Tanah Terakhir
Cerpen: Edy Hermawan
Tubuh itu terbujur kaku di bibir pantai. Ombak-ombak menggulung saling berkejaran. Bergiliran mengecupinya. Harusnya pagi itu indah bagi pemilik tubuh itu. Matahari akan menyunggingkan senyum. Melumuri gelombang dan riak lautan dengan cahaya perak keemasan. Juga jajaran cemara akan menari bersama angin yang lembut. Tapi tidak, tubuh itu sudah kaku. Ditinggal si empunya. Ia menjadi mayat.
Orang yang pertama kali menemukan tubuh itu bernama Mattasan. Seorang buruh nelayan yang kebetulan sedang tidak melaut. Ia berjalan menyusuri bibir pantai. Berniat menikmati ombak dan cemara. Dan membiarkan tubuhnya dipeluk hangat senyum matahari pagi.
Ia menatap nyalang ketika melihat sesuatu yang ganjil di hadapannya. Mengucek-ngucek matanya. Tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Tapi benar. Ia melihat seonggok tubuh manusia yang bergoyang-goyang diterpa ombak. Bukan batang pohon cemara atau yang lain.
Tubuh itu bukan orang asing. Ia kenal si empunya. Perawakan yang sedang, tidak kurus, juga tidak gemuk. Mata itu yang selalu berbinar saat menatapnya. Bibir dengan kumis tipis. Tanpa jenggot. Pemilik tubuh itu kawannya sendiri sesama buruh nelayan.
Saat tersadar dari ketidakpercayaannya, gegas Mattasan membalikkan badan. Ia berlari sekencang angin. Kakinya meninggalkan jejak-jejak di bibir pantai sebelum akhirnya dihapus ombak. Mattasan tak peduli lagi dengan cemara, ombak, dan kehangatan matahari pagi. Terus belari dan hanya berlari. Ia ingin segera tiba di rumah keluarga kawannya. Menyampaikan kabar duka.
***
Samat bersedekap. Melawan dingin. Sebenarnya ia enggan untuk keluar rumah sepagi itu. Tapi urusan harus segera kelar dan tuntas. Ia tak mau mengecewakan atasannya, pikirnya. Ia mengenakan jaket kulit pemberian Pak Kalebun. Menyambar kunci motor matik yang baru dibelinya kemarin. Juga hadiah dari Pak Kalebun, tentu untuk memuluskan urusannya. Samat melaju. Menembus kabut embun dan memecah dinginnya pagi.
Sementara, di dalam sebuah bangsal berbubung dua tanduk di masing-masing ujungnya, dan berekor naga, Hasyim baru saja turun dari sajadah setelah memutar tasbih tiga kali ditambah enam belas biji. Ia sengaja meletakkan lincak di sudut rumahnya, menyulapnya menjadi tempat salat.
Seperti biasa, pagi itu ia akan keluar ke halaman rumahnya. Menghirup udara segar dan memeriksa bonsai cemara yang nyaris tak pernah dilirik pembeli. Membonsai cemara hanya pekerjaan sampingan di sela-sela waktu liburnya melaut bersama kawan-kawannya sesama buruh nelayan.
Belum juga menuruni undakan teras, Hasyim melihat sepeda motor matik di ujung jalan mendekat ke pintu pagar halaman rumahnya. Ia tak menyangka mendapatkan tamu sepagi itu. Masih terlalu pagi. Lebih heran lagi, tamu itu Samat, tangan kanan Pak Kalebun. Tentu ada sesuatu yang sangat penting, pikirnya.
Setelah memberikan sambutan dan berbasa-basi, Hasyim menyilakan tamu itu masuk dan duduk. Sementara ia pamit masuk ke dalam rumah itu sebentar, miminta Mahna, istrinya, membuatkan dua gelas kopi.
Segera Mahna mengambil panci. Mengisinya dengan air dan meletakkannya di atas kompor yang sudah dinyalakan sebelumnya. Saat tengah menunggu air mendidih, anak semata wayangnya masuk, Kahar.
“Ada apa Pak Samat pagi-pagi begini bertamu, Bu?”
“Ibu juga tidak tahu,” jawabnya pendek.
“Oh ya, antar kopi ini ke depan, Ibu mau cuci beras dulu,” tambahnya.
Kahar yang baru mendaftar kuliah kemarin pun segera beranjak mengambil nampan. Kemudian keluar menyuguhkan kopi kepada dua lelaki yang sedang bercakap-cakap di teras rumah.
