun manusia lain menuju cahaya kebaikan. Dari pesantren lah cahaya itu berawal, tumbuh menjadi harapan, dan mengalir ke kehidupan bangsa. Maka biarlah pendidikan dan konseling spiritual terus menjadi napas panjang Indonesia yang menumbuhkan generasi beriman, berilmu, dan beradab, demi tegaknya peradaban manusia yang bermartabat.
Tempat Tugas, Lar Laok, Bunten barat, Ketapang, Sampang, 31 Oktober, 2025
Daftar Pustaka
- Ancok, D., & Suroso, F. N. (2011). Psikologi Islami: Solusi Islam atas problem-problem psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik Pemuda Indonesia 2024. Jakarta: BPS RI.
- Corey, G. (2013). Theory and practice of counseling and psychotherapy (9th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.
- Damayanti, R., & Maemonah. (2021). Konseling spiritual dalam meningkatkan self concept remaja broken home. [Artikel ilmiah tidak dipublikasikan].
- Gibson, R. L., & Mitchell, M. H. (2011). Introduction to counseling and guidance (7th ed.). Boston: Pearson Education.
- Jurnal Indigenous, Universitas Muhammadiyah Surakarta. (2021). Moral identity, moral disengagement, and antisocial behavior in adolescents.
- Karakter Esa Unggul. (2023). Laporan kasus pelanggaran perlindungan anak di lingkup pendidikan. Jakarta: Universitas Esa Unggul.
- Katadata Databoks. (2024). Indonesian youth consider religion when making decisions. Retrieved from https://databoks.katadata.co.id
- Koenig, H. G. (2001). The healing power of faith: Science explores medicine’s last great frontier. New York: Simon & Schuster.
- (2012). Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
- Zohar, D., & Marshall, I. (2000). SQ: Spiritual intelligence – The ultimate intelligence. London: Bloomsbury Publishing.
- Wawancara pribadi dengan Bapak Surowi (Waka MTs 1 Annuqayah Putra), 28 Oktober 2025, di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Utara.
- Wawancara pribadi dengan Bapak Iskandar, M.Pd.I (Guru BK SMAN 1 Sampang), 30 Oktober 2025, via WhatsApp.
- Wawancara pribadi dengan Bapak Syahirul Alim, S.E. (Guru MA 1 Annuqayah), 29 Oktober 2025, di lingkungan Madrasah Aliyah 1 Annuqayah.
*)M. Wildan adalah nama pena dari Moh. Wildan, ia lahir dan besar di Lebbek, Pakong, Pamekasan, Madura, merupakan mantan Ketua Perpustakaan PPA Lubangsa Utara periode 2024–2025. Ia pernah aktif berproses di Laskar Pena Lubtara, MSA (Masyarakat Seni Annuqayah), dan dunia pers Jurnal Pentas MA 1 Annuqayah, juga pernah aktif di komunitas kesenian Sanggar Sabda PPA. Lubtara, serta tercatat sebagai santri PPA Lubangsa Utara. Saat ini ia menjalankan amanah terbesarnya menjadi guru tugas angkatan 2025–2026 di Pondok Pesantren Darul Ulum Az_Zainy, Ketapang, Sampang. Prestasinya antara lain Juara 3 Menulis Puisi Nasional (Pemuda Lingkungan dan Budaya Jawa Barat, 2025), Juara Cipta Puisi Nasional dan Juara 3 Lomba Esai Nasional Juga Juara 2 Menulis Cerpen Nasional (Islamic School Jakarta, 2025), Finalis Asia Tenggara (Kemendikbud Jawa Tengah, 2025), serta terpilih sebagai Best of Participant lomba menulis event nasional (Bunterfly.pro 2025), Naskah puisinya yang bertajuk “Rindu Kami Padamu Tanah Utara” Lolos kurasi 3 Negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan terpilih menjadi karya pilihan SIP Publising dan Yayasan Rumah Menulis Indonesia . Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media seperti: Riau Sastra, Radar Madura, Suara Merdeka, Rumah Literasi Sumenep, dan dibukukan dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Perjalanan Sebuah Nama (CV EMN Media, 2025), Bisik Sendu untuk Negeriku (Sastra Gaia, 2025), dan Melukis Ulang Senja Jilid 1 (Airiz Zera, 2025, Akar Serumpun Anyaman Rasa, Antologi Puisi 3 Negara, Indonesia, Malaysia, Singapura, (SIP Publishing 2025). Ia merupakan penulis lepas mulai dari Esai, Artikel, Cerpen, Puisi, juga saat ini ia aktif menulis di blog pribadinya sibocahpetaniputramadura.blogspot.com
Pilihan





