Ketika Pariwisata Menggebu, Budaya Justru Terpinggirkan
Di banyak daerah, promosi pariwisata kini tampak menjadi prioritas utama. Festival digelar meriah, panggung hiburan bermunculan, dan kampanye visual terpampang di berbagai sudut kota. Sekilas, ini terlihat sebagai langkah maju untuk mendorong ekonomi daerah. Namun jika dicermati lebih dalam, ada persoalan yang tak kalah penting dan sering luput diperhatikan: pengelolaan budaya yang tidak diimbangi dengan pembinaan para pelaku budaya.
Padahal budaya bukan hanya dekorasi atau aset pendukung pariwisata. Budaya adalah denyut kehidupan masyarakat itu sendiri—dihidupkan oleh seniman, pengrajin, pemangku adat, dan komunitas lokal yang merawat tradisi dengan kesungguhan.
Budaya yang Dikomersialkan Berlebihan
Ketika orientasi utama hanya mengejar wisatawan, budaya sering berubah menjadi komoditas. Tarian dipersingkat, ritual dipertontonkan, dan kerajinan disesuaikan dengan selera pasar. Alih-alih menghadirkan nilai, budaya justru kehilangan jati diri. Yang esensial digeser oleh yang sensasional.
Ironisnya, semakin sering budaya dipentaskan, justru semakin dangkal pemahamannya. Ia tampil megah, tetapi tanpa akar.
Pelaku Budaya yang Tersisih di Tanahnya Sendiri
Masalah berikutnya lebih menyakitkan: eksploitasi pelaku budaya. Banyak seniman diminta tampil dalam gelaran pariwisata, tetapi imbalan yang diterima tidak sebanding dengan kontribusinya. Pengrajin lokal pun sering dipromosikan namanya, tetapi tidak didukung dengan pembinaan, pelatihan, atau akses pasar yang berkelanjutan.
Dengan kata lain, budaya dijual, tetapi orang-orang yang menjaganya tidak diberdayakan.
Risiko Stagnasi dan Kepunahan Tradisi
Tanpa pembinaan, regenerasi pun mandek. Anak-anak muda melihat dunia seni dan tradisi sebagai jalan buntu karena tidak ada jaminan kesejahteraan ataupun ruang berkembang. Jika pola ini terus berlangsung, keterampilan tradisional yang diwariskan turun-temurun bisa mati pelan-pelan.
Budaya tidak hilang karena dilupakan oleh masyarakat, tetapi karena tidak lagi dianggap memiliki masa depan.
Membangun Pariwisata yang Tidak Mengorbankan Budaya
Untuk itu, diperlukan pendekatan yang lebih seimbang. Pariwisata boleh maju, tetapi jangan membuat budaya sekadar bahan pameran. Pemerintah daerah perlu menempatkan pelestarian manusia—seniman, pengrajin, pemangku adat—sebagai inti pengembangan kebudayaan.
Caranya bisa dimulai dari:
- pelatihan dan inkubasi seni yang berkelanjutan,
- perlindungan hak atas karya budaya,
- dukungan ekonomi bagi pelaku budaya,
- serta edukasi kepada generasi muda mengenai nilai dan prospek budaya.
Dengan langkah ini, budaya tidak hanya “dipakai” saat festival, tetapi juga hidup dan tumbuh setiap hari.
Sudah Saatnya Kebijakan Berkaca Lebih Dalam
Promosi pariwisata tetap penting, tetapi harus berjalan seiring dengan konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Jika budaya terus diperlakukan sebagai produk instan, maka yang hilang bukan hanya tradisi, tetapi juga identitas kolektif sebuah daerah.
Pada akhirnya, keberlanjutan pariwisata justru bergantung pada keberlanjutan budaya yang melandasinya. Tanpa itu, semua festival hanya akan menjadi tontonan tanpa makna.
(Rulis)
Pilihan





