Jurnalisme Bernilai: Mengapa Wartawan Harus Berpihak pada Kebenaran


Ada sebuah anggapan lama yang terus berputar seperti kaset rusak: wartawan harus netral. Netral, dalam pengertian tidak memihak siapa pun, tidak memiliki sudut pandang, hanya menyalin apa yang terjadi. Namun dalam kenyataan, kehidupan publik tidak pernah sesederhana itu. Setiap kebijakan membawa dampak, setiap keputusan menyentuh manusia, dan setiap peristiwa selalu punya nilai moral yang melekat padanya. Di titik inilah muncul pemahaman yang lebih jernih: wartawan tidak boleh netral—ia harus berpihak. Tapi berpihak pada apa? Pada nilai.

Bayangkan masyarakat sebagai para penumpang kapal besar yang mengarungi cuaca yang tak selalu bersahabat. Pemerintah, lembaga, korporasi, dan tokoh-tokoh publik ibarat nakhoda yang memegang kendali. Wartawan? Ia adalah kompas. Bila kompasnya netral dalam arti beku—tidak menunjukkan arah, tidak mengevaluasi, tidak mengkritisi—penumpang dan nakhoda akan melaju tanpa tahu apakah mereka masih berada di jalur yang benar. Netralitas yang pasif hanya membuat semua orang berjalan tanpa arah.

Karena itu lahirlah gagasan penting: wartawan harus mendukung nilai-nilai yang baik, dan mengkritisi nilai-nilai yang buruk. Keberpihakan bukan pada tokoh, bukan pada partai politik, bukan pada golongan tertentu, melainkan pada nilai universal: kejujuran, keberlanjutan lingkungan, kemanusiaan, keadilan sosial, dan kebenaran faktual. Sikap ini menjadikan jurnalisme bukan sekadar perekam kejadian, tetapi penjaga moral ruang publik.

Ketika sebuah kebijakan pemerintah berpihak pada rakyat kecil, meningkatkan akses pendidikan, atau mengurangi kerusakan lingkungan, wartawan berkewajiban mendukung. Bukan untuk menyenangkan penguasa, melainkan untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa ada hal baik yang perlu diapresiasi dan diperkuat. Sebaliknya, ketika sebuah regulasi merugikan publik, mengabaikan keselamatan warga, atau membuka peluang bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, wartawan justru harus menjadi yang pertama kali bersuara. Di sinilah kritik bukan sekadar profesi, melainkan tanggung jawab moral.

Namun keberpihakan ini harus dimaknai dengan cermat. Membela nilai tidak berarti menjadi juru bicara kelompok tertentu. Menentang kebijakan buruk tidak berarti menjadi oposisi. Inilah seni jurnalisme yang sejatinya: menempatkan kepentingan publik di atas segalanya. Keberpihakan pada nilai adalah keberpihakan pada masyarakat itu sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sering kali menerima informasi secara pasif. Mereka membaca berita, menonton laporan, atau mendengar komentar tanpa menyadari bahwa di balik setiap teks selalu ada pilihan: apa yang diangkat, apa yang dibiarkan hilang, dan bagaimana hal itu disajikan. Maka pemahaman bahwa wartawan boleh dan harus berpihak pada nilai adalah ajakan agar publik lebih kritis, lebih sadar, dan lebih mengenal peran jurnalisme yang sesungguhnya.

Wartawan bukanlah kamera tanpa jiwa. Ia manusia dengan akal dan nurani, yang melihat dampak dari setiap kebijakan di lapangan: petani yang kehilangan tanahnya, nelayan yang terdesak reklamasi, siswa yang tak lagi mampu bersekolah, atau warga yang mendapat manfaat dari program sosial. Semua pengalaman itu membentuk kompas nilai wartawan. Itulah mengapa jurnalisme terbaik selalu lahir dari kejujuran untuk berpihak pada kehidupan, bukan pada kekuasaan.

Pada akhirnya, esai ini mengingatkan kita bahwa netralitas bukanlah tujuan akhir jurnalisme. Keadilan adalah tujuan itu. Kebenaran adalah tujuan itu. Dan wartawan adalah penjaganya. Bila kebijakan membawa kebaikan, dukunglah dengan terang. Bila kebijakan membawa kerusakan, kritiklah dengan tegas. Dengan begitu, publik tidak hanya menjadi penerima informasi, melainkan penentu masa depan bangsa.

Jurnalisme yang berpihak pada nilai adalah jurnalisme yang memberi arah. Dan masyarakat yang memahami ini adalah masyarakat yang lebih sadar, lebih terlibat, dan lebih berdaya.

(Rulis)

 

 

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 2382509607304104498

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Budaya Madura

Budaya Madura
Budaya kesukuan menjadi identitas pembeda sekaligus penopang kelanggengan suatu suku. Ia merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama, dan diwariskan antargenerasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur—mulai agama, politik, adat, bahasa, hingga perkakas, pakaian, bangunan, dan seni. Selengkapkan klik gambar dan ikuti tulisan bersambung

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close