Di atas meja, tepatnya di atas map berwarna merah, tertata beberapa lembar kertas. Lengkap dengan materai yang di atasnya ada nama Hasyim. Dan sebuah pulpen berwarna hitam.
Kahar yakin, itu pasti dibawa Samat. Bapaknya tidak mungkin menyuguhi tamu dengan lembaran-lembaran kertas seperti itu. Ia ingin sekali membacanya, tapi tersendat oleh perintah bapaknya untuk segera masuk.
Kahar masuk ke dalam. Tapi tiba di pintu tertahan oleh rasa penasaran. Kemudian ia duduk di dekat jendela. Tepat di balik Hasyim menemui Samat.
“Bapak tanda tangani saja surat ini. Pak Kalebun akan bayar lunas,” kata Samat.
Kahar belum mengerti maksud penbicaraan itu. Surat apa? Dibayar lunas bagaimana? Kahar perhatikan raut wajah bapaknya, datar saja. Seperti batu. Membisu.
“Dengan uang sebanyak ini, Bapak bisa membuat rumah ini lebih besar dan membeli sepeda motor baru,” tambah Samat merayu. Air wajah Hasyim tetap saja tak berubah. Tak ada riak sama sekali. Dingin dan datar. Kahar tahu, bila bapaknya seperti itu, pertanda ia sedang mencari kata yang tepat untuk disampaikan.
“Bigini saja Pak Samat, katakan kepada Pak Kalebun, ini bukan soal harga tapi soal anak cucu saya. Harga boleh tinggi, tapi menjual tanah itu sama saja saya menjual masa depan anak cucu saya. Katakan, saya tidak akan menjual tanah itu,” kata Hasyim sambil menatap nanap tamu di hadapannya.
Sudah banyak orang yang membahas tanah di desanya. Tanah yang dijual kepada Pak Kalebun. Tanah yang katanya tidak produktif kalau tetap dipertahankan. Lebih baik dijual. Dan uangnya digunakan untuk membangun rumah, membeli motor, naik haji, atau umrah. Hasyim memilih untuk tidak menjual tanah itu. Artinya, Pak Kalebun tidak akan mendapatkan tanah itu meski sejengkal saja.
Tapi, siapa pula yang tidak kenal dengan Pak Kalebun. Ketua bajing di desa. Punya banyak uang, kekuasaan, dan jaringan. Tentu Pak Kalebun tidak akan menyerah begitu saja kepada orang kecil seperti Hasyim. Pak Kalebun tidak akan mau mendengar lelucon gajah kalah sama semut. Ia pasti akan terus mendesak.
Benar. Selang tiga hari kemudian, Kasto datang bertamu. Ia membawa map, kertas, dan pulpen. Sama seperti yang dibawa oleh Samat. Ia juga menyampaikan kalau dirinya disuruh oleh Pak Kalebun.
Kasto meletakkan map berisi kertas itu di atas meja. Beserta pulpen hitam itu. Kemudian ia menyeruput kopi yang sudah dihidangkan sebelum memulai pembicaraan.
Tentu orang-orang kampung kenal dengan Kasto. Ia tangan kanan Pak Kalebun dalam urusan bajing. Kalau di desa ada kehilangan sapi maka sudah pasti Kasto yang akan kerja di lapangan. Ia punya banyak kenalan maling sapi karena ia sudah pernah hidup di dunia maling.
Jalan pikiran Pak Kalebun terlalu mudah untuk ditebak dengan mengutus Kasto. Apalagi saat pertama kali membuka mulut di hadapan Hasyim, Kasto langsung bertanya berapa jumlah sapi.
Pak Kalebun mengutus Pak Kasto tentu untuk menggertak agar Hasyim menanda tangani surat penjualan tanah itu dengan mempertaruhkan sapi di kandang belakang rumahnya.
“Bapak tidak ingin menambah jumlah sapi?” kata Kasto sambil menyodorkan kertas lengkap dengan materai dan bolpen di atasnya ke hadapan Hasyim.
Raut wajah lelaki itu tetap saja. Bergeming. Hanya ada senyum yang dibuat-buat. Ah, bapak. Kahar selalu salut dengan ketenang bapaknya saat menghadapi persoalan seberat apa pun. Suatu saat akan Kahar ceritakan bagaimana hidup bapak pada anak cucunya. Bahwa bapak seperti batu karang. Meski diterjang ombak, sama sekali tak goyah. Pikir Kahar.
