Meneguk Madu di Pantai Lombang


Cerpen: Amik Widyawati

Pagi itu menghadirkan pemandangan yang tak biasa. Seusai salat subuh, kau tampak lebih sigap dari biasanya. Dapur sudah rapi, sarapan hampir siap, dan dari garasi terdengar suara pintu mobil dibuka-tutup. Koper kecil tergeletak di sudut kamar, sementara kau memasukkan beberapa potong bajuku dan pakaian anak-anak ke dalamnya.

Dengan kening berkerut, kuberanikan diri bertanya,
“Kita mau ke mana, Mas?”

Kau hanya tersenyum tipis.
“Sudahlah, ikut saja denganku,” ujarmu ringan.

Aku tak bertanya lagi. Bergegas aku menuju kamar mandi, bersiap mengikuti ritmemu pagi itu. Dari balik pintu kamar, putri sulungku menyembul dengan wajah penasaran.

“Ibu, sebenarnya kita mau ke mana, sih?” tanyanya polos.

Celotehnya membuatku tersenyum.
“Sudah, bersiap-siap saja. Ikuti perintah ayahmu,” jawabku sambil merapikan jilbab.

Tak lama kemudian suaranya kembali terdengar dari ujung kamar.
“Ibu, aku pakai celana yang mana?”

Aku mendatanginya. Kupilihkan celana tiga perempat dan kaus oblong biru kesukaannya.
“Pakai ini saja. Kita jalan-jalan santai,” kataku sambil menyodorkan pakaian.

Semua telah siap.
“Ayo berangkat!” ajakmu mantap.

Matahari masih enggan menunjukkan kegarangannya. Sinar paginya lembut dan hangat menyentuh kulit. Jalanan relatif sepi—akhir pekan membuat orang-orang betah berlama-lama di rumah. Hanya beberapa pesepeda yang berpapasan di perempatan tadi.

Mobil melaju menyusuri mulusnya aspal Sumenep, menyibak kabut tipis yang masih menggantung. AC sengaja tak dihidupkan. Semua kaca dibiarkan terbuka agar kami bebas menghirup segarnya udara pagi. Sepanjang perjalanan, kau bercerita hal-hal lucu yang membuatku terkekeh. Kedua anak kita pun tak mau kalah—mereka bergantian mengisahkan pengalaman kecil yang mengundang tawa. Wajah-wajah ceria itu membuat hatiku hangat. Bahagia, begitu sederhana.

Satu jam berlalu.
“Akhirnya sampai juga!” serumu.

“Alhamdulillah,” ucapku pelan, penuh syukur.

Kedua buah hatiku langsung berhamburan menuju pantai, menceburkan kaki mereka ke air laut. Sementara itu, kau sibuk menyiapkan kudapan dan peralatan sederhana untuk menikmati indahnya Pantai Lombang. Pertanyaan yang sejak pagi menggelitik pikiranku akhirnya terjawab.

Tiba-tiba kau memelukku dari belakang.
“Ayo, mandi!” rayumu.

“Ndak ah, dingin,” jawabku menolak halus.

Kau tertawa kecil.
“Ya sudah, kita jalan-jalan dulu.”

Kau menggenggam tanganku. Jemari tangan kirimu bertaut dengan jemari kananku. Ada sengatan listrik—entah berapa volt—menjalar di seluruh nadiku. Aneh, setelah lima belas tahun menikah, rasa itu masih setia hadir.

Kami berjalan menyusuri bibir pantai. Sengaja kubiarkan kakiku telanjang, merasakan belaian lembut pasir. Pantai Lombang sungguh memesona. Semilir angin mengibas-ngibaskan kerudungku. Kami berlarian kecil, saling memercikkan air, tertawa seperti sepasang kekasih yang baru jatuh cinta. Jajaran cemara udang seolah menjadi saksi bisu kemesraan itu.

Matahari kian terik. Kau mengajakku salat, lalu makan siang, kemudian beristirahat di sebuah vila di kawasan pantai. Dalam hati aku bergumam, sepertinya semua ini telah kau persiapkan jauh hari tanpa sepengetahuanku.

Siang berlalu. Matahari beringsut, meninggalkan celoteh cahaya. Semburat jingga menggantung di ufuk barat, pertanda malam segera tiba. Seusai magrib, kau mengajakku makan malam di sebuah kafe tak jauh dari vila.

Di atas meja telah tersaji ayam bakar kesukaanku, nasi goreng kesukaanmu, dan menu favorit kedua anak kita. Lilin aromaterapi mempercantik suasana. Dari pengeras suara, mengalun syahdu lagu mellow “Kubersyukur Memiliki Kamu” dari Kangen Band, menambah romantis malam itu.

Katamu, syair lagu itu mewakili isi hatimu.

Beberapa menit kemudian, pelayan datang membawa sebuah kue tart. Di atasnya tertera namaku dan namamu, disertai angka: lima belas tahun. Seketika dadaku terasa sesak—hari ini tepat lima belas tahun usia pernikahan kami.

“Sayang, semua ini untuk lima belas tahun kebersamaan kita,” ucapmu.

Kau menatapku lembut.
“Maafkan aku, belum bisa menjadi yang sempurna,” lanjutmu. “Tapi aku akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Aku ingin sehidup sesurga bersamamu.”

Bisikan itu menyentuh relung hatiku. Kau mencium keningku mesra. Air mata menetes tanpa izin. Kau melingkarkan kedua tanganmu di pinggangku, menatap mataku lekat-lekat, mendekatkan wajahmu nyaris tanpa jarak. Dengan malu-malu, kusuruh kedua anakku menutup mata dan berbalik arah—ada hal-hal yang memang belum saatnya mereka lihat.

Dalam diam, aku berdoa semoga kemesraan ini tak pernah berakhir. Aku ingin meneguk manisnya madu untuk kedua kalinya, di pantai indah ini—bersamamu, selamanya.

(Cerpen ini di sempurnakan oleh Rulis)

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 3991769449546468655

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi


 

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Banner untuk Anda

Banner untuk Anda
Anda punya rencana kegiatan yang mau dipublikasikan dalam bentuk banner? Kegiatan apapun, silakan kirim lewat email penulisrulis@gmail.com, dan akan kami terbitkan di halaman ini. Gratis

Workshop Baca Puisi Bagi Guru

Workshop Baca Puisi Bagi Guru
Selengkapnya klik gambar

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Relaksasi


 


 

Jadwal Sholat

item
close