Tujuh Hari Sebelum Akad


Cerpen: Lilik Soebari

Mata Mala terbeliak, berbagai pose foto mesra dalam redup cahaya bulan di tangannya sangat indah dan artistik. Dua mata bersitatap penuh binar  gelimang cinta. Syahdu. Akan tetapi cahaya cinta yang bergelora di tatap dua sejoli itu menggetarkan hatinya.

Ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk hati, merobeknya perlahan dan menorehkan luka. Berdarah.

“Ya, Rabb!” Keluh Mala, namun demikian ia berusaha menguatkan hati dan menelisik dengan cermat wajah laki-laki dan perempuan yang terpampang ditangannya.

Tangannya mulai gemetar dan tanpa terasa bulir-bulir bening menitik. Setelah menguasai  gemuruh hati,  Mala memasukkan satu-persatu lembaran foto ke amplop coklat tua. Paket yang diterimanya tadi pagi dari pos yang dikirimkan seseorang dengan nama, Bulan.

Tinggal tujuh hari lagi.

Mala masih berperang dengan kecamuk hatinya dan kini ada rasa gamang dan bimbang untuk meneruskan pernikahan atau membatalkannya. 

Tapi itu tak mungkin.

Semua persiapan sudah mendekati purna. Bahkan semalam diadakan pertemuan persiapan akhir. Mat Kohir yang ditunjuk ketua panitia telah membagi tugas kepada para senoman berkaitan dengan tetek-bengek kebutuhan yang sudah terencana dengan matang, ataupun kebutuhan di luar dugaan.

Dalam perhelatan nanti, selain menyembelih tiga ekor sapi, haji Syamsul dan istrinya bertugas membeli daging dan hati sapi di pasar Bakiyong. Tambahan menu istimewa tamu-tamu spesial, kyai besar dari seluruh wilayah Madura.

“Saya minta pada semua panitia, ini bukan minta tapi perintah!” Nada tinggi suara Mat Kohir menggema, "Kali ini ita benar-benar benar serius, tidak ada yang paling di antara kita. Karena saya sudah ditunjuk, maka mohon kerja samanya, guyubnya. Jangan sampai mempermalukan haji Muntaha. Kalau ada ketidaksempurnaan, ini salah kita bersama. "

Pertemuan yang dipenuhi canda tawa itu pun menghasilkan rencana-rencana matang. Dari peta area sampai mengosongkan tegalan yang ditumbuhi rimbunan bambu dan pernik- pernik kecil, seperti membuat tajin merah putih,  roncean kembang setaman yang akan diletakkan di tempat- tempat tertentu yang dianggap berrit.

Khusus konsumsi, jeng Naima ibunda Mala telah mendatangkan tukang masak khusus beserta timnya dari kota kabupaten. Laila Sari dengan catering, "Lakerrong," sangat terkenal karena kelezatan masakannya, bahkan sampai ke Jawa. Rasa lezat kulinernya sebanding dengan harga yang mesti dibayarkan.

"Pasupraaan khusus kyai dan pejabat akan diletakkan di rumah saya," suara tegas Mat Kohir kembali memecah suasana. "Ada 30 KIai yang kita undang dari seluruh Madura dan beliau-beliau telah menyatakan siap hadir. Dan kita telah mempersiapkan armada Expander untuk menjemput mereka."

Terdengar dengungan seperti lebah saat Mat Tohir selesai mengucapkan informasi itu. Hal itu bukan sesuatu yang muskil bagi haji Muntaha karena sosok tinggi besar itu adalah pengusaha sukses. Bukan hanya memiliki sejumlah toko kelontong di Jakarta, namun juga memiliki armada travel Sumenep - Jakarta. Semua kendaraannya berjenis Expander.

"Untuk undangan pejabat apa disatukan dengan para kyai?" Tanya seseorang.

Mat Tohir menatap haji Muntaha, meminta pendapat.

"Bagaimana Abah haji? "

"Menurutmu?" Haji Muntaha balik bertanya.

"Saya rasa disatukan saja Abah haji untuk memudahkan. Hanya posisi tempat duduk yang dibedakan," usul Mat Tohir.

Akhir nya kesepakatan pun di ambil, termasuk seragam para supir yang akan bertugas mengantar jemput undangan para kyai.

Dan pertemuan malam itu pun ditutup dengan makan-makan. Aneka jenis ikan bakar dihidangkan dibumbui dengan kecap manis, perasan jeruk nipis dan irisan cabe.

Teng ... teng ....

Jam dinding berdentang dua kali menghentikan  lamunan Mala.

Menyadari malam telah demikian larut dengan langkah lesu Mala menuju ke peraduan. Namun godaan menatap foto-foto calon pengantinnya kembali menyeruak.

Sembari berbaring  matanya kembali membeliak memindai satu-persatu lembar foto yang benar-benar sangat  menganggunya, dimana tangan lelakinya, calon mempelainya dalam posisi mengelus perut sang wanita. Mengindikasikan sebuah sinyal.

Ada perih yang menusuk, menggeleparkannya dalam ketidakberdayaan. Hatinya berasa ditusuk oleh ribuan jarum, merobeknya secara perlahan dan darah menetes, setetes demi setetes.

Hatinya galau bukan kepalang.

Dua pilihan sulit menghadang.

