Sastra Daerah dan Jarak yang Semakin Mendekat

Sebuah hajatan perkawinan masyarakat tradisional Sumenep, Madura, yang umumnya juga menggelar pertunjukan topeng dalang atau ludruk, yang didalamnya menghadir sinden untuk melantunkan lagu kejhung dan sejenisnya (Rulis)

Pada sebuah sore yang mulai dingin di sebuah desa pesisir timur daya Sumenep, Madura, suara kèjhungan (kidungan) mengalun dari sebuah halaman rumah yang tengah menggelar hajatan. Nada-nada yang keluar dari pengeras suara terdengar sederhana, tetapi di antara gema suara itu tersimpan lapisan-lapisan makna yang telah diwariskan berabad-abad.

Para tetua duduk bersila, menyimak dengan mata yang memantulkan kenangan, sementara para remaja berdiri di pinggir ruangan, sebagian merekam dengan telepon genggam, sebagian lagi sibuk mengobrol—mereka menikmati suasana, tetapi tidak sepenuhnya memahami bahwa yang sedang berkumandang bukan sekadar hiburan, melainkan warisan panjang yang dalam dunia akademik disebut sebagai sastra daerah.

Begitulah kenyataannya hari ini. Banyak masyarakat terlibat langsung dalam praktik kesenian dan tradisi tutur daerah—kidungan, paparèghân, parikan, tembhâng, syair, dongeng, atau sekadar ungkapan-ungkapan bijak dalam pidato adat—namun tidak benar-benar memahami bahwa mereka sedang berada di tengah pusaran sastra daerah.

Mereka mendengar, menikmati, menghafal, bahkan menirukan, tetapi hanya sedikit yang menyadari bahwa di balik semua itu ada sejarah bahasa, estetika lokal, nilai budaya, dan jati diri kolektif yang telah dipertahankan oleh generasi demi generasi.

Ironisnya, istilah “sastra daerah” seringkali hanya dikenal oleh kelompok terbatas: para sastrawan, budayawan, peneliti, atau mereka yang berkepentingan langsung dengan kajian bahasa dan budaya. Mereka membahasnya dalam forum formal, menuliskannya dalam jurnal, atau mengajarkannya melalui teori-teori sastra dan folklor.

Mereka memetakan unsur intrinsik, menafsirkan simbol, mengurai struktur cerita, atau menjelaskan hubungan antara karya dan budaya lokal. Namun di sisi lain, masyarakat yang menjalankan praktik sastra itu sendiri merasa jauh dari istilah-istilah tersebut. Seakan-akan sastra daerah adalah dunia lain—rumit, akademis, dan bukan bagian dari keseharian—padahal justru mereka lah tempat sastra itu berakar dan bertahan.

Padahal, sastra daerah sesungguhnya adalah karya sastra—baik lisan maupun tulisan—yang hadir dalam bahasa-bahasa daerah di Nusantara dan memuat cara pandang suatu masyarakat terhadap hidup, alam, keluarga, dan dunia gaib. Ia bisa berupa cerita rakyat, legenda, mite, pantun, syair, tembang, mantra, papareghan, peribahasa, atau pidato adat.

Ada yang anonim, diwariskan tanpa nama; ada pula yang modern, ditulis oleh penulis kontemporer dalam bentuk puisi, cerpen, atau novel berbahasa daerah. Sastra daerah tidak lahir dari ruang kelas. Ia lahir dari sawah, pantai, pasar, rumah panggung, bale desa, surau, tempat orang-orang berkumpul, berdialog, bercanda, menangis, dan mencari makna hidup.

Namun mengapa jarak antara masyarakat dan pemahaman terhadap sastra daerah begitu besar? Salah satu penyebabnya adalah modernisasi pendidikan. Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar sekolah, sehingga akses terhadap tradisi lisan perlahan tergeser. Bahasa daerah semakin dianggap bahasa rumah, bukan bahasa ilmu.

Anak-anak belajar pantun Melayu di buku pelajaran, tetapi tidak pernah diajak memahami bagaimana tembang di kampung mereka mengajarkan filosofi keseimbangan. Mereka belajar puisi modern di kelas, tetapi tidak pernah benar-benar diajarkan bahwa papareghan Madura memuat kecerdasan metaforis yang tidak kalah kompleksnya.

Selain itu, masyarakat sering merasa bahwa sastra adalah sesuatu yang “indah, rumit, puitis”, dan karenanya sesuatu yang harus diciptakan oleh orang yang terpelajar. Padahal, sastra daerah justru lahir dari masing-masing individu yang hidup dalam budaya itu—dari petani garam yang menciptakan pantun spontan, dari nelayan yang merapal doa ketika hendak melaut, dari ibu-ibu yang menasihati anaknya lewat ungkapan bijak, dari kakek yang menceritakan kisah masa lalu di teras rumah.

