Jejak Batu di Atas Kain: Kisah Kombung Batik dari Pedalaman Madura
![]() |
| Sugat Ibnu Ali membatik bersama Erra Fazhira runner up 1 Putri Muslimah Indonesia 2019 di Kombung Batik |
Dari sebuah dusun kecil di Lenteng, Sugat Ibnu Ali menenun kembali identitas budaya melalui batik abstrak beraksen batu kombung. Perjalanan seorang guru yang menjadikan kegelisahan murid sebagai sumber kreativitas.
Di tengah derasnya arus produksi massal, ketika batik print murah hasil mesin membanjiri toko-toko dan pasar online, nama Sugat Ibnu Ali mungkin tidak pernah muncul di headline besar. Ia bukan pemilik galeri mewah, bukan pula perancang busana dengan panggung glamor. Ia hanya seorang guru, sekaligus seniman panggung, yang memilih tinggal di sebuah dusun kecil di pedalaman Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Namun dari tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota itu, lahirlah sebuah kisah yang memberi napas baru pada dunia batik tulis Madura: Kombung Batik.
Dalam lanskap industri batik yang makin ketat—dengan persaingan dari batik cetak mesin, produk impor murah dari Tiongkok, hingga perang harga antar daerah—kehadiran pembatik kecil rumahan semakin terdesak. Belum lagi problem khas industri kriya: minimnya minat generasi muda, keterbatasan digitalisasi, pemalsuan motif, serta semakin kaburnya batas antara batik asli dan batik imitasi. Namun, bagi sebagian orang, himpitan justru memicu perlawanan kreatif. Sugat Ibnu Ali adalah salah satunya.
Baginya, batik bukan sekadar pola. Ia adalah ruang permenungan, medium ekspresi, dan jembatan untuk mempertahankan ingatan kolektif. Dan bermula dari sebuah kegelisahan kecil di ruang kelas, perjalanan batik itu pun dimulai.
Benih yang Tumbuh dari Sebuah Pertanyaan
Sugat mengingat betul titik awal semuanya. Tahun 2016, ia mengajar mata pelajaran Seni Budaya di kelas XII MA Bustanul Ulum Elak Daya. Setiap tahun, materi batik hadir dalam silabus. Namun praktik di kelas jauh dari ideal. Ia hanya mengandalkan video, gambar, dan coretan di papan tulis untuk menjelaskan proses membatik.
“Lama-kelamaan murid-murid saya tampak bosan,” kenangnya sambil tersenyum kecil. “Suatu hari ada siswa bertanya: ‘Pak, kapan kita benar-benar membatik?’”
Pertanyaan sederhana itu terkenang seperti ketukan keras pada pintu nuraninya. Ia melihat mata para murid yang berharap, sekaligus jenuh. Video tak lagi memadai, ilustrasi tak cukup menggugah. Batik, sebagai pengetahuan yang bersifat keterampilan tangan, memang mustahil dikaji hanya melalui teori.
Dari kegelisahan itu, ia memutuskan membawa para siswa ke sentra batik di Desa Pakandangan. Ongkos patungan, ditambah sedikit bantuan dari sekolah, membuat perjalanan kecil itu bisa terlaksana. Namun setibanya di sana, realitas tak seindah yang dibayangkan.
“Kami hanya diberi penjelasan tentang nama batik dan peralatannya. Tidak ada praktik, tidak diberi kesempatan mencoba. Seolah-olah teknik membatik adalah rahasia,” tuturnya.
Rombongan itu pulang dengan kecewa. Namun, alih-alih menyerah, pengalaman tersebut justru menjadi pemantik tekad.
![]() |
| Para pekerja pengrajin batik Kombung Batik sedang menyelesaikan proses pembatikan |
Belajar Dari Nol: Dari Buku Pelajaran Hingga Eksperimen Dapur Rumah
Tanpa mentor, tanpa guru langsung, Sugat dan murid-muridnya kembali ke sekolah dengan satu keputusan: mencoba membuat batik sendiri. Dengan modal literatur seadanya—buku pelajaran seni budaya, gambar-gambar pola, dan ketekunan—mereka mulai bereksperimen.
Kegagalan adalah tamu pertama. Malam terlalu encer. Pola meleber. Warna tak meresap rata. Kain gosong. Dan sebagainya. Tetapi hari berganti, percobaan berulang, dan perlahan ruang praktik sederhana di sekolah itu berubah menjadi laboratorium kreativitas.
Dari proses panjang itu, Sugat mulai menemukan ritme. Tangan yang semula kaku menjadi lebih terlatih. Ia mulai memahami karakter malam panas, perilaku kain mori, dan teknik pewarnaan berlapis. Pada titik inilah ia mantap menekuni batik secara personal.
“Waktu itu modal awal hanya satu juta rupiah,” katanya sambil mengingat masa-masa sulit tersebut. Dari uang itu ia membeli wajan kecil, kompor, canting, pewarna, dan segulung kain. Tidak besar, namun cukup untuk memulai perjalanan panjang yang kelak dikenal sebagai Kombung Batik.
Lahirnya Kombung Batik: Identitas dari Batu Putih
Nama Kombung Batik tidak dipilih secara kebetulan. Ia adalah penghormatan pada kampung halaman: Dusun Kombung Barat, Desa Elak Daya, Kecamatan Lenteng, Sumenep.