Mundur pun tidak mungkin karena akan terjadi prahara besar. Sejak usia belasan tahun pertunangan mereka diikrarkan untuk mempererat persaudaraan antar sepupu. Ahmadun, calon mempelainya masih kerabat dekat Abah Muntaha, masih keponakan sepupu.

Ketika suasana semakin senyap dan kecamuk hati semakin menggelora Mala bangkit dan  keluar kamar.

Malam demikian lengang. Pintu-pintu kamar tertutup. Maklumlah para penghuni merasakan lelah karena sedari pagi para tamu berdatangan mengembalikan balin.

Mala melangkah dengan lesu.

Ada onak yang menyumbat jalan nafasnya ketika menatap tumpukan menggunung  kardus-kardus besar dan kecil serta karung-karung beras di ruangan keluarga seluas 8 x 8 m².

Berulangkali Mala mengambil nafas berat, ucapan Abah terngiang dengan jelas ketika Mala keberatan pernikahannya akan dilakukan sangat meriah.

“Jangan mempermalukan Abah dengan ide konyolmu itu.”

"Abah, menurut kyai kita tidak boleh melampaui batas. Dan menurut Mala ini terlalu bermegah-megah, " tegas Mala.

"Mau mencoreng tai ke muka Abah?" murka haji Muntaha.

Mala terdiam karena pendapatnya tidak akan pernah didengarkan oleh Abahnya.  Akhirnya yang dilakukannya hanyalah berdiam diri.

Sebenarnya, jeng Naima tidak sependapat dengan sang suami. Namun keputusan haji Muntaha yang di dukung keluarga besarnya tak tergoyahkan. Ini masalah harga diri, apalagi Mala, satu-satunya anak perempuan yang dimilikinya.

Mala mendekati meja, menyalakan lampu dan membuka catatan yang berisi sumbangan Abah ke segenap famili, tetangga, dan entah untuk siapa. Catatan itu demikian rapi, lengkap dan detail menampilkan nomor urut, nama dan tanggal, nama jenis barang dan juga harga.

 Ini adalah buku ajimat yang tidak boleh hilang dan diturunkan pada anak cucu. Kelak misalnya sang Abah meninggal, maka anak yang berkewajiban menagih sesuai dengan catatan.

Mala terkikik sendiri ketika membaca sumbangan Abah pada haji Jakfar berupa pementasan Ludruk bertahun kelahiran dirinya, dua puluh tahun silam. Ada pula catatan dalam bentuk uang, sembako, maupun rokok, dan ini yang paling banyak.

Jika mempunyai anak perempuan biasanya para orang tua mulai berinvestasi kepada sanak saudara, sahabat, teman-teman di pengajian. Investasi itu kebanyakan berupa sembako. Dan nantinya setelah mereka akan akarja, menikahkan anak perempuannya otomatis biaya perhelatan dapat diminimalisir.

Setahu Mala,  hanya kerabat  dekat saja yang berinvestasi dalam bentuk uang. Orang luar lebih banyak menyumbang barang karena harga akan selalu naik, sedangkan uang makin lama nilainya semakin menurun.

Ada kulum senyum di bibir Mala ketika membaca catatan yang dilingkari warna merah. Diperhelatannya nanti ada hiburan kesenian tradisional, Ludruk, Topeng Dalang dan Gambus yang akan dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut.

Tentunya Abah tidak perlu pusing tujuh keliling memikirkan pembiayaan di pernikahannya nanti karena sebagian besar sudah tertutupi dari balin  yang telah diinverstasikan plus sumbangan dana dari pihak mempelai pria.

Bukan itu saja, sebagian besar keluarga dari pihak Abah dan Umma telah mengantarkan sumbangan dengan nominal cukup besar. Bahkan ada yang menyumbang lima puluh juta.

Mala kemudian menutup buku catatan Abah karena semakin mengacaubalaukan hati dan pikirannya. Langkahnya tersaruk-saruk berat karena beban pikiran, hati dan jiwanya semakin diliputi kecemasan, kegelisahan memuncak.

Setiba di kamar Mala mencoba menghubungi calon mempelainya,  Ahmadun. Gawainya ternyata tidak aktif. Meski sudah tinggal beberapa hari mereka akan menikah, pertemuan jarang terjadi. Keduanya akan bertemu satu tahun sekali saat hari raya Idhul Fitri dan tidak pernah bepergian berduaan.

"Ya Rabb! Sang Pemegang jiwaku, apa yang mesti hamba lakukan?" Mala tergugu dalam ketidakmengertian.

Mala terisak-isak, membekap mulutnya supaya tangisnya di malam yang senyap tidak terdengar siapapun.

Puas menangis, Mala melangkahkan kaki mengambil wudhu.

Suara adzan subuh memecah keheningan, Mala bersujud seraya berdzikir memohon supaya hatinya tetap kokoh dan teguh meski sedang goyah dan terguncang.

 

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 8628320841320267842

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Budaya Madura

Budaya Madura
Budaya kesukuan menjadi identitas pembeda sekaligus penopang kelanggengan suatu suku. Ia merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama, dan diwariskan antargenerasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur—mulai agama, politik, adat, bahasa, hingga perkakas, pakaian, bangunan, dan seni. Selengkapkan klik gambar dan ikuti tulisan bersambung

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close