Jika masyarakat merasa bahwa mereka tidak termasuk dalam dunia sastra, itu bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena definisi sastra telah terlanjur dipersempit oleh perspektif formal pendidikan.

Bahasa turut berperan besar dalam jarak ini. Bahasa daerah yang dulunya menjadi alat komunikasi utama kini sering dipakai hanya pada tingkat pasif. Anak-anak mengerti, tetapi enggan menggunakan dalam percakapan. Bahasa daerah mereka terdengar lucu, kuno, atau tidak relevan dengan dunia digital yang cepat. Ketika bahasa melemah, sastra daerah tentu ikut melemah, karena bahasa adalah rumah bagi imajinasi dan kebijaksanaan lokal. Hilangnya kemahiran berbahasa daerah berarti hilangnya pintu masuk menuju sastra yang tumbuh di dalamnya.

Padahal, memahami sastra daerah tidak harus dimulai dari teori atau kajian akademis. Ia justru dimulai dari hal yang paling sederhana: mendengarkan. Mendengarkan tembang dari para tetua, mendengarkan cerita rakyat dari orang tua, mendengarkan papareghan yang dilontarkan dalam percakapan sehari-hari.

Tradisi lisan adalah universitas pertama dalam kebudayaan. Ia mengajarkan tanpa buku, tanpa kelas, tanpa ujian. Di sana tersimpan nilai moral, sejarah lokal, dan kearifan hidup yang disampaikan melalui ungkapan simbolik yang mudah dicerna oleh masyarakat. Jika kita ingin memahami sastra daerah secara utuh, mulailah dengan mendengar suara-suara yang selama ini berada di sekitar kita.

Setelah itu, membaca dokumentasi sastra daerah yang kini semakin banyak tersedia dapat menjadi langkah berikutnya. Universitas, lembaga budaya, komunitas seni—semuanya mulai mengumpulkan, mentransliterasi, dan menerbitkan sastra daerah ke dalam buku atau platform digital. Dokumentasi ini penting, karena memberi kesempatan bagi generasi muda untuk menghubungkan apa yang mereka dengar di lapangan dengan pengetahuan yang lebih sistematis. Mereka bisa memahami bagaimana pantun, papareghan, parikan, atau cerita rakyat dibentuk; bagaimana struktur tembang mengandung aturan tertentu; atau bagaimana sebuah legenda memuat nilai sejarah dan kearifan lokal.

Namun memahami saja tidak cukup. Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah setiap orang bisa menjadi kreator sastra daerah? Apakah hanya mereka yang ahli bahasa yang boleh menulis dalam bahasa daerah? Sesungguhnya, siapa pun bisa terjun sebagai penulis atau pencipta sastra daerah—dengan syarat bahwa ia mau belajar dan menghormati tradisi. Penguasaan bahasa daerah adalah kunci pertama.

Ini bukan soal fasih sepenuhnya, tetapi memiliki kesadaran bahwa setiap kata memiliki konteks budaya yang khusus. Seseorang yang menulis dalam bahasa daerah tanpa memahami konteks sosial budayanya hanya akan menghasilkan teks yang kering, kehilangan ruh.

Selain bahasa, memahami tradisi menjadi penting. Sastra daerah tidak hanya memuat estetika, tetapi juga etika. Ada aturan tak tertulis dalam tradisi lisan—kapan sebuah cerita boleh diceritakan, siapa yang boleh mengucapkan mantra tertentu, bagaimana menyampaikan peribahasa dalam konteks yang pantas. Seorang kreator sastra daerah perlu memahami hal ini bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi untuk menjaga hormat terhadap tradisi yang telah diwariskan begitu lama.

Namun bukan berarti sastra daerah harus berhenti pada bentuk lama. Justru, kreativitas modern dapat melahirkan bentuk-bentuk baru: puisi digital dalam bahasa daerah, cerpen di media sosial, video pendek berbahasa lokal, drama kontemporer yang memadukan tradisi dan modernitas, lagu-lagu pop yang memasukkan kidungan atau papareghan. Sastra daerah dapat berkembang sepanjang tidak kehilangan akar budayanya. Kreativitas adalah cara paling efektif untuk menjaga agar sastra daerah tetap relevan di mata generasi muda.

Membedakan sastra daerah dan sastra non-daerah sering menjadi perdebatan. Apakah bahasa satu-satunya pembeda? Tentu tidak. Bahasa memang menjadi indikator utama, tetapi sastra daerah memiliki estetika dan cara pandang khas yang tidak ditemukan dalam sastra berbahasa nasional atau global. Karya sastra daerah mencerminkan adat, struktur sosial, relasi keluarga, simbol alam, bahkan kosmologi masyarakat tertentu.