“Tanah itu memang tidak berguna hari ini, tapi biarkan anak cucu saya yang mengolah tanah itu besok. Mereka akan belajar,” kata Hasyim sembari menyodorkan kerta-kertas di atas map itu.
“Ah, jangan bercanda, Pak. Mau belajar di mana? Sekolah di sekitar desa ini tidak ada yang mengajari anak-anak kita mengolah tanah. Jangankan tanah, bapak sebagai nelayan, apakah pernah mendapatkan didikan dari sekolah. Tidak ada. Sudahlah, tanda tangani ini. Belikan sapi uangnnya,” kata Kasto lagi, menyodorkan kertas itu kembali.
Hasyim tetap bertahan pada pendapatnya. Ia tidak mau menjual tanah itu. Bagi Hasyim, tanah adalah kemerdekaan. Kalau tanah sudah menjadi milik orang maka siapa yang hidup di atas tanah itu tidak memiliki kemerdekaan.
“Harga tanah akan terus naik. Tapi kamu jangan tergiur dengan uang. Pertahankan dan belajarlah mengolah tanah ini, kamu akan merdeka. Tapi kalau kamu serahkan tanah ini kepada orang lain, kalau tidak kamu sendiri maka anak cucumu akan jadi budak,” kata Hasyim kepada Kahar saat Kasto pergi.
***
“Tanda tangani ini. Bapakmu sudah tanda tangan,” kata Samat menyodorkan beberapa lembaran kertas. Pagi itu Samat datang bersama Kasto ke rumah Hasyim dan ditemui oleh Kahar, anak semata wayangnya.
Kahar tercenung. Ada yang ganjil. Tidak mungkin bapaknya menandatangani surat itu. Mustahil. Ia tahu alasan bapaknya tidak mau menjual tanah itu. Dan ia juga tahu betapa kuatnya lelaki itu memegang keputusan. Hasyim sudah memutuskan untuk tidak menjual tanah itu.
Baru saja Kahar mengalihkan pandang ke kertas di atas meja itu, seseorang berteriak-teriak memanggil namanya.
“Ada apa?” tanya Kahar.
“Kau ikut saja. Ayo cepat!”
Kahar tak bisa apa-apa. Samat dan Kasto mau menahan, tapi tak bisa. Mattasan memegang erat pergelangan tangan Kahar dan menariknya.
“Kita mau ke mana?” tanya Kahar.
“Ke pantai,” jawab Mattasan sambil mempercepat langkahnya.
Kahar terperenyak di samping seonggok tubuh yang terbujur kaku di pingir pantai. Ia tahu baju yang dikenakan itu baju yang sering dicucinya saat ibunya sedang sibuk. Mata itu, yang selalu berbinar mengajarkannya keberanian untuk melawan. Bibir itu, bibir yang melumurinya dengan kata-kata tanah dan kemerdekaan. Seonggok tubuh itu mayat Hasyim, bapak Kahar.
Kahar berdiri membalikkan badan. Membelakangi lautan. Ia perhatikan pohon cemara yang berjajaran. Di sana, ada tanah warisan bapaknya yang harus dipertahankan meski tanah-tanah di samping tanahnya sudah jadi milik orang tak dikenal. Tanak terakhir yang belum bisa dibeli dari orang kecil seperti bapaknya dan dijual kepada orang besar yang tak dikenal.
“Tanah itu tak akan aku biarkan jadi tambak udang yang perlahan-lahan melahirkan perbudakan, dan aku tahu siapa pemilik pulpen hitam di genggaman bapak,” gumamnya.
Kabar kematian Hasyim segera menyebar. Para nelayan dan orang-orang di pasar membahas kematiannya. Tapi semua itu membuat Kahar makin geram. Bapaknya dikabarkan mati diterjang ombak saat melaut. Ia tak bisa berenang hingga mati mengapung dan terseret ke bibir pantai. Bukan kematian yang direncanakan.
*****
Edy Hermawan, lahir di Batang-Batang Sumenep pada 09 Januari 1991. Menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di Sumenep, sedangkan pendidikan strata satunya diselesaikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Salah satu kegiatan penulis saat ini adalah mengabdi di SMA Nurul Jadid Batang-Batang. Beberapa tulisannya sudah terbit di media massa, seperti solo pos dan Suara Merdeka. Ia dapat dihubungi via surel: edy.herm@gmail.com
Pilihan