Masyarakat setempat mengenal batu kombung, sejenis batu putih dari endapan tanah yang kerap digunakan sebagai bahan bangunan rumah-rumah tradisional Madura. Batu ini tidak sekadar material; ia adalah simbol rumah, simbol keteguhan, simbol akar.
“Saya ingin batik saya punya identitas daerah. Maka motifnya selalu menyelipkan nuansa cipratan putih seperti garis pecah pada batu kombung,” jelas Sugat.
Dari gagasan itulah ciri khas Kombung Batik tumbuh. Motifnya abstrak—cenderung kontemporer—dengan guratan bebas, eksperesif, dan tidak terikat pakem tradisional. Pilihan artistik ini bukan tanpa alasan.
“Saya suka karya yang ekspresif dan tidak pasaran. Batik abstrak memberi ruang bagi interpretasi,” ujarnya.
Di tengah pasar yang penuh motif klasik dan repetitif, Kombung Batik menawarkan karakter yang berbeda: spontan, dinamis, dan menekankan keunikan tiap goresan.
Bertahan di Tengah Serbuan Batik Mesin
Kini, Kombung Batik mempekerjakan lima pekerja tetap dengan produksi 3–4 lembar per minggu. Jumlah yang kecil, tetapi bagi batik tulis, itu wajar—bahkan ideal. Setiap lembar melalui proses panjang: pemalaman, pewarnaan, penguncian warna, hingga pelorotan yang membutuhkan ketelitian tinggi.
Namun tantangan terbesar justru datang dari luar: batik digital. Dengan kemampuan mesin yang semakin canggih, batik print digital bisa meniru pola dan warna sedemikian miripnya sehingga konsumen awam sulit membedakannya dari batik tulis.
“Banyak orang tidak tahu bedanya. Tapi batik tulis punya ruh. Ada ketidakteraturan yang justru menjadi keindahan,” tegasnya.
Bagi Sugat, kehadiran batik digital bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga persoalan nilai. Ia berharap masyarakat lebih menghargai proses batik tulis yang penuh pengorbanan waktu dan tenaga.
“Dalam batik tulis tersimpan jiwa pembatik. Setiap titik adalah napas, setiap garis adalah emosi. Itu tidak boleh disamakan dengan cetakan mesin.”
Merambah Dunia Digital: Dari Dusun ke Media Sosial
Meski hidup di pedalaman, Sugat memahami pentingnya digitalisasi. Ia membangun kanal pemasaran melalui TikTok, Facebook, dan Instagram dengan nama “Kombung Batik”. Semua ia kelola sendiri: dari memotret produk, membuat video proses produksi, hingga menjawab pertanyaan calon pelanggan.
“Media sosial adalah jendela baru. Tanpa itu, kami tidak mungkin menjangkau pembeli dari luar daerah,” ucapnya.
Kini, pesanan datang dari berbagai kota. Tidak banyak, tetapi stabil. Cukup untuk menjaga dapur produksi tetap hidup dan menjaga semangat para pembatiknya.
![]() |
| Sejumlah siswa sedang praktik membatik |
Batik Sebagai Jejak Sejarah, Bukan Sekadar Produk
Di banyak kesempatan, Sugat sering menegaskan bahwa batik bukan sekadar kain. Ia adalah penanda identitas sebuah bangsa, sebuah cara untuk menanamkan akar di tanah budaya.
“Selama kita menjaga batik, selama itu pula kita masih punya akar,” katanya pelan, namun penuh keyakinan.
Ia berharap masyarakat semakin teredukasi membedakan batik tulis dari batik digital. Bukan untuk merendahkan satu sama lain, tetapi untuk menempatkan nilai secara adil.
“Batik tulis adalah warisan leluhur. Ada nilai sakral di dalam prosesnya. Itu harus dihargai.”
Menjaga Api Kreativitas dari Sebuah Dusun Kecil
Kombung Batik bukan sekadar usaha rumahan. Ia adalah gerakan kecil dari sebuah dusun di Sumenep, yang menolak kalah oleh modernisasi. Sugat adalah bukti bahwa kreativitas dapat tumbuh dari ruang yang paling sederhana: dari ruang kelas, dari pertanyaan seorang murid, dari batu putih kampung sendiri.
Dalam dunia yang makin cepat, batik tulis adalah bentuk perlawanan terhadap tergesa-gesa. Setiap goresan canting di Kombung Batik adalah pernyataan bahwa keindahan memerlukan waktu, kesabaran, dan jiwa.
Dan selama masih ada orang-orang seperti Sugat Ibnu Ali—yang memilih bertahan, mencipta, dan mengajar dari akar—batik tulis tidak akan kehilangan rumahnya.
Jejak yang Terus Ditegakkan
Ketika perbincangan kami berakhir, Sugat menatap hasil karya para pembatiknya yang tergantung rapi. Di setiap lembar batik abstrak Kombung, terlihat cipratan putih yang menjadi identitas: garis patahan batu kombung, simbol kesahajaan sekaligus keteguhan tanah Madura.
“Batik bukan sekadar kain,” katanya lagi, seperti mengunci seluruh percakapan hari itu. “Batik adalah kita.”
Dan dari dusun kecil di Lenteng itu, identitas itu terus ditulis ulang—satu garis, satu titik, satu jiwa pada satu lembar kain.
(Syaf Anton Wr / Rulis)
Media Sosial Kombung Batik
Pilihan







