Sumpah di Puncak Gunung Kelud
Pada zaman ketika hutan masih berbicara dengan angin dan gunung dipercaya memiliki jiwa, hiduplah sebuah kerajaan yang makmur di tanah Kediri. Sungai-sungainya jernih, ladang-ladangnya subur, dan rakyatnya hidup tenteram di bawah perlindungan para dewa. Di istana yang anggun dan bercahaya, bersemayamlah seorang putri yang kecantikannya termasyhur ke segala penjuru negeri: Dewi Kilisuci.
Dewi Kilisuci bukan hanya elok parasnya, tetapi juga lembut tutur katanya dan bijaksana pikirannya. Ia gemar mendengarkan keluh kesah rakyat, menyukai bunga-bunga liar di taman istana, dan sering berdoa di puncak bukit untuk memohon keselamatan bagi tanah kelahirannya.
Namun, di balik ketenteraman itu, tersembunyi kisah yang kelak mengguncang bumi.
Di kaki Gunung Kelud, hiduplah makhluk sakti bernama Lembu Suro. Tubuhnya besar dan tegap seperti manusia perkasa, tetapi kepalanya menyerupai kerbau dengan tanduk melengkung ke samping. Banyak yang takut kepadanya, sebab suaranya menggelegar dan langkah kakinya membuat tanah bergetar. Akan tetapi, di balik wujudnya yang menyeramkan, Lembu Suro memiliki hati yang mampu mencinta.
Suatu hari, ketika Lembu Suro turun gunung untuk bertapa di tepi sungai, ia melihat bayangan seorang perempuan terpantul di air. Bayangan itu tersenyum lembut, matanya bercahaya seperti bintang pagi.
“Itu… siapa?” gumam Lembu Suro dengan suara berat, matanya terpaku pada pantulan air yang beriak pelan (ia tertegun dan hatinya bergetar).
Ia pun mengangkat kepalanya dan melihat Dewi Kilisuci yang sedang memetik bunga di tepi sungai, ditemani dayang-dayangnya. Sejak saat itu, hati Lembu Suro tak lagi tenang. Bayangan sang dewi selalu hadir dalam benaknya, bahkan saat ia bertapa di gua terdalam Gunung Kelud.
“Aku ingin meminangnya,” kata Lembu Suro pada dirinya sendiri, menatap langit senja (ia berbicara penuh keyakinan).
Kabar niat Lembu Suro akhirnya sampai ke telinga Dewi Kilisuci. Sang dewi terdiam lama saat mendengarnya. Ia tahu Lembu Suro adalah makhluk sakti yang tidak mudah ditolak. Namun, ia juga tahu bahwa hatinya tidak bisa dipaksa menerima.
“Apa yang harus hamba lakukan, Paduka?” tanya salah seorang dayang dengan wajah cemas (ia menunduk hormat).
Dewi Kilisuci menghela napas pelan. “Aku tidak membencinya, tetapi aku juga tidak mencintainya,” ujarnya lirih (ia berbicara dengan hati yang gelisah).
Tak lama kemudian, Lembu Suro datang ke istana. Langkahnya mengguncang halaman, dan rakyat bersembunyi di balik pintu. Ia berdiri tegak di hadapan Dewi Kilisuci.
“Dewi Kilisuci,” ucap Lembu Suro, suaranya dalam namun penuh harap, “aku datang untuk melamarmu. Jadilah permaisuriku. Aku akan menjaga kerajaan ini dengan seluruh kekuatanku” (ia menundukkan kepala penuh hormat).
Dewi Kilisuci memejamkan mata sejenak. Ia tidak ingin menyakiti perasaan siapa pun, terlebih makhluk yang tulus mencinta.
“Wahai Lembu Suro,” katanya akhirnya dengan suara lembut, “niatmu mulia. Namun, aku tidak bisa menerima lamaran begitu saja. Ada satu syarat yang harus kau penuhi” (ia berbicara hati-hati).
“Apa pun syarat itu, akan kulakukan,” jawab Lembu Suro tanpa ragu (ia mengepalkan tangan penuh tekad).
“Buatkan aku sebuah sumur di puncak Gunung Kelud,” kata Dewi Kilisuci, “dan sumur itu harus selesai dalam satu malam sebelum fajar menyingsing” (ia menahan getar di suaranya).
Lembu Suro terkejut, tetapi ia tidak mundur. “Baik,” katanya mantap, “aku akan melakukannya” (ia tersenyum yakin).
Malam itu, angin bertiup kencang di puncak Gunung Kelud. Lembu Suro mulai menggali tanah dengan tangan kosong. Setiap hentakan tangannya memecah batu, setiap teriakan gaibnya membuat tanah terbelah. Sumur itu semakin dalam, semakin nyata.
“Sebentar lagi selesai,” gumam Lembu Suro sambil tersenyum puas (ia menatap lubang sumur dengan bangga).
Sementara itu, Dewi Kilisuci menatap puncak gunung dari kejauhan. Hatinya semakin gelisah.
“Jika sumur itu selesai, aku harus menepati janjiku,” bisiknya pada diri sendiri (ia menggenggam dadanya erat).
Dalam kegundahan, ia memanggil para pengawal istana.
“Tutuplah sumur itu sebelum fajar,” perintah Dewi Kilisuci dengan suara bergetar, “aku tidak ingin melukai perasaannya, tetapi aku juga tidak bisa hidup dalam kebohongan” (ia menunduk penuh rasa bersalah).
Para pengawal, dengan berat hati, melaksanakan perintah itu. Batu dan tanah ditimbunkan ke dalam sumur saat Lembu Suro masih berada di dalamnya, membersihkan dinding sumur dari sisa tanah.
“Apa yang terjadi?” teriak Lembu Suro saat tanah mulai menimbunnya (ia panik dan marah).
Ia berusaha keluar, tetapi terlambat. Tubuhnya terperangkap dalam gelap. Amarahnya meledak, mengguncang Gunung Kelud.
“Dewi Kilisuci!” teriaknya menggelegar, “kau telah menipuku!” (ia meraung penuh luka dan amarah).
Dengan sisa kekuatan dan kemurkaannya, Lembu Suro mengucapkan sumpah yang menggema ke seluruh penjuru tanah Jawa.
“Kediri dadi kali!” serunya (ia melontarkan sumpah penuh dendam).
“Tulungagung dadi kedung!” lanjutnya (suaranya semakin menggelegar).
“Blitar dadi latar!” teriaknya terakhir kali (ia menjerit dengan hati yang hancur).
Sejak saat itu, bumi bergetar. Gunung Kelud memuntahkan amarahnya berulang kali. Sungai meluap, danau terbentuk, dan tanah-tanah berubah rupa. Rakyat percaya, setiap letusan Gunung Kelud adalah gema sumpah Lembu Suro yang belum sepenuhnya reda.
Dewi Kilisuci menangis dalam doa. “Ampuni aku,” bisiknya pada para dewa, “aku ingin menolak tanpa menyakiti, tetapi kebohonganku justru melahirkan bencana” (ia tersungkur penuh penyesalan).
Sejak saat itu, kisah Lembu Suro dan Dewi Kilisuci diceritakan turun-temurun kepada anak-anak. Kisah tentang cinta yang tidak bisa dipaksakan, dan tentang kejujuran yang harus diutamakan meski terasa sulit.
Karena cinta sejati tidak lahir dari paksaan, dan kebohongan—sekecil apa pun—dapat menjelma menjadi luka besar yang mengguncang dunia.
(Rulis)
Pilihan