Dalam pantun Melayu, sampiran dan isi menggambarkan harmoni alam dan manusia. Dalam papareghan Madura, metafora dekat dengan kehidupan nelayan dan petani garam. Dalam tembang Jawa, aturan guru lagu dan guru wilangan memuat filosofi yang telah bertahan berabad-abad. Sastra daerah tidak hanya memotret individu, tetapi memotret masyarakat. Inilah perbedaan mendasar dari sastra modern yang cenderung individualistik.

Bentuk-bentuk sastra daerah sendiri sangat kaya. Ia hadir dalam cerita rakyat, pantun, dongeng, legenda, mite, peribahasa, mantra, tembang, pidato adat, syair, hingga naskah kuno. Ada pula sastra tulis modern yang menggunakan bahasa daerah, seperti puisi atau cerpen kontemporer. Dalam tradisi lisan, karya sastra tidak memiliki batas jelas antara hiburan, pendidikan moral, dan ritual. Semua bercampur dalam satu ruang yang sama. Di tengah masyarakat, sastra daerah tidak berdiri sebagai karya seni murni, tetapi sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri.

Namun kekayaan ini menghadapi banyak tantangan. Globalisasi membuat bahasa dan budaya lokal seringkali dianggap kuno atau tidak relevan. Tradisi lisan perlahan hilang karena tidak lagi disampaikan dari generasi tua ke generasi muda. Dokumentasi sastra daerah masih sedikit, pengajarannya di sekolah sering terlalu formal dan membosankan, dan pemerintah belum memberikan perhatian yang cukup konsisten. Generasi muda lebih akrab dengan konten internasional daripada kisah dari daerahnya sendiri.

Tetapi di balik tantangan itu, selalu ada harapan. Komunitas budaya mulai aktif kembali. Festival sastra lokal muncul di banyak tempat. Generasi muda mulai menulis dan memproduksi konten berbahasa daerah di media sosial—meski sederhana, ini adalah tanda bahwa sastra daerah mulai menemukan ruang barunya. Banyak lembaga mulai melakukan revitalisasi bahasa daerah, menulis ulang kisah rakyat, atau mendigitalkan naskah-naskah kuno. Sastra daerah sedang mencari bentuk baru agar tetap hidup di tengah dunia yang berubah cepat.

Pada akhirnya, usaha terbesar untuk menjaga sastra daerah tetap hidup bukan hanya melalui penelitian, festival, atau penerbitan buku. Melainkan melalui kehidupan sehari-hari. Dengan berbicara bahasa daerah di rumah, dengan mendongeng pada anak-anak sebelum tidur, dengan mencatat kembali pantun dan cerita lama, dengan memberi ruang pada kesenian lokal untuk tampil, atau hanya dengan tidak malu menggunakan bahasa sendiri di tengah masyarakat. Sastra daerah bisa hidup jika kita membiarkannya kembali menjadi bagian dari kehidupan.

Ketika seorang kakek menyampaikan nasihat dalam bahasa daerah kepada cucunya, ia sedang menyalakan lilin kecil yang meneruskan ingatan masa lalu ke masa depan. Ketika seorang anak muda membuat konten lucu berbahasa daerah, ia sedang memperpanjang umur bahasanya, meski mungkin tanpa ia sadari.

Ketika ibu-ibu menasihati anaknya lewat ungkapan bijak tradisional, mereka sedang melanjutkan garis panjang sastra yang tidak tercatat tetapi tetap diwariskan. Ketika sekelompok seniman berdiri di panggung kecil kampung, menyanyikan kidungan di hadapan warga, mereka sedang menghidupkan ruang imajinasi yang telah lama menjadi bagian dari identitas kolektif.

Sastra daerah bukanlah milik para peneliti, akademisi, atau budayawan saja. Ia adalah milik siapa pun yang pernah berbicara, mendengar, atau merasakan bahasa daerahnya sendiri. Ia bukan sesuatu yang rumit; ia hanya membutuhkan mata yang terbuka, telinga yang mau mendengar, dan hati yang mau mengingat.

Pada akhirnya, memahami sastra daerah adalah memahami diri sendiri. Memahami dari mana kita berasal, bagaimana masyarakat kita berpikir, dan nilai apa yang ingin kita wariskan kepada generasi selanjutnya. Selama ada orang yang mau bercerita, menulis, menembang, atau sekadar menyampaikan nasihat kecil dalam bahasa daerah, maka sastra daerah akan tetap hidup—bukan sebagai benda museum, tetapi sebagai denyut nadi budaya yang terus mengalir dalam kehidupan kita.

(Rulis, dari beberapa sumber)

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 3641819853688169335

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Budaya Madura

Budaya Madura
Budaya kesukuan menjadi identitas pembeda sekaligus penopang kelanggengan suatu suku. Ia merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama, dan diwariskan antargenerasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur—mulai agama, politik, adat, bahasa, hingga perkakas, pakaian, bangunan, dan seni. Selengkapkan klik gambar dan ikuti tulisan bersambung

